Jumat, 05 Agustus 2011

BUKTI MANUSKRIP MEMBANTAH QURAN

dikutip apa adanya dari nickname palsu (?) Hajjah Irena Handono

BUKTI MANUSKRIP MEMBANTAH QURAN

oleh Hajjah Irena Handono pada 03 Agustus 2011 jam 20:39

BUKTI ARKEOLOGIS MELAWAN QURAN

Sampai kiamat-pun Muslimin bersikeras bahwa Qur'an adalah kata-kata final Tuhan. Namun, mana bukti sejarahnya? Bukti manuskrip, dan arkeologis semuanya tidak berhasil membuktikan klaim-klaim itu. Dalam tulisan paling akhir (Isa Masih no.6, p8-9) kami menunjukkan kekurangan-kekurangan dalam manuskrip-manuskrip Qur'an. Di sini kami menunjukkan bukti melawan Islam dari sumber-sumber dokumen non-Muslim dan arkeologi modern.

SUMBER-SUMBER YAHUDI

Qur’an menyiratkan bahwa Muhamad memutuskan hubungannya dengan Yahudi tahun 624 AD, segera setelah Hijrah ke Mekah. Pada saat itu, Kiblat dipindahkan dari Yerusalem ke Mekah (Surah 2:144, 149-150). Namun, dalam sumber-sumber non-Muslim, Doktrin Iacobi dan Kronikel Armenia dari tahun 660 AD, menunjukkan bahwa pada tahun 640, saat penaklukan Palestina, Arab dan Yahudi adalah sekutu. Muhamad mendirikan masyarakat Ishmaeli dan Yahudi berdasarkan tanah kelahiran mereka yang sama di tanah suci. Hubungan baik ini berlangsung sampai paling tidak 15 tahun setelah tanggal Qur'an tsb.

MEKAH

Menurut Qur’an, Mekah merupakan kota yang pertama dan paling penting di dunia. Adam menempatkan batu hitam di Ka’bah asli, sementara Abraham dan Ishmael membangun kembali Ka’bah Mekah berabad-abad kemudian (Sura 2:125-127). Mekah dikatakan sebagai pusat perdagangan sebelum zamannya Muhammad.

Namun tidak ada bukti-bukti arkeologisnya. Kota kuno besar macam itu tentulah disebut-sebut dalam sejarah kuno. Namun, sebutan paling dini tentang Mekah sebagai sebuah kota ada di Continuato Byzantia Arabica, dokumen abad ke 8! Mekah jelas bukan rute perdagangan daratan yang alami – Mekah adalah lembah gersang dan orang harus belok sepanjang 100 mil untuk dapat mencapainya. Setelah abad pertama, hanya ada perdagangan maritim Yunani-Romawi dengan India, yang diawasi pelabuhan Laut Merah Ethiopia, Adulis, dan bukan oleh Arab. Kalau Mekah bukan sebuah kota yang mapan, kecuali setelah zamannya Muhammad, maka ini membuat Qur'an sangat diragukan.

ARKEOLOGI

Qiblat

Menurut Qur’an, Qiblat diarahkan ke Mekah pada tahun 624 AD, dua tahun setelah Hijrah (Sura 2:144, 149-50). Namun bukti-bukti arkeologis paling dini dari mesjid yang dibangun pada permulaan abad ke 8 menunjukkan bahwa kota suci mereka bukanlah Mekah, tetapi lebih dekat ke arah Yerusalem.

Qiblat mesjid pertama di Kufa, Iraq, dibangun th 670 AD, dan menunjuk ke BARAT ketimbang ke selatan, gambar-gambar arsitektur dari dua mesjid Umayyad (650-750 AD) di Iraq, menunjukkan bahwa Qiblat berorientasi jauh ke utara. Mesjid Wasit melenceng sampai 33 derajad, mesjid Baghdad sampai 30 derajat. Masjid ‘Amr b. al ‘As didekat Cairo, juga menunjuk ke Kiblat terlalu jauh ke utara dan harus diperbaiki oleh sang gubernur.

Jacob dari Odessa, penulis dan pengelana Kristen, merupakan saksi mata yang menulis tentang Mesir sekitar 705 AD. Suratnya dalam British Museum menyebut tentang kaum ‘Mahgraye’ (istilah Yunani bagi Arab) di Mesir berdoa menghadap ke timur, menuju Ka’bah, dengan kata lain menuju Palestina, dan bukan Mekah.

Jadi bukti menunjuk kepad lokasi bukan di Mekah, tetapi di Arab Utara atau bahkan Yerusalem, sampai permulaan abad ke 8. Tidak mungkin Muslim pada abad permulaan Islam salah menghitung arah. Mereka pedagang dari gurun pasir dan tukang caravan yang mahir membaca arah bintang di langit utk menentukan arah perjalanan mereka. Bagaimana lagi mereka melakukan ibadah haji, yang pada saat itu saja sudah diresmikan? Ada ketidakcocokan besar antara Qur’an dan arkeologi modern. Yang paling penting, Walid I, kalif th 705 - 715, menulis semua wilayah memerintahkan penghancuran dan pelebaran semua mesjid. Mungkinkah bahwa saat itu Kiblat baru dipindahkan ke Mekah?

DOME OF THE ROCK

Kemungkinan alasan mengapa masjid-masjid kuno menghadap Palestina bisa ditemukan di Yerusalem. Di pusat kota itu terletak the ‘Dome of the Rock’, bangunan yang didirikan ‘Abd al-Malik tahun 691 AD. Ini dianggap sebagai tempat Islam paling suci nomor 3 setelah Mekah dan Medinah. Gedung ini nampaknya bukan ingin digunakan sebagai masjid, karena tidak adanya Qiblat dan bentuk oktagonalnya menunjukkan gedung itu digunakan agar orang dapat berkeliling memutarinya. Muslim percaya bahwa ini memperingati Isra Mi’raj, malam Muhammad naik ke syurga dan berbicara dengan Allah dan Musa mengenai jumlah solat yang diwajibkan kepada pengikut.

Namun, tulisan-tulisan pada tembok gedung itu tidak menyebut apa-apa tentang Isra Mi’raj tetapi kutipan-kutipan Qur'an yang dimaksudkan khususnya bagi Kristen. Mungkin gedung ini dibangun sebagai tempat suci Islam, sebelum Mekah diresmikan sebagai tempat tersuci Islam.

Tradisi Muslim memang menunjukkan bahwa the Dome of the Rock dulu memang pusat religius Islam. Kalif Suleyman, yang berkuasa sampai th 717 AD, pergi ke Mekah untuk bertanya tentang ibadah Haji. Ia tidak puas debgan jawaban yang didapatkan dan memilih untuk mengikuti ‘Abd al-Malik, yang pergi ke the Dome of the Rock.

Mungkinkah kiblat mesjid-mesjid pertama dulu diarahkan kepada the Dome of the Rock di bawah perintah Walid I pada permulaan abad ke 8?

Alm Yehuda Nevo dari Universitas Yerusalem mensurvey ukiran-ukiran Arab pada batu-batu yang tersebar di gurun Negev dan Syro-Jordania. Risetnya memberikan gambaran berguna atas sejarah Muhammad dari sumber-sumber non-Muslim kontemporer.

Dalam teks religius dari jaman Sufyani (661-684 AD) ada sebuah kepercayaan monotheistic TETAPI TIDAK ADA RUJUKAN KEPADA MUHAMMAD! Namanya hanya muncul setelah 690 AD. Tulisan Muhammad Rasulullah tampil pertama kali dalam uang keping Arab-Sassania dari th 690 AD, di Damascus. Lebih penting lagi, ketiga unsur kepercayaan kepada Tauhid, Muhammad Rasulullah dan rasul Allah wa-’abduhu (sifat kemanusiaan Yesus) ditemukan dalam tulisan ‘Abd al-Malik dalam the Dome of the Rock, tertgl 691 AD. Sebelum masa itu, prinsip-prinsip kepercayaan Muslim tidak dapat dipastikan.

Jadi selama 60 tahun penuh setelah kematian Muhammad, kalimat syahadat Arab TIDAK MENCAKUP MUHAMMAD. Tetapi sebuah prinsip kepercayaan monotheis yang mengembangkan konsep Judaeo-Kristen dalam gaya literature khusus. Saat syahadat dengan nama Muhammad diberlakukan selama periode Marwanid (setelah 684 AD) tiba-tiba bentuk deklarasi itulah yang tampil sebagai satu-satunya bentuk dalam dokumen-dokumen formal. Jadi peningkatan status Muhammad sebagai nabi universal hanya terjadi pada akhir abad ke-7, lama setelah kematiannya!

QURAN

Jelas Qur’an mengalami transformasi selama 100 tahun setelah kematiannya. Tulisan-tulisan yang dikenal sebagai tulisan Qur'an pada keping-keping dan di the Dome of the Rock selama masa ‘Abd al-Malik dari 685 AD, BERBEDA dengan teks Qur'an sekarang. Qur’an tidak mungkin dikanonisasi selama masa hidup Muhammad, tetapi pasti mengalami proses evolusi. Rujukan paling dini kepada sebuah buku yang dinamakan Qur’an tidak datang dari Mekah melainkan di Arab Utara, bahkan Yerusalem, pada permulaan abad ke-8. Tidak mungkin Muslim pertama salah tebak arah Mekah, mereka mahir menggunakan bintang sebagai penunjuk jalan. Bagaimana mungkin mereka bisa mengadakan ibadah haji yang sudah dikanonisasikan pada zaman itu?

Ada kepincangan besar antara Qur’an dan arkeologi modern. Artinya, sejarah islam runtuh di hadapan arkeologi modern.

Crucially, Walid I, who reigned as Caliph between 705 and 715, wrote to all the regions order’an maintains is at odds with historical data from the 7th-8th centuries. Specifically:

  • The Jews retained a relationship with the Arabs until at least AD 640, not 624 AD
  • Mecca was not the first and most important city in the world; it was unknown until the end of the 7th century and was not even on the international trade route
  • The Qibla (direction of prayer) was not fixed towards Mecca until the 8th century but to an area further north, possibly Jerusalem
  • The Dome of the Rock in Jerusalem was possibly the original sanctuary
  • Muhammad was not known as the Seal of the Prophets until the late 7th century; the creeds from Muhammad's time contain a monotheistic religion but no Muhammadan formulae
  • The earliest we even hear of the Qur’an is not until the mid-8th century
  • The earliest qur’anic writings on coins and on the Dome of the Rock do not coincide with the current qur’anic text This suggests the Qur’an we now read is not the same as that which was supposedly collated and canonized in 650 AD by Uthman. The earliest qur’anic manuscripts in our possession today (dating from 790 AD) would appear to reflect an evolution in the qur’anic text. This challenges the Muslim contention that the Qur’an contains the original and exact revelation of Allah, as recited by Muhammad and hence strikes at the very heart of the Islamic faith.

Di masa lalu Qur’an dilindungi dengan semacam embargo – tetapi kini Muslim tidak lagi dapat berkelit dari bukti-bukti yang semakin menumpuk yang justru melemahkan Qur'an.

Kehebohan baru yang bakal mengguncangkan umat Islam datang dari Doktor Gerd R. Puin, seorang pakar filologi dan ahli bahasa-bahasa Semitis. Pada 1979, pakar kaligrafi Arab dan paleografi Al Qur'an dari Universitas Sarre, Jerman, itu diajak Kadi Ismail al-Akwa, Ketua Dinas Purbakala Yaman, untuk meneliti sebuah bungkusan kuno yang ditemukan di Sana'a, ibu kota Yaman, pada 1972. Bungkusan berisi perkamen (kulit kambing) dan kertas (suhuf) itu ditemukan saat pemerintah merenovasi masjid kuno di Sana'a, yang bocor akibat hujan lebat.

Paket kuno yang ditemukan para pekerja di atap masjid agung itu kemudian diamankan Kadi Ismail al-Akwa karena ia yakin isinya pasti bernilai. Ia lalu meminta bantuan internasional untuk menganalisis tulisan di atas perkamen itu. Akhirnya, baru pada 1979 ia berhasil membujuk Puin untuk menelitinya, dengan bantuan dana dari Pemerintah Jerman.

Berdasarkan penelitian awal, bisa dipastikan, perkamen Sana'a itu adalah mushaf Al Qur'an paling tua di dunia, yang ditulis pada abad ketujuh dan kedelapan. Sebagaimana diketahui, hingga saat ini, ada tiga "copy" mushaf Al Qur'an sudah ditemukan.

Dua mushaf Al Qur'an abad kedelapan, masing-masing disimpan di Perpustakaan Tashkent, Uzbekistan, dan di Museum Topkapi di Istanbul. Sementara, mushaf ketiga berupa manuskrip Ma'il dari abad ketujuh, disimpan di British Library, London, Inggris.

Menurut Doktor Puin, kaligrafi pada mushaf Sana'a itu berasal dari Hijaz, sebuah wilayah Arab, tempat tinggal Muhammad. Dengan demikian, itu bukan hanya merupakan mushaf tertua di dunia, melainkan salah satu mushaf versi pertama. Perkamen itu mengandung variasi teks yang agak berbeda, surat-suratnya disusun tak biasa, dan gaya serta grafisnya sangat langka.

Ia juga melihat adanya jejak teks yang dihapus dan digantikan dengan teks baru. Karena itulah, Puin menyimpulkan, Al Qur'an pernah mengalami evolusi (perubahan) tekstual. "Dengan kata lain, apa yang umat islam baca saat ini kemungkinan bukan satu-satunya "versi" yang diyakini telah diwahyukan Allah kepada Muhammad," tulis Abul Taher, pekan lalu, dalam koran Inggris, The Guardian.

Kesimpulan Puin itu tentu saja akan sulit diterima umat Islam. Sebab, diyakini ayat-ayat dalam Al Qur'an itu diwahyukan Allah kepada Muhammad secara bertahap (610-632). Dan, setiap menerima wahyu, Muhammad selalu membacakannya di hadapan para sahabat. Menurut Ensiklopedi Islam (Jakarta, 1994), selain menyuruh para sahabatnya menghafal, Muhammad juga memerintahkan mereka untuk menuliskannya di atas pelepah kurma, lempengan batu, atau kepingan tulang.

Menurut hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, untuk menjaga kemurnian Al Qur'an itu, setiap tahun malaikat Jibril mendatangi Nabi Muhammad untuk memeriksa bacaannya. Bahkan pada tahun Muhammad wafat, Malaikat Jibril datang dua kali dan mengontrol bacaan Muhammad, sebagaimana Nabi Muhammad sendiri selalu melakukan hal yang sama kepada para sahabatnya, selama hidupnya. Dengan demikian, terpeliharalah Al Qur'an dari kesalahan dan kekeliruan.

Dua puluh sembilan tahun setelah Nabi Muhammad wafat, di bawah Usman, khalifah ketiga, sebuah versi baku Al Qur'an ditetapkan dan dikodifikasi dalam bentuk buku, akibat adanya pelbagai versi Al Qur'an, baik lisan maupun tertulis, yang banyak beredar di wilayah kekuasaan Islam.

Kodifikasi itu dilakukan berdasarkan mushaf yang dihimpun Khalifah Abu Bakar, yang kemudian disimpan di rumah Hafsah, putri Khalifah Umar, yang juga salah satu istri Nabi Muhammad. Karena itu, tak pernah ada lagi modifikasi dan kodifikasi Al Qur'an sesudah Usman, yang disusun di bawah pimpinan Zaid bin Sabit.

Mushaf Usmani dalam dialek Quraisy itu lalu dibuat lima kopi. Satu kopi disimpan di Madinah (mushaf al-Imam) dan empat lainnya dikirim ke Mekah, Suriah, Basrah, dan Kufah untuk disalin dan diperbanyak (EI, 1994).

Apakah perkamen dari Sana'a itu adalah salah satu dari mushaf-mushaf itu, atau salinannya, belum bisa dipastikan. Yang jelas, menurut Puin, sebagaimana dalam tradisi literatur Arab, perkamen Sana'a itu ditulis tanpa tanda-tanda diacritique (titik, aksen, koma, tanda huruf atau fonetik pengubah nilai).

Artinya, perkamen itu ditulis lebih sebagai panduan bagi yang sudah hafal Al Qur'an. Akibatnya, puluhan tahun kemudian, pembaca "Arab gundul" itu makin sulit memahaminya. Karena itulah, untuk memudahkan, Hajjaj bin-Yusuf, Gubernur Irak, pada 694-714, lantas melengkapi teks itu dengan pelbagai tanda. "Ia sangat bangga karena ia telah berhasil memasukkan lebih dari 1.000 alif ke dalam teks Alquran," kata Puin.

Kesimpulan Puin yang juga mengejutkan adalah: sumber-sumber pra-Islam, katanya, telah dimasukkan ke dalam Alquran. Misalnya, ihwal As Sahab ar-Rass dan As Sahab al-Aiqa. Soalnya, menurut Geographie karya Ptolomeus, suku Ar Rass hidup di Lebanon sebelum Islam, dan Al Aiqa hidup di wilayah Aswan, Mesir, sekitar 150 tahun sebelum Masehi.

Bahkan, Puin tidak yakin Alquran ditulis dalam Bahasa Arab murni. Sebab, kata "Quran" sendiri -- yang berarti "kalam", "kitab", "bacaan" -- menurut Puin, bukan berasal dari bahasa/kata arab melainkan berasal dari sebuah kata Aramian, “Qariyun” (penggalan bacaan teks suci saat menjalankan ibadah).

Tak aneh bila Khalidi (?who?) gusar atas usaha para Islamolog Barat seperti Puin, yang tidak selalu menganalisis Al Qur'an sebagaimana mereka melakukannya terhadap Injil. Khalidi bahkan cemas bila hasil penelitian Puin itu disebarluaskan, ia akan bisa dihukum oleh umat Islam, sebagaimana dialami Salman Rushdie akibat novelnya, Ayat-Ayat Setan (1988). Atau dihukum seperti Doktor Nasr Abu Zaid, dosen ilmu Al Qur'an dari Universitas Kairo, pada 1995, akibat karyanya Le Concept du Texte (1990), menyatakan, "Al Qur'an hanyalah teks sastra, dan satu-satunya cara untuk memahami, menerangkan, menganalisis, dan mengadaptasinya hanyalah melalui pendekatan sastra".

Toh, Salim Abdullah, Direktur Arsip Islam Jerman, yang berafiliasi pada Liga Islam Dunia, menanggapi kesimpulan Puin dengan sikap positif. "Doktor Puin sebelumnya telah meminta izin kepada saya,

apakah ia boleh mempublikasikan salah satu karangannya tentang dokumen Sana'a. Ketika saya memperingatkan bahwa ia akan menghadapi kontroversi, Puin mengatakan, sudah lama ia menunggu adanya perdebatan mengenai hal itu," kata Salim. Padahal, sebelumnya, akibat kesimpulannya yang mengejutkan itu, Puin sendiri segera diusir dari Yaman dan ia dilarang melanjutkan penelitiannya.

CRAIG WINN menulis dlm situsnya, PROPHET OF DOOM:

... Muslim juga akan menemukan bahwa penulisan Qur'an sangat kacau. Banyak kata-kata yang tidak berarti, kata-kata asing, kata-kata yang hilang sehingga menyulitkan terjemahan — siapapun perlu menebak apa yang dipikirkan Muhammad untuk mengerti apa yang dikatakan Allah. Itulah mengapa Gerd Puin, pakar ternama dalam bidang kaligrafi Arab dan paleografi Qur'an, mempelajari manuskrip-manuskrip tertua kecewa dengan keengganan Muslim dan non-Muslim utk menerima dogma Islam.

Katanya: “Qur'an menyatakan diri sebagai ‘mubeen,’ atau jelas, tapi dari pandangan sekilas saja kau akan melihat bahwa setiap kalimat kelima tidak masuk akal. Tentu Muslim tidak akan mengatakan padamu bahwa pada kenyataan, seperlima isi Qur’an sama sekali tidak dapat dimengerti. Inilah yang mengakibatkan tradisi senewennya Muslim. Jika Qur’an tidak dapat dimengerti, bahkan tidak dapat dimengerti dalam Bahasa Arab sekalipun, maka Qur'an tidak dapat diterjemahkan dalam bahasa manapun. Itulah mengapa Muslim sangat ketakutan”.



Sumber : http://www.facebook.com/note.php?note_id=150797901667708

Tidak ada komentar:

Posting Komentar