Senin, 18 Juli 2011

ISLAM DAN QUR'AN DI MATA EKSTERNAL

(Tulisan ini dikutip apa adanya dari sumber seorang teman di facebook yang menggunakan nama Badranaya)



SEBUAH PANDANGAN BARU YANG RADIKAL MENGENAI ISLAM DAN ASAL USUL QURAN

oleh Badra Naya pada 11 Juni 2011 jam 21:48

(Surga dengan 72 Bidadari Perawan berdada montok yang siap di oho-oho - eh ternyata cuman segenggam kismis putih. Sial deh)

Bagi umat islam Qur'an adalah fiman Allah, di mana Allah berbicara lewat malaikat Jibril kepada Muhammad: "Kitab ini tidak perlu diragukan lagi," tegas al Qur'an pada pembukaannya. Para sarjana dan penulis di negara-negara Islam yang telah mengabaikan peringatan tersebut telah kadang-kadang mendapati diri mereka menjadi target ancaman pembunuhan dan kekerasan yang dikirimkan secara dingin ke universitas-universitas di seluruh dunia.

Namun, tanpa menghiraukan ancaman itu, beberapa ahli telah diam-diam menyelidiki asal-usul Qur'an dan menawarkan teori-teori radikal baru tentang arti teks dan kebangkitan Islam.

Christoph Luxenberg, seorang sarjana Bahasa Semit Kuno di Jerman, berpendapat bahwa Qur'an telah salah dibaca dan diterjemahkan selama berabad-abad. Karyanya, berdasarkan salinan paling awal dari Al Qur'an, menyatakan bahwa bagian-bagian dari kitab suci Islam ini berasal dari teks-teks sekte Kristen berbahasa Aram yang disalah-tafsirkan oleh ulama Islam di kemudian hari yang tengah mempersiapkan edisi Qur'an yang kelak kita miliki saat ini.

Misalnya houri, bidadari perawan yang kelak menunggu para syuhada yang saleh sebagai hadiah mereka di surga, pada kenyataanya kata itu harusnya diterjemahkan sebagai "kismis putih" .

Christoph Luxenberg (nama samaran) dan buku ilmiahnya "The Syro-Aramaic Reading of the Koran" tadinya mengalami kesulitan mencari penerbit, meskipun dianggap sebagai karya baru besar dengan beberapa ulama terkemuka di bidangnya. Verlag Das. Arabische Buch di Berlin akhirnya menerbitkan buku.

Peringatan ini tidaklah mengejutkan. Buku Salman Rushdie "Ayat-ayat Setan" menerima fatwa karena karyanya tampak mengejek Muhammad. Novelis Mesir Naguib Mahfouz ditikam karena salah satu bukunya dianggap ‘tak beragama’. Dan ketika sarjana Arab Suliman Bashear berpendapat bahwa Islam dikembangkan sebagai sebuah agama secara bertahap, bukannya muncul dan terbentuk secara tiba-tiba dari mulut sang nabi, dia terluka setelah dilempar dari kelasnya lewat jendela di lantai dua oleh murid-muridnya di Universitas Nablus di Tepi Barat. Bahkan banyak Muslim liberal berwawasan luas menjadi marah ketika kebenaran sejarah dan keaslian Qur'an dipertanyakan.

Gemanya telah mempengaruhi para sarjana non-Muslim di negara-negara Barat. "Manakala terjepit di antara ketakutan dan kepura-puraan politik, tidaklah mungkin untuk mengatakan apapun selain omong kosong manis tentang Islam," kata seorang sarjana di sebuah universitas Amerika yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, mengacu pada ancaman kekerasan serta keengganan luas di perguruan tinggi Amerika Serikat kampus-kampus untuk mengkritik budaya lain.

Sekalipun tafsir kitab suci mungkin tampak seperti aktivitas terpencil dan tidak berbahaya, studi tekstual Kitab Suci Yahudi dan Kristen memainkan peran yang besar dalam melonggarkan dominasi Gereja pada kehidupan intelektual dan budaya di Eropa, dan membuka jalan bagi pemikiran sekuler agar tidak terkekang. "Kaum Muslim mendapatkan manfaat dari pengalaman Eropa, dan mereka tahu benar bahwa sekali Anda mulai mempertanyakan kitab suci, Anda tidak tahu di mana itu akan berhenti," jelas seorang sarjana.

Pendekatan pada pertanyaan tentang Qur'an sebenarnya datang jauh sebelum eskalasi militansi Islam. Sejak tahun 1977, John Wansbrough dari Sekolah Studi Oriental dan Afrika (school for Oriental and African Studies - SOAS) di London menulis tesis yang menempatkan Quran dalam analisa-analisa yang selama ini dikenakan pada kritik biblikal. Hal mana selama ini tidak pernah dikenakan pada Qur'an.

Lewat analisanya Wansbrough berpendapat bahwa teks-teks Qur'an tampaknya merupakan gabungan dari sumber-sumber yang berbeda atau naskah-naskah yang dikompilasi selama puluhan, jika tidak ratusan tahun. Lagian, para sarjana sepakat bahwa tidak ada bukti apapun dari keberadaan naskah-naskah Quran sampai 691 M, yaitu 59 tahun setelah kematian Muhammad - ketika Kubah Emas di Yerusalem dibangun yang konon membawa beberapa inskripsi dari Alqur'an.

Inskripsi ini berbeda dari versi Qur'an yang telah diwariskan selama berabad-abad. Para ahli menyarankan bahwa Qur'an mungkin saat itu masih berkembang sampai dasawarsa terakhir abad ketujuh. Selain itu, banyak dari apa yang kita kenal sebagai Islam - kehidupan dan perkataan Nabi - didasarkan pada teks-teks yang ditulis antara 130 sampai 300 tahun setelah kematian Muhammad.

Pada tahun 1977 dua sarjana lainnya dari SOAS di London University - Patricia Crone (sekarang seorang profesor sejarah di Institute for Advanced Studi di Princeton) dan Michael Cook (seorang profesor sejarah Timur Dekat di Princeton University) - mengusulkan pendekatan baru yang radikal dalam buku mereka “Hagarism: The Making of the Islamic World.”

Karena tidak ada catatan sejarah dalam Bahasa Arab dari abad pertama Islam, mereka berdua mencari dokumen-dokumen abad ketujuh dari sumber-sumber non-muslim yang memberi petunjuk bahwa Muhammad dianggap bukan sebagai pendiri suatu agama baru tetapi sebagai seorang pengkhotbah dalam tradisi Perjanjian Lama yang memanggil kedatangan seorang Mesias. Banyak dokumen awal mengacu pada para pengikut Muhammad sebagai "Hagarin," dan "suku Ismail," dengan kata lain sebagai keturunan Hagar, hamba sahaya dari Sarah istri Abraham bapak Bangsa Yahudi, yang diangkat sebagai gundik untuk meneruskan keturunan Abraham, yang darinya nanti lahirlah Ismail.

Dalam bentuknya yang paling awal, Crone dan Cook berpendapat bahwa para pengikut Muhammad mungkin telah melihat diri mereka sebagai pemilik misi untuk merebut kembali Tanah Suci, bersama sepupu Yahudi mereka. Dan dari catatan yang ada, memang kaum Yahudi menyambut kedatangan orang Arab sebagai pembebas ketika mereka memasuki Yerusalem pada tahun 638.

Gagasan bahwa mesianisme Yahudi tertanam dalam benak para pengikut awal sang nabi tidak diterima secara luas di lapangan, tetapi "gerakan Hagarisme" dipercaya sebagai pembuka dari pemikiran ini. "Crone dan Cook muncul dengan beberapa ide revisionis yang sangat menarik," kata Fred M. Donner dari University of Chicago dan penulis buku terbaru "Narratives of Islamic Origins: The Beginnings of Islamic Historical Writing." Saya pikir dalam rangka mencoba merekonstruksi apa yang telah terjadi, mereka menyelam ke kedalaman dan menanyakan pertanyaan yang tepat "

Sekolah revisionis Islam awal telah diam-diam mengambil momentum dalam beberapa tahun terakhir pada saat sejarawan lain mulai menerapkan standar rasional untuk membuktikan materi ini.

Cook dan Crone telah merevisi beberapa hipotesis awal mereka sementara beberapa bagian dari tesis itu masih tetap mereka pegang. "Kami yakin ada beberapa detil yang keliru ," kata Crone. "Tapi saya tetap berpegang pada titik dasar yang kami buat: Bahwa sejarah Islam tidak timbul sebagaimana tradisi klasik ceritakan".

Crone tetap berpegang bahwa Qur'an dan tradisi Islam menyajikan sebuah paradoks yang mendasar. Qur'an adalah teks yang direndam dalam cara berpikir monoteistik, penuh dengan cerita dan referensi kepada Abraham, Ishak, Yusuf dan Yesus, namun sejarah resmi menegaskan bahwa Muhammad, seorang pedagang onta buta huruf, menerima wahyu di Mekah, di bagian terpencil Arab dengan populasi yang jarang, jauh dari pusat-pusat pemikiran monoteistik, dalam lingkungan Badui Arab yang menyembah berhala. Nampaknya sukar untuk menerima ide kisah tentang munculnya malaikat Jibril. Crone mengatakan para sejarawan entah bagaimana harus menjelaskan bagaimana semua ide dan kisah monoteistik ini sampai ke Qur'an.

"Hanya ada dua kemungkinan," kata Crone. "Entah harus ada sejumlah besar orang Yahudi dan Kristen di Mekah atau Qur'an sebenarnya disusun di tempat lain."

Memang, banyak sarjana yang tidak revisionis setuju bahwa Islam harus ditempatkan kembali ke dalam konteks historis yang lebih luas dari agama-agama di Timur Tengah daripada melihatnya sebagai produk spontan dari padang pasir Arab murni. "Saya kira ada peningkatan penerimaan, bahkan pada bagian dari banyak warga Muslim, bahwa Islam muncul dari sub monoteistik yang lebih luas di Timur Tengah," kata Roy Mottahedeh, seorang profesor sejarah Islam di Harvard University.

Para sarjana seperti Luxenberg dan Puin Gerd-R. yang mengajar di Saarland University di Jerman, telah kembali ke mushaf Qur'an awal untuk memahami apa yang dikatakannya tentang asal-usul dokumen dan komposisinya. Luxenberg menjelaskan salinan ini ditulis tanpa vokal dan titik-titik, diakritik Bahasa Arab modern yang digunakan untuk membuat jelas apa yang dimaksudkan surah-surah. Pada abad kedelapan dan kesembilan, lebih dari satu abad setelah kematian Muhammad, komentator Islam menambahkan tanda diakritik untuk menjernihkan ambiguitas teks, memberikan makna yang tepat untuk bagian-bagian berdasarkan apa yang mereka anggap konteks yang tepat mereka. Teori radikal Luxenberg adalah bahwa banyak dari kesulitan teks ini bisa diklarifikasi jika dilihat sebagai keterkaitan erat dengan Bahasa Aram, rumpun bahasa yang paling banyak digunakan oleh Kaum Yahudi dan Kristen di Timur Tengah pada saat itu.

Sebagai contoh, bagian terkenal tentang bidadari perawan didasarkan pada kata ‘hur’, yang merupakan kata sifat dalam bentuk jamak feminin yang Cuma berarti "putih". Tradisi Islam menegaskan bahwa ‘hur’ istilah berarti "bidadari", yang berarti perawan, tapi Luxenberg bersikeras bahwa ini adalah salah baca teks yang dipaksakan. Baik dalam Bahasa Aram Kuno dan maupun setidaknya di salah satu kamus terpercaya Bahasa Arab awal, hur berarti "kismis putih".

Luxenberg telah menelusuri naskah-naskah yang berkaitan dengan syurga dalam teks Kristen yang disebut Hymne Surgawi yang ditulis oleh seseorang di abad keempat. Luxenberg mengatakan kata ‘firdaus’ atau surga berasal dari kata Bahasa Aram untuk taman dan semua deskripsi tentang syurga digambarkan sebagai taman air yang mengalir, buah-buahan yang melimpah dan kismis putih, camilan lezat paling berharga di Timur Dekat kuno. Dalam konteks ini, kismis putih, sering disebut sebagai ‘hur’. Luxenberg katakan penjelasan ini lebih masuk akal lebih dari hadiah nikmat seksual.

Dalam banyak kasus, perbedaan dalam Qur'an bisa sangat signifikan. Puin menunjukkan bahwa dalam salinan kuno Qur'an awal, adalah mustahil untuk membedakan antara kata-kata "melawan" dan "membunuh." Dalam banyak kasus, katanya, ahli tafsir Islam menambahkan tanda diakritik yang menghasilkan makna keras, mungkin mencerminkan suatu periode di mana Imperium Islam sering berperang.

Dengan kembali ke naskah awal Qur'an, Puin dan sarjana lainnya menyarankan, mungkin akan membimbing kita pada pemikiran islam yang lebih toleran, juga lebih sadar akan hubungan dekatnya baik Yudaisme maupun Kristen.

Ini adalah kerja serius dan menarik," tanggapan Crone tentang karya Luxenberg. Jane Mc. Auliffe, seorang profesor studi Islam di Georgetown University, telah meminta Luxenberg untuk berkontribusi sebuah esai kepada Ensiklopedia Qur'an, yang tengah ia edit.

Puin akan senang melihat "edisi kritis" dari Al Qur'an yang nantinya dihasilkan, yang didasarkan pada pekerjaan filologis baru-baru ini, tetapi, katanya, "kata kritis sering disalahpahami di dunia Islam - itu terlihat sebagai mengkritik atau menyerang teks."

"Beberapa penulis muslim telah mulai mempublikasikan karya skeptis, revisionis atas Qur'an juga. Beberapa volume karya kesarjanaan revisionis, "The Origins of Qur'an," dan "The Quest Historical Muhammad," telah diedit oleh mantan muslim yang menulis dengan nama pena Ibn Warraq. Warraq, yang mengepalai sebuah kelompok yang disebut Institut for the Secularization of Islamic Society, tidak memiliki agenda politik. "Karya kesarjanaan Alkitab telah membuat orang kurang dogmatis, lebih terbuka," katanya, "dan saya berharap yang ini terjadi pada masyarakat Muslim juga".

Namun banyak umat Islam yang memperlihatkan klaim ofensif terhadap revisionisme. "Saya pikir implikasi yang lebih luas dari beberapa sarjana revisionis adalah untuk mengatakan bahwa Qur'an bukan buku otentik, dan bahwa Qur'an itu dibuat 150 tahun kemudian," kata Ebrahim Moosa, seorang profesor studi agama di Duke University, serta ulama Muslim yang kecenderungan-kecenderungan teologis liberalnya membuat dia dimusuhi oleh kaum fundamentalis di Afrika Selatan, yang ia tinggalkan setelah rumahnya dibom oleh para fundamentalis.

Andrew Rippin, seorang Sarjana Islamis dari University of Victoria di British Columbia, Kanada, mengatakan bahwa kebebasan berbicara di dunia Islam lebih cenderung berevolusi dari dalam tradisi interpretatif Islam dari pada serangan luar atasnya. Pendekatan Al Qur'an sekarang yang dicap sesat – yang menafsirkan teks metaforis ketimbang secara harfiah - secara luas pernah dipraktekkan dalam Islam mainstream seribu tahun yang lalu.

"Ketika saya mengajar sejarah penafsiran, ini bagaikan membuka mata bagi para siswa akan sejumlah pemikiran independen dan keragaman interpretasi yang ada pada abad-abad awal Islam," kata Rippin. "Barulah pada abad-abad kemudian ada kebutuhan untuk membatasi interpretasi".

(diterjemahkan dari New York Times, 2 Maret 2002 : Oleh ALEXANDER STILLE)


Buku : ASAL USUL ISLAM YANG TERSELUBUNG - Wawancara dengan Karl-Heinz Ohlig

oleh Badra Naya pada 13 Juni 2011 jam 19:46

Dalam bukunya "The Hidden Origins of Islam: New Research into Its Early History" (Asal-Usul Islam yang Terselubung: Penyelidikan Baru ke dalam Sejarah Asalnya), ahli teologi Karl-Heinz Ohlig telah sampai pada kesimpulan bahwa Islam awalnya bukanlah agama tersendiri. Alfred Hackensberger mewawancarai sang penulis, Karl-Heinz Ohlig.

Buku anda berjudul "The Hidden Origins." Apa yang terselubung tentang asal-usul Islam?

Semua informasi yang kita miliki tentang asal-usul Islam didapat dari literatur yang dibuat di saat-saat terkemudian - "biografi-biografi" Nabi ditulis di abad 9 dan 10 M. Salah satu teks ini, yakni Annals of at-Tabari (10 M), merupakan sumber sejarah Islam yang jauh dari kejadian yang dikisahkan. Dengan begitu, kita tidak memiliki teks-teks menguatkan tentang Islam dan Muhammad pada dua abad pertamanya.

Dapatkah dokumen-dokumen yang dibuat di masa-masa kemudian ini dianggap akurat ? Dari sudut pandang pengamat ilmiah, tidak mungkinkah terjadi pemalsuan-pemalsuan?

Menggolongkan tulisan-tulisan ini, atau serupa dengan kitab Musa atau kisah Romulus dan Remus, sebagai pemalsuan jelas merupakan hal yang keliru, sebab kita perlu melihatnya sebagai bentuk literatur khusus yang tertentu. Dongeng-dongeng yang berdasarkan agama dan politik bukanlah laporan sejarah dan memang tidak ditulis sebagai laporan sejarah.

Kau menyatakan dalam laporanmu bahwa Islam tidak dianggap sebagai agama tersendiri. Apakah bukti yang kau miliki?

Menurut bukti literatur Kristen di bawah kekuasaan Arab di abad ke-7 dan 8 Masehi, juga keping uang logam dan tulisan Arab di waktu ini, seperti yang terdapat di mesjid Dome of Rock di Yerusalem, penguasa-penguasa baru memilih jenis Kristen Syria-Persia yang menolak keputusan Konsul Nicaea. Jenis Kristen ini menganggap Yesus sebagai Nabi, pelayan Tuhan, tapi bukan putra Tuhan secara fisik, dan merupakan sosok mandiri yang tidak "bergabung" dengan sosok apapun. Bapak-bapak Gereja, seperti misalnya Uskup Yohanes dari Damaskus (sekitar 750 M) menganggap jenis kekristenan ini sebagai bid'ah (sesat), karena pengertiannya akan kekristenan berbeda dengan Kristen Ortodox dan Katolik. Tiada pemberitaan apapun tentang agama baru yang independen di Arab sebelum abad ke 9 M.

Apakah ini berarti agama Islam dibuat sebagai agama tersendiri, terpisah dari kekristenan, di waktu-waktu berikutnya?

Pembentukan Islam sebagai agama mandiri tampaknya merupakan keputusan pribadi atau seperti keputusan berdasarkan pertimbangan keadaan. Ini seperti kasus di mana agama-agama baru seringkali muncul melalui konsep-konsep agama yang terdahulu. Konsep-konsep ini lalu ditafsirkan dengan cara yang berbeda, diubah bentuk, dan diatur lagi dengan cara yang spesifik.

Anda juga telah mengadakan riset sejarah kritis dengan menaruh hormat pada Nabi Muhammad. Apa yang bisa kau katakan tentang orang ini ?

Sudah terbukti bahwa uang logam terawal dengan motto MHMT muncul di Mesopotamia timur di sekitar tahun 660 M, dan lalu menyebar ke barat, dan uang-uang logam dua bahasa dicap dengan huruf MHMT di tengah dan kata Muhammad dalam tulisan Arab di bagian pinggir. Uang-uang logam ini mengandung simbol-simbol Kristen, misalnya selalu lambang salib, sehingga nama Muhammad sudah jelas dimengerti sebagai predikat Yesus, sama seperti Sanctus of the mass (pujian bagi Dia yang datang).

Di sini, Muhammad berarti "dimuliakan" dan" terpuji" atau "Dia yang dimuliakan" dan "Dia yang terpuji". Tulisan ini juga sama dengan tulisan yang terdapat di mesjid Dome of the Rock di Yerusalem, di mana gelar Muhammad diartikan sebagai Messiah, Yesus, putra Maryam, dan pelayan Tuhan. Hal ini cocok dengan polemik Uskup Yohanes dari Damaskus yang menentang pernyataan² seperti itu yang dianggapnya sebagai bid'ah (sesat).

Setelah itu, tampaknya predikat kekristenan ini lalu hilang sedemikian rupa sehingga di Qur'an muncul Nabi tanpa nama yang kemudian dikenal sebagai Nabi Arab. Sumber-sumber paling dini dari sejarah ini ditemukan dalam tulisan-tulisan Yohanes dari Damaskus, yang menyebut tentang Nabi Palsu bernama Mamed. Hanya di waktu kemudian saja mulai ada catatan sejarah tentang Muhammad.

Jadi apakah anda mengatakan bahwa istilah Muhammad itu kemungkinan berkenaan dengan Kristus?

Sangat memungkinkan benar – bahkan jika dulu tidak ada bukti mengarah ke situ (tapi sekarang ada) - bahwa ada seorang pengkhotbah penting dalam sejarah awal atau saat tertentu pembentukan Qur'an. Akan tetapi, berdasarkan bukti uang-uang logam Arab dan tulisan di mesjid Dome of Rock, sudah jelas bahwa istilah Muhammad berarti yang disebut atau yang terpuji, asalnya adalah gelar kehormatan kekristenan.

Tanya: Mengapa hubungan seperti ini tidak pernah disebut sebelumnya?

Penyelidikan seperti ini dilarang dalam theologia Muslim, yang memang belum memasuki zaman pencerahannya. Studi-studi Islam oleh Sarjana Barat masih dalam lingkung filologi saja (penyelidikan tentang bahasa dan literatur) tanpa mengikut sertakan metoda-metoda sejarah ilmiah. Hal yang sama, hanya ada sedikit sekali penelitian sejarah theologikal Kristen dalam tradisi budaya Timur Tengah yang sangat beragam. Karena akar-akar dan motivasi-motivasi tradisi ini tidak dikenali.

Dalam buku anda "Early Islam" (Islam Awal), anda menulis bahwa anda tidak bermaksud untuk melukai Islam. Banyak Muslim tentunya akan tersinggung dengan karya tulisan anda.

Sejak abad ke-18 M, banyak orang-orang Kristen, juga sampai pada hari ini, menganggap bahwa abad Pencerahan sebagai serangan atau usaha menghancurkan agama mereka. Tapi pada kenyataannya, abad Pencerahan justru memberi kesempatan pada agama Kristen untuk bertahan dalam dunia modern dan juga sesuai dengan kehidupan masyarakat modern. Ini adalah fase yang Islam juga harus lewati, tapi hal ini memang tidak dapat dihindari jika Islam masih ingin tetap ada di masa depan, atau hanya ingin ada di masyarakat tertutup saja seperti di ghetto.

diterjemahkan dari:

http://en.qantara.de/Muhammad-as-a-Christological-Honorific-Title/8052c8121i1p164/index.html

Apakah Al-Quran Wahyu Ilahi ? Bagian 1

oleh Badra Naya pada 24 Juni 2011 jam 15:40

Apakah Al-Quran Wahyu Ilahi ?

Oleh : Jay Smith

Diterjemahkan oleh Badranaya

dari http://www.scribd.com/doc/55876961/Is-the-Quran-the-Word-of-God

Prakata dari Penerjemah

Siapakah Jay Smith? Setiap orang yang sering terlibat dalam debat Islam - Kristen akan segera mengenal nama Jay Smith. Ia adalah seorang penginjil yang tinggal di London, Inggris. Ia juga seorang apologetis, yakni ahli dalam menerangkan dan mempertahankan keimanan agamanya dalam debat agama.

Namun jangan anda salah sangka. Penerjemah bukanlah seorang Kristen, dan tentu tidak tertarik dengan penjelasan tentang apa itu iman dalam kekristenan. Penerjemah hanya berfokus pada kritik terhadap iman Islam dan tradisi Islam yang dilatar-belakangi dengan pemikiran yang kritis, bukan dengan kecurigaan dan kedengkian.

Islam sudah terlalu lama dikungkung dalam kecurigaan dan kebencian pada Barat, Kristen dan Yahudi, sehingga kita menjadi bagai katak dalam tempurung yang hanya mendengar kisah kita saja tanpa mau mendengarkan kisah orang. Kita melihat dunia dalam kacamata kita sendiri, tanpa mau menyadari bahwa kaca mata kita sudah membentuk kita dalam perspektif yang dogmatis.

Kebenaran harus jadi kebenaran manakala ia dicecar dengan kritik dan pertanyaan. Jika ia tidak kuat diterpa pertanyaan dan kritikan, serta tidak ditopang oleh bukti-bukti valid sejarah, maka ia bukanlah kebenaran, ia hanyalah pembenaran.

Manusia dewasa hidup atas dasar nilai-nilai kebenaran, bukan emosionalitas agama. Sejauh apa kita bisa berpikir dengan tenang dan mempertimbangkan apa yang layak dipercaya karena bukti-bukti yang menyokongnya, sejauh itu pula kedewasaan kita berkembang. Kita hidup di abad XXI dimana kita belajar dengan menggunakan otak, bukan perasaan. Dan tidak patut kita, demi membuat tameng bagi kelemahan dogma yang kita percayai, dengan entengnya berkata, “saya tetap beriman, walau tanpa bukti yang menopang kebenaran dogmatik itu”.

Untuk itu para pembaca diharapkan terbuka dalam setiap kritik. Karya Jay Smith ini merangkum banyak poin-poin penting dari berbagai buku yang terbaik mengenai kritik terhadap Islam.

Tidak ada caci-maki atau pelecehan di sini. Sehinggga anda tidak perlu membuangnya seketika anda membaca judulnya saja, kecuali memang anda sudah punya prasangka buruk, hal mana sangat disesalkan.

Penerjemah berupaya untuk mendekatkan terjemahan dengan format kalimat asli dari penulis yang sering kali panjang dan kompleks, hal mana pembaca awam di Indonesia tidak begitu akrab dengannya. Penerjemah memilih kata-kata yang umum, sehingga baik pembaca muslim dan non-muslim bisa memahaminya. Selamat membaca dan menimba ilmu darinya.

A: Kata Pengantar

Pada bulan Agustus tahun 1995 saya diundang untuk ikut dalam acara debat dengan tema usulan, "Apakah Qur'an Pewahyuan Ilahi?" dengan Dr Jamal Badawi. Perdebatan tersebut berlangsung di Trinity College, Cambridge, dan setelah paparan kami selesai disajikan perdebatan dibuka untuk audiens selama satu jam pertanyaan baik dari Muslim dan Kristen yang hadir. Berikut adalah isi dari makalah, yang saya berikan dalam debat, serta materi lebih lanjut, yang saya digunakan dalam sesi tanya jawab, dan data lebih lanjut, yang telah saya keluarkan pada saat sesi debat. Karena ketertarikan yang ditunjukkan pada topik itu, kami telah menempatkan makalah ini bersama dengan sepuluh masalah apologetik lainnya, dan beberapa sanggahan muslim terhadap materi itu, serta sejumlah 99 Traktat Kebenaran populer di situs-web, di internet (silakan mengaksesnya di : http://www.domini.org/debate/home.htm).

Harapan kami adalah bahwa materi debat di situs web ini dapat menyebar ke seluruh dunia, dan membantu untuk menghidupkan dialog yang telah dimulai dalam Debat Cambridge.

(Catatan: Saya telah mencoba untuk memberi catatan kaki pernyataan-pernyataan yang terbukti menjadi sumber perdebatan, atau yang akan merangsang pembaca untuk mencari data lebih lanjut. Saya telah menggunakan model Harvard, yang dimulai dengan nama penulis, diikuti dengan tanggal publikasi, dan nomor halaman).

Mari kita mulai pelajaran kita.

Islam mengklaim bahwa Al Qur'an bukan hanya Firman Tuhan, tetapi ia adalah wahyu terakhir diberikan kepada manusia. Qur’an datang dari "Ibu dari segala kitab" menurut Surah 43:2-4. Muslim mempertahankan keyakinan bahwa Qur'an adalah salinan yang tepat kata perkata dari pewahyuan Allah yang terakhir, yang ditemukan di naskah asli yang selalu tersimpan di syurga. Mereka merujuk pada Surah 85:21-22, yang mengatakan,

Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al-Qur'anul Majid;

yang tersimpan dalam Lauh Mahfuz. (QS 85:21-22)

Ulama Islam berpendapat bahwa bagian ini mengacu pada kitab yang tidak pernah dibuat. Mereka percaya bahwa Qur'an adalah salinan identik dari buku syurgawi yang kekal, bahkan sejauh tanda baca, judul dan divisi dari bab yang bersangkutan.

Menurut tradisi Muslim, "wahyu-wahyu ini mulai diturunkan (Tanzil atau Nazil) (Surah 17:85), dari level terendah dari syurga tujuh lapis di bulan Ramadhan, pada malam Lailatul Qadar (Pfander, 1910:262). Dari sana wahyu-wahyu ini diturunkan kepada Muhammad secara berangsur, seiring dengan munculnya kebutuhan akan suatu hal, melalui malaikat Jibril (Surah 25:32). Akibatnya, setiap huruf dan setiap kata bebas dari pengaruh manusia, yang memberikan Al Qur’an aura otoritas, bahkan kekudusan, dan dengan demikian, integritas.

Kebanyakan orang Barat selama ini menerima klaim ini dari umat Islam sebagai penakdiran. Mereka tidak pernah memiliki kemampuan untuk berdebat lewat kejujuran mereka, karena klaim-klaim tersebut tidak bisa dibuktikan atau dibantah sebab otoritasnya berasal hanya dari Al Qur'an itu sendiri (termasuk merontokkan klaim muslim tentang terpenuhinya nubuatan-nubuatan Alkitab dalam Ulangan 18, Yohanes 14, 16 oleh Muhammad, dan mungkin lainnya). Pula telah terjadi keengganan untuk mempertanyakan Qur'an dan Muhammad karena respon negatif dari umat Islam yang diarahkan kepada mereka yang cukup berani untuk mencobanya di masa lalu. Faktanya adalah bahwa Barat telah terlalu lama menyenangkan dirinya dengan mengasumsikan bahwa umat Islam memiliki bukti dan data untuk mendukung klaim mereka.

Baru sekarang ini, ketika para cendekiawan sekuler tentang Islam (dikenal sebagai "Para Orientalis") menguji kembali sumber-sumber Islam, bahwa bukti tengah ditemukan yang mengarah pada pertanyaan yang jauh dari apa yang kepadanya kita telah dituntun untuk percaya; tentang Muhammad dan wahyu-Nya, yakni Qur'an.

Temuan para sarjana ini menunjukkan bahwa Al Qur'an bukan diturunkan pada satu orang, tetapi merupakan kompilasi dari redaksi (atau edisi) yang terkemudian yang dirumuskan oleh sekelompok orang, selama lebih dari beberapa ratus tahun (Rippin 1985:155 dan 1990:3,25, 60). Dengan kata lain, Al Qur’an yang kita baca sekarang tidak sama dengan Qur'an yang ada di pertengahan abad ketujuh, tapi mungkin lebih dari sebuah produk dari abad kedelapan dan kesembilan (Wansbrough 1977:160-163). Pada zaman kurun waktu itu, para orientalis mengatakan, khususnya pada abad kesembilan, bahwa Islam mengambil identitas klasik dan menjadi apa yang dikenal saat ini. Akibatnya mereka berpendapat bahwa tahap pembentukan Islam terjadi tidak pada jaman ketika Muhammad hidup, tapi berkembang selama 200-300 tahun (Humphreys 1991:71, 83-89).

Sumber bahan yang merujuk pada kurun waktu itu, bagaimanapun, adalah jarang. Pada dasarnya satu-satunya sumber yang tersedia bagi para sejarawan adalah sumber-sumber muslim. Terlebih lagi di luar Al Qur’an, semua sumber merupakan produk yang terkemudian. Sebelum 750 M kita tidak memiliki dokumen muslim yang bisa diverifikasi yang dapat memberi kita jendela ke masa pembentukan Islam (Wansbrough 1978:58-59). Tidak ada yang dapat digunakan untuk menguatkan materi Tradisi Muslim (yaitu, sejarah Islam berdasarkan tradisi mereka). Dokumen terkemudian hanya memanfaatkan dokumen-dokumen sebelumnya, yang tidak ada lagi pada kita saat kita ini (jika memang mereka sama sekali ada) (Crone 1987:225-226; Humphreys 1991:73). Periode Klasik ini (sekitar 800 M) menggambarkan periode sebelumnya, tetapi dari sudut pandangnya sendiri, sama seperti orang dewasa yang menulis tentang masa kecil mereka, mereka akan cenderung mengingat momen-momen menyenangkan saja. Dengan demikian catatan tradisi Islam sudah diwarnai dan bias, dan tidak dapat diterima sebagai otentik oleh para ahli sejarah (lihat studi Crone tentang masalah tradisi, "terutama yang tergantung pada pendongeng lokal, di Meccan Trade .... 1987, pp.203-230 dan Slaves on Horses, 1980, hlm 3-17).

Akibatnya, garis demarkasi antara apa yang sejarawan terima dan apa yang Tradisi Muslim pertahankan melebar lebih lanjut karena alasan berikut: Islam, menurut ulama Muslim ortodoks, memberikan kepercayaan penuh untuk intervensi ilahi bagi wahyunya. Tradisi Muslim menegaskan bahwa Allah menurunkan wahyu kepada Muhammad melalui malaikat Jibril (Gabriel) selama dua puluh dua tahun (610-632 M), di mana pada masa itu banyak hukum dan tradisi yang menggambarkan apa yang kita definisikan sebagai Islam dirumuskan dan berlangsung.

Namun skenario inilah yang sejarawan sekuler tolak keras saat ini, sepertinya klaim ini mengandaikan bahwa pada abad ketujuh awal, Islam, sebuah agama dengan kecanggihan yang luar biasa, dengan hukum dan tradisi yang rumit dirumuskan dalam budaya nomaden yang terbelakang dan secara penuh berfungsi hanya dalam 22 tahun.

Sebelum zaman itu, Hijaz (Arabia pusat) hampir tidak pernah dikenal di dunia beradab. Bahkan tradisi terkemudian merujuk pada periode ini sebagai Jahiliyyah (atau periode kebodohan - menyiratkan keterbelakangannya). Arabia sebelum Muhammad tidak memiliki budaya kota (urbandized culture), juga tidak mungkin membanggakan infrastruktur canggih yang dibutuhkan untuk menciptakan, apalagi mempertahankan skenario yang dilukis oleh tradisi-tradisi terkemudian sebagai periode awal Islam (Rippin 1990:3-4). Jadi, bagaimana mungkin ia datang secara serentak begitu rapi dan begitu cepat? Tidak ada preseden sejarah untuk skenario semacam ini. Kita akan mengharapkan derajat kecanggihan itu tercipta selama satu atau dua abad, sepanjang ada sumber-sumber lain, seperti budaya yang melingkupinya dari mana tradisi dan hukum bisa dipinjam, tapi jelas tidak mungkin lingkungan padang pasir yang tidak canggih dan terbelakang, dan jelas tidak mungkin dalam periode dari 22 tahun saja.

Sejarawan sekuler tidak bisa begitu saja menerima posisi yang diasumsikan oleh tradisi-tradisi terkemudian bahwa semua ini muncul melalui wahyu ilahi, karena mereka berpegang bahwa seluruh sejarah harus disertai dengan bukti sejarah. Mereka dipaksa untuk tenang dan bertanya bagaimana kita tahu apa yang kita tahu, di mana informasi tersebut berasal, dan apakah ini ada karena suatu ‘bias’ atau analisis sejarah netral.

Oleh karena itu, para sejarawan, telah didorong ke dalam dilema. Sebab lewat presuposisi sekuler mereka tidak bisa mendasarkan penelitian mereka atas dasar keberadaan Tuhan, namun mereka tidak bisa membuang elemen Tradisi Muslim (yang tentu mengandaikan keberadaan-Nya), karena sumber tradisi ini adalah yang terbaik yang dimiliki dan kadang-kadang hanya itulah dokumen yang tersedia.

Itulah yang terjadi sampai saat ini.

Sederet ahli sejarah tentang Islam yang baru (seperti Dr John Wansbrough, Michael Cook [keduanya dari SOAS], Patricia Crone, yang sebelumnya dari Oxford sekarang mengajar di Cambridge, Yehuda Nevo dari University of Jerusalem, Andrew Rippin dari Kanada, dan lain-lain), sementara mengakui bahwa ada suatu misteri bekenaan dengan pertanyaan mengenai intervensi ilahi, sekarang melihat lebih dekat pada sumber-sumber lain tentang Al Qur'an untuk memastikan petunjuk untuk asal-usulnya. Adalah sumber-sumber ini yang kini mulai mengungkapkan bukti penjelasan alternatif awal dari sebuah agama yang saat ini dianut seperlima populasi dunia, dan juga tumbuh lebih cepat dari agama besar lainnya.

Dengan demikian, adalah hasil karya mereka yang akan saya gunakan untuk memahami dengan lebih baik asal-usul yang memungkinkan dari Al Qur'an. Ini adalah materi mereka, dan teman sejawat lainnya, yang saya rasa para apologetis Muslim harus hadapi secara serius dalam tahun-tahun mendatang, sebanyak ini data baru yang secara serius meragukan banyak klaim diteruskan oleh para sarjana Muslim tradisional tentang kitab suci mereka, Al Qur'an, dan Muhammad. Untuk itu mari kita mulai analisis kita dengan melihat pada sumber-sumber yang kita ketahui yang menyoal Islam, nabi dan kitabnya.




Apakah Al-Quran Wahyu Ilahi ? Bagian 2

oleh Badra Naya pada 24 Juni 2011 jam 17:32

B: Masalah-masalah dalam Tradisi Islam

Dalam rangka untuk membuat kritik terhadap Al Qur'an, adalah penting untuk tidak menekankan pada apa yang para penafsir zaman ini katakan, namun langsung kembali ke awal, ke sumber-sumber paling awal dari Al Qur'an yang kita miliki, untuk memetik petunjuk yang berkenaan dengan otentisitasnya. Kita akan berasumsi bahwa ini harus cukup mudah dilakukan, karena merupakan suatu bentuk sastra yang relatif muda yang muncul di tempat kejadian, yang menurut Muslim “hanya 1.400 tahun yang lalu".

B1: Sumber-sumber

Pertanyaan mengenai sumber-sumber selalu menjadi area perdebatan bagi sarjana sekuler Islam, seperti halnya studi Al Qur’an harus dimulai dengan masalah sumber-sumber primer atau sekunder.

  • Sumber primer adalah bahan-bahan yang terdekat, atau memiliki akses langsung ke kejadian tersebut.
  • Sumber sekunder berkenaan dengan material yang cenderung lebih baru dan, akibatnya, tergantung pada sumber-sumber primer.

Dalam Islam, sumber-sumber primer yang kita miliki adalah 150-300 tahun setelah kejadian yang mereka gambarkan, dan oleh karena itu cukup jauh dari peristiwa-peristiwa tersebut (Nevo 1994:108; Wansbrough 1978:119; Crone 1987:204). Untuk alasan tersebut mereka disebut sumber-sumber sekunder, sebagai tujuan praktis, karena mereka bergantung pada bahan lain yang banyak tidak lagi ada. Yang pertama dan terbesar dari sumber-sumber tersebut adalah "Tradisi Islam atau Tradisi Muslim" Karena pentingnya Tradisi Muslim ini, maka sangat penting bagi kita untuk mengupas mereka terlebih dahulu.

Tradisi Muslim terdiri dari tulisan-tulisan yang disusun oleh Muslim di akhir abad kedelapan sampai awal abad kesepuluh awal tentang apa yang Nabi Muhammad katakan dan lakukan di masa hidupnya di abad ketujuh, dan tentang komentar-komentar Al Qur’an. Sejauh ini catatan-catatan seperti itulah yang menjadi bahan yang paling luas yang kita miliki saat ini tentang periode awal Islam. Mereka juga ditulis secara lebih mendetil dari pada apapun yang kita miliki saat ini, dalam catatan tersebut memasukan tanggal dan penjelasan atas apa yang terjadi. Catatan-catatan tersebut menjadi pelengkap Al Qur'an.

Al Qur'an pada dirinya sendiri adalah sulit untuk diikuti, karena membuat pembaca bingung ketika temanya melompat dari cerita satu ke cerita lainnya dengan sedikit latar belakang narasi atau penjelasan. Adalah pada titik ini bahwa tradisi menjadi penting karena mereka mengisi rincian yang dinyatakan hilang. Dalam beberapa kasus Tradisi menang atas Al Qur'an. Sebagai contoh : ketika Al Qur'an mengacu pada tiga doa harian (Surah 11:114, 17:78-79, 30:17-18 dan mungkin 24:58), sedangkan dalam Tradisi Muslim shalat lima waktu ditetapkan oleh tradisi terkemudian telah diadopsi oleh kaum Muslim (Glasse 1991:381).

Sejumlah genre dapat kita temukan dalam tradisi-tradisi. Para penulis Tradisi ini bukanlah penulis professional, melainkan pengumpul kisah dan editor yang mengumpulkan informasi yang “diturunkan kepada mereka", dan terciptalah Tradisi itu. Ada banyak pengumpul kisah, tetapi empat yang dianggap oleh banyak umat Islam yang paling berwibawa dalam genre masing-masing. Para pengumpul kisah ini hidup dan mengumpulkan materi mereka antara 750-923 AD (atau 120-290 tahun setelah kematian Muhammad).

Mungkin akan membantu untuk mendaftar karya-karya mereka, bersama dengan tanggal mereka:

  1. Sirah Nabi adalah catatan tentang kehidupan tradisional nabi (termasuk pertempuran-pertempurannya). Sirah yang paling komprehensif ditulis oleh Ibn Ishaq (meninggal 765 AD), meski tidak satupun dari manuskrip yang ia miliki ada pada kita saat ini. Akibatnya, kita tergantung pada Sirah Ibn Hisham (meninggal 833 AD), yang katanya ia ambil dari Ibn Ishaq, meskipun menurut pengakuannya sendiri (berdasarkan penelitian dari Patricia Crone) Ibnu Ishaq menghilangkan bagian-bagian yang yang mungkin menyebabkan kontroversi (yakni kisah manapun yang ia rasakan menjijikkan, puisi yang tidak bisa dibuktikan di bagian-bagian lain, serta hal-hal yang dia tidak bisa terima sebagai dapat dipercaya) (Crone 1980:6).
  2. Hadits adalah ribuan laporan pendek atau narasi (Akhbar) tentang perkataan dan perbuatan nabi yang dikumpulkan oleh Muslim di abad kesembilan dan kesepuluh. Dari enam koleksi Hadis yang paling terkenal, hadits-hadits al-Bukharilah (meninggal 870 AD) yang dianggap oleh banyak muslim sebagai yang paling otoritatif.
  3. Tarikh adalah sejarah atau kronologi kehidupan nabi, yang paling terkenal ditulis oleh al-Tabari (meninggal 923 AD) pada awal abad kesepuluh.
  4. Tafsir adalah komentar dan penafsiran di Al Qur'an, tata bahasa dan konteksnya, yang paling dikenal juga ditulis oleh al-Tabari (meninggal 923 AD).

B2: Kemunculan Yang Begitu Terlambat

Jelas, pertanyaan pertama yang harus kita pertanyakan adalah mengapa tradisi ini ditulis begitu terlambat, yakni 150-300 tahun setelah kejadian? Kita sama sekali tidak memiliki “catatan dari komunitas Islam selama 150 tahun pertama, antara penaklukan Arab pertama, yakni dari awal abad ketujuh, hingga kemunculan komunitas islam, dengan narasi sira-maghazi, sebagai awal literature Islam, yakni di akhir abad kedelapan (Wansbrough 1978:119). Kita seharusnya berharap untuk menemukan dalam masa 150 tahun itu setidaknya sisa-sisa bukti pengembangan agama Arab tua menuju Islam, namun kita menemukan apa-apa (Nevo 1994:108; Crone 1980:5-8).

Ada Muslim yang tidak setuju dengan fakta di atas, dengan tetap mempertahankan bahwa ada bukti tradisi sebelumnya, utamanya Muwatta oleh Malik ibn Anas (lahir 712 M dan meninggal pada 795 M). Norman Calder dalam bukunya Study in Early Muslim Jurisprudence tidak setuju dengan penanggalan awal seperti itu dan banyak pertanyaan menyangkut karya tersebut dapat dikaitkan dengan penulis-penulis yang disebutkan di situ. Dia berpendapat bahwa sebagian besar teks yang kita miliki dari para penulis ini, yang dianggap sebagai penulis islam awal, adalah "kumpulan teks" yang ditransmisikan dan dikembangkan selama beberapa generasi, dan mencapai bentuk yang kita ketahui lebih terkemudian sebagai karya dari "penulis" yang disangkakan, yaitu mereka yang dianggap menulis kisah-kisah itu.

Dengan mengikuti anggapan bahwa saat itu "aliran Syafi'i's" (yang menuntut bahwa semua hadis ditelusuri kepada Muhammad) belum berlaku sampai setelah 820 M, ia menyimpulkan bahwa karena Mudawwana tidak berbicara tentang otoritas kenabian Muhammad sedangkan Muwatta tidak, Muwatta selayaknya jadi dokumen yang terkemudian. Akibatnya, posisi Calder Muwatta harusnya hadir sebelum tahun 795 M, tapi kadang setelah Mudawwana yang ditulis pada tahun 854 M. Kenyataannya Calder menempatkan Muwatta bahkan tidak di Arab abad kedelapan namun di Cordoba, Spanyol abad kesebelas (Calder 1993). Jika ia benar maka kita memang ditinggalkan dengan begitu sedikit bukti dari setiap tradisi dari masa awal Islam.

Humphreys mengkristal masalah ini ketika dia menunjukkan bahwa, "Kita akan menganggap umat Islam pastilah dilecut sedemikian rupa untuk mencatat prestasi spektakuler mereka, sementara kaum yang sangat terpelajar dan masyarakat perkotaan yang segera akan ditundukkan oleh Islam hampir tidak bisa mengetahui nasib yang akan menimpa mereka "(Humphreys 1991:69). Namun menurut Humphreys semua yang kita temukan dari periode awal ini merupakan sumber yang, "entah perspektif yang fragmentaris, atau sangat spesifik, atau bahkan eksentrik", benar-benar membatalkan setiap kemungkinan untuk merekonstruksi Islam abad pertama secara memadai (Humphreys 1991: 69).

Untuk itu pertanyaan yang harus ditanyakan di sini adalah dari mana para pengumpul kisah nabi di abad ke-8 & 9 mendapatkan bahan cerita mereka?

Jawabannya adalah bahwa kita tidak tahu. "Bukti yang kita miliki dokumentasi sebelum 750 M hampir seluruhnya terdiri dari kutipan yang agak meragukan dari kompilasi yang dilakukan terkemudian" (Humphreys 1991:80). Akibatnya, kita tidak memiliki bukti yang dapat dipercaya jika tradisi benar-benar berbicara tentang kehidupan Muhammad, atau bahkan Qur'an (Schacht 1949:143-154). Kita diminta untuk percaya bahwa dokumen-dokumen ini, yang ditulis ratusan tahun kemudian, sebagai dokumen yang akurat. Sayangnya kita tidak disajikan dengan bukti kejujuran mereka; di luar isnad - yang tidak lebih dari daftar yang dimaksudkan untuk memberikan nama-nama mereka dari lisan yang ini tradisi diturunkan. Bahkan isnad sendiri kurang dalam dokumentasi pendukung yang dapat digunakan untuk menguatkan otentisitas mereka (Humphreys 1991:81-83), namun dilebih-lebihkan dalam tulisan-tulisan di kemudian hari.

B2a: Belum Berkembangnya Tradisi Tulis Menulis ?

Muslim mempertahankan pandangan bahwa begitu terlambatnya sumber primer dapat dikarenakan budaya tulis menulis belum berkembang luas di daerah terisolasi seperti Arab pada saat itu. Asumsi ini sama sekali tidak berdasar, sebab budaya menulis di atas kertas sudah dimulai jauh sebelum abad ketujuh. Menulis di atas kertas ditemukan pada abad keempat, dan digunakan secara luas di dunia beradab sejak saat itu. Dinasti Umayyah bermarkas di daerah Siria, bekas provinsi Bizantium, dan bukan di Arab. Siria saat itu adalah suatu masyarakat yang canggih di mana para sekretaris dipekerjakan untuk tulis menulis di pengadilan Khalifah. Ini membuktikan bahwa budaya menulis naskah sudah dengan baik dikembangkan di sana.

Lebih jauh lagi kita diberitahu bahwa Arab (yang lebih dikenal sebagai Hijaz) di abad ketujuh dan sebelumnya, adalah daerah perdagangan, di mana rombongan karavan pedagang bolak-balik rute utara-selatan, dan mungkin timur-dan barat. Sementara bukti-bukti menunjukkan bahwa perdagangan terutama bersifat lokal (seperti yang akan kita bahas kemudian). Bagaimana para pedagang menyimpan catatan mereka jika alat tulis menulis tidak tersedia saat itu ? Mereka tentu tidak menghafal angka-angka di luar kepala sebagai catatan jual beli mereka bukan?

Dan akhirnya kita harus bertanya : bagaimana Al-Qur'an ada dalam bentuk sekarang jika tidak ada seorangpun yang mampu menggunakan pena dan kertas untuk menulis pada waktu itu?

Muslim mengklaim adanya sejumlah mushaf / naskah Qur'an tidak lama setelah kematian Muhammad, seperti mushaf Abdullah ibn Mas'ud, Abu Musa, dan Ubayy bin Ka'b (Pearson 1986:406). Dalam bentuk apakah mushaf ini jika mereka bukan dokumen tertulis ? Teks Usman sendiri harus sudah ditulis, jika tidak maka tidak akan disebut teks ! Budaya tulis menulis sudah ada, tapi untuk suatu alasan tertentu, mengapa tidak ada catatan sebelum tahun 750 M yang tersimpan ?

B2b: Usia Ketahanan Kertas

Sarjana Muslim lain mempertahankan bahwa tidak adanya dokumentasi awal bisa disalahkan pada usia ketahanan kertas. Mereka percaya bahwa bahan atas mana sumber-sumber utama ini ditulis entah hancur dari waktu ke waktu, sehingga yang tersedia pada kita hanya sedikit saja, atau rusak karena perlakuan yang kasar oleh penggunanya sehingga hancur.

Argumen ini agak meragukan, sebab dii British Library kita memiliki cukup banyak contoh dokumen yang ditulis oleh individu dalam masyarakat yang tidak terlalu jauh dari Arab, yang hidup ratusan tahun sebelum Muhammad hidup. Terpampang di museum itu manuskrip Perjanjian Baru seperti Codex Syniaticus dan Codex Alexandrinus, baik yang ditulis pada abad keempat, tiga sampai empat ratus tahun sebelum zaman Muhammad hidup ! Mengapa mereka tidak hancur karena usia?

Ketika kita menerapkannya pada Al Qur'an argumen ini sangatlah lemah. Mushaf Usman, yakni kanon Qur'an terakhir disusun oleh Zaid ibn Thabit, di bawah arahan khalifah ketiga Usman, dianggap oleh semua umat Islam sebagai bagian paling penting dari literatur yang pernah ditulis. Seperti yang kita catat sebelumnya, menurut Surah 43:2-4, Qur'an adalah "ibu dari semua kitab". Pentingnya Al Qur’an terletak pada keyakinan bahwa ia dianggap sebagai replika yang tepat dari "kitab abadi" yang ada di syurga (Surah 85:22). Tradisi Muslim memberitahu kita bahwa semua mushaf dan dokument pesaing lainnya telah dimusnahkan setelah 646-650 M. Bahkan mushaf yang Hafsah simpan, dari mana resensi final Qur'an diambil, akhirnya dibakar. Jika Mushaf Usmani ini begitu penting, mengapa saat itu tidak ditulis di atas kertas, atau bahan lain yang akan berlangsung sampai hari ini? Dan tentu saja, jika naskah awal robek atau rusak karena penggunaan, mengapa tidak diganti dengan mushaf yang ditulis pada kulit, seperti begitu banyak dokumen lama lainnya yang masih ada saat ini ?

Kita sama sekali tidak memiliki bukti untuk teks asli Al Qur’an (Schimmel 1984:4). Kita juga tidak memiliki salah satu dari empat salinan yang konon dibuat sebagai resensi ini dan dikirim ke Mekah, Madinah, Basrah dan Damaskus (lihat argumen Gilchrist dalam bukunya Jam’ Al Quran, 1989, hal 140-154, serta Ling & Safadi The Qur'an 1976, hlm 11-17). Bahkan jika salinan tersebut entah bagaimana hancur karena usia, pasti akan ada beberapa fragmen dokumen yang masih kita bisa lihat.

Pada akhir abad ketujuh Islam telah meluas di seluruh Afrika Utara dan sampai ke Spanyol di barat, sampai ke India di timur, dan Al-Qur'an (menurut tradisi) adalah inti dari iman mereka. Tentu saja bahwa dalam lingkup pengaruh sebesar itu harus ada dokumen atau manuskrip Al-Qur'an yang masih eksis sampai hari ini. Namun, tidak ada dari periode itu sama sekali.

Sedangkan kekristenan dapat mengklaim lebih dari 5.300 manuskrip berbahasa Yunani yang dikenal dari Perjanjian Baru, 10.000 dokumen berbahasa Latin Vulgata dan setidaknya 9.300 versi awal lainnya, ditambah lebih dari 24.000 manuskrip Perjanjian Baru yang masih ada (McDowell 1990:43-55), sebagian besar yang ditulis antara 25 sampai 400 tahun setelah kematian Yesus (atau antara abad ke-1 dan ke-5) (McDowell 1972:39-49).

Ironisnya Islam tidak dapat memberikan sebuah naskah tunggal hingga memasuki abad kedelapan (Lings & Safadi 1976:17; Schimmel 1984:4-6). Jika Kristen bisa mempertahankan begitu banyak ribuan naskah kuno, yang semuanya ditulis jauh sebelum abad ketujuh, pada saat kertas belum diperkenalkan, dan berkutat pada ketergantungan pada papirus yang mudah rusak, kemudian orang bertanya-tanya mengapa Muslim tidak mampu meneruskan sebuah naskah tunggal dari periode yang begitu belakangan ini ? Kapan saat wahyu sebenarnya diungkapkan ? Ini memang menyajikan masalah bagi argumen bahwa semua mushaf Al Qur’an awal hanya hancur karena faktor usia, atau hancur karena mereka usang dipakai.

B2c: Dokumen-dokumen Yang Ada Sampai Saat Ini

Sebagai tanggapan, umat Islam berpendapat bahwa mereka memiliki sejumlah “turunan mushaf Usman". Salinan asli dari abad ketujuh masih milik mereka. Saya mendengar Muslim mengklaim bahwa ada salinan asli di Mekah, di Kairo dan di hampir setiap komunitas Islam kuno. Saya sering meminta mereka untuk melengkapi dengan data yang akan membuktikan keberadaan naskah kuno mereka, sebuah tugas yang sampai saat ini tidak seorang pun telah mampu lakukan.

Bagaimanapun ada dua dokumen yang memiliki kredibilitas, dan banyak dirujuk oleh umat Islam. Ini adalah Naskah Samarkand, yang terletak di Perpustakaan Negara di Tashkent, Uzbekistan (di bagian selatan dari bekas Uni Soviet), dan Naskah Topkapi, yang dapat ditemukan di Museum Topkapi Istanbul, Turki.

Kedua dokumen tersebut memang tua, dan telah dilakukan analisis etimologis dan paleografis yang cukup banyak pada dokumen tersebut oleh para scriptologists, serta ahli dalam kaligrafi Arab untuk menjamin diskusi mereka di sini.

Naskah Samarkand – (diambil dari Jam ' Al Quran Gilchrist 1989, pp 148-150) :

Naskah Samarkand ini sama sekali tidak lengkap. Bahkan, dari 114 Surah yang ada dalam Al Qur’an saat ini, hanya bagian dari Surah 2 sampai dengan 43 yang ada di naskah Samarkand ini. Dari sekian Surah yang ada pun banyak teks yang hilang. Inskripsi yang sebenarnya dari teks dalam naskah Samarkand ini menghadirkan masalah nyata, karena sangatlah tidak teratur. Beberapa halaman disalin rapi dan seragam, sementara yang lain tidak rapi dan tidak seimbang (Gilchrist 1989:139 dan 154). Pada beberapa halaman teks cukup luas, sedangkan di halaman lain teksnya ditulis padat berjejalan. Pada zaman itu aksara Arab KAF telah dikecualikan dari teks, sementara pada bagian lain, aksara ini tidak hanya diperluas tetapi menjadi dominan dalam teks. Karena begitu banyak halaman dengan naskah berbeda satu sama lain, maka asumsi kita hari ini adalah bahwa naskah tersebut adalah produk pengumpulan, disusun dari beberapa bagian-bagian naskah yang berbeda (Gilchrist 1989:150).

Juga dalam teks kita dapat menemukan iluminasi artistik antara Surah, biasanya terdiri dari beberapa baris kotak medali sebanyak 151 dengan warna merah, hijau, biru dan oranye. Iluminasi ini membimbing skriptologis untuk memberikan penanggalan akurat asal dokumen tersebut sebagai produk dari abad kesembilan, karena sangat tidak mungkin bahwa hiasan seperti itu muncul di abad ketujuh ketika konon naskah Usman dikirim ke berbagai propinsi (Lings & Safadi 1976:17-20; Gilchrist 1989: 151).

Naskah Topkapi :

Naskah Topkapi di Istanbul, Turki juga ditulis di perkamen, dan tidak memiliki vokalisasi (lihat Gilchrist, 1989, hal.151-153). Seperti naskah Samarkand, naskah inipun dilengkapi dengan medali hias yang menunjukkan usianya yang terkemudian (produk dari abad kesembilan) (Lings & Safadi 1976:17-20).

Muslim menyatakan bahwa ini juga haruslah salah satu salinan asli, jika bukan yang asli yang disusun oleh Zaid ibn Thabit. Namun kita hanya perlu membandingkannya dengan Naskah Samarkand untuk menyadari bahwa kedua naskah ini bukanlah naskah Usman asli. Misalnya, Naskah Istanbul Topkapi memiliki 18 garis per halaman sementara codex Samarkand di Tashkent hanya memiliki antara 8 dan 12 baris per halaman. Naskah Istanbul ditulis seluruhnya dengan cara yang sangat formal, kata-kata dan baris cukup ditulis seragam, sementara naskah Samarkand sering serampangan dan sangat terdistorsi. Kita tidak dapat meyakini bahwa kedua manuskrip disalin oleh para penulis kitab yang sama.

Analisa Naskah :

Para ahli dalam analisa naskah menggunakan tiga tes untuk memastikan usia mereka. Pertama, mereka menguji usia kertas di mana naskah itu ditulis, dengan menggunakan proses kimia seperti penanggalan karbon-14. Metoda ini cukup memadai untuk mengukur usia naskah seperti Al Qur'an. Ketepatan penanggalan biasanya berkisar dalam toleransi + / - 20 tahun. Namun selalu ada keengganan untuk menggunakannya karena jumlah bahan yang harus dihancurkan dalam proses tersebut (1 sampai 3 gram) akan memerlukan hilangnya terlalu banyak naskah. Bentuk yang lebih halus dari carbon-14, yang dikenal sebagai AMS (Accelerator Mass Spectometry) yang sekarang digunakan, hanya membutuhkan 0,5-1,0 mg dari bahan uji (Vanderkam 1994: 17). Namun, sampai saat ini tidak satu pun dari naskah ini telah diuji oleh metode ini canggih ini.

Para ahli juga mempelajari tinta naskah dan menganalisis materi non kertasnya. Kemudian menemukan di mana bahan tinta ini berasal, atau apakah ia telah dihapus dan ditimpa. Namun usia untuk dokumen-dokumen ini akan sulit untuk ditentukan karena keterlambatan dokumen. Masalah-masalah ini diperparah oleh tidak diberinya izin untuk mempelajari naskah ini secara rinci, karena rasa ketakutan dari orang-orang yang menjaga naskah tersebut (pent - jika klaim mereka terbukti salah).

Jadi para spesialis harus pergi menganalisa naskah itu sendiri, menganalisa apakah naskah itu baru atau lama. Penelitian ini lebih dikenal sebagai paleografi. Gaya penulisan naskah terus berubah dari waktu ke waktu. Perubahan ini cenderung seragam sebagai naskah biasanya ditulis oleh ahli tulis kitab profesional. Jadi tulisan tangan cenderung mengikuti konvensi yang berlaku saat itu, dengan hanya modifikasi secara bertahap (Vanderkam 1994:16). Dengan memeriksa tulisan tangan pada naskah tersebut, tanggal penulisaannya sudah bisa diketahui. Paleografer bisa membandingkannya dengan teks dengan tanggal penulisan lainnya dan dengan demikian memastikan dari mana jangka waktu penulisan mereka berasal.

Aksara Kufik :

Apa yang kebanyakan Muslim tidak sadari adalah bahwa kedua naskah ditulis dalam aksara kufik, aksara yang menurut para ahli Al Qur’an modern, seperti Martin Lings dan Yasin Hamid Safadi, tidak pernah muncul sampai akhir abad kedelapan (tahun 790-an s dan kemudian), dan sama sekali tidak digunakan di Mekkah dan Madinah pada abad ketujuh (Lings & Safadi 1976:12-13,17; Gilchrist 1989:145-146, 152-153).

Alasannya cukup sederhana. Pertimbangkan: aksara Kufik, biasanya dikenal sebagai al-Khatt al-Kufi, namanya berasal dari kota Kufah di Irak (Lings & Safadi 1976:17). Akan tampak aneh jika aksara ini dijadikan naskah resmi dari Al Qur'an bahasa Arab, sebab Kufah, aksara yang dari nama kotanya diambil ini, baru ditaklukan 10-14 tahun kemudian.

Penting untuk dicatat bahwa kota Kufah, berlokasi di Irak saat ini, adalah sebuah kota yang bercorak Sassanid atau Persia sebelum waktu itu (637-8 M). Jadi, sementara Arab akan telah dikenal di sana, Kufik tidak akan menjadi bahasa dominan, apalagi aksara dominan, sampai lama kemudian.

Pada kenyataannya kita ketahui bahwa aksara Kufik mencapai kesempurnaannya selama abad kedelapan akhir (sampai seratus lima puluh tahun setelah kematian Muhammad) dan setelah itu banyak digunakan di seluruh dunia Muslim (Lings & Safadi 1976:12,17; Gilchrist 1989:145-146). Ini masuk akal, karena setelah tahun 750 M Dinasti Abbasiyah mengendalikan Islam, dan karena mereka berlatar belakang Persia mereka bermarkas di daerah Kufah dan Baghdad. Mereka dengan demikian ingin aksara Kufik mendominasi. Setelah mereka sendiri didominasi oleh Bani Umayyah (yang berbasis di Damaskus) selama sekitar 100 tahun sebelumnya. Sekarang akan cukup dimengerti apabila tulisan bercorak Arab yang berasal di wilayah pengaruh mereka, seperti aksara Kufik, akan berevolusi menjadi apa yang kita temukan dalam dua dokumen yang disebutkan di atas.

Format Lanskap Tulisannya :

Faktor lain yang menunjuk pada tanggal terkemudian dari dua manuskrip tersebut adalah format di mana mereka ditulis. Kita akan mengamati bahwa karena gaya memanjang dari aksara Kufik ini, kedua naskah menggunakan lembaran yang lebih lebar bukannya tinggi. Hal ini dikenal sebagai 'format lanskap'. Format dipinjam dari Syria dan dokumen Kristen Irak dari abad kedelapan dan kesembilan. Semua naskah berbahasa Arab sebelumnya selalu ditulis dalam 'format tegak' (terima kasih kepada Dr Hugh Goodacre dari Kantor Koleksi Oriental dan India, yang menunjukkan fakta ini kepada saya untuk debat South Bank).

Oleh karena itu, karena kedua naskah ini ditulis dalam aksara Kufik, dan karena mereka menggunakan format lanskap, adalah masuk akal jika baik Manuskrip Topkapi dan Samarkand tidak mungkin ditulis lebih awal dari 150 tahun setelah jaman naskah Usman, atau seperti perkiraan awal yaitu antara awal akhir tahun 700 atau 800-an awal (Gilchrist 1989:144-147).

Naskah Ma'il dan Mashq :

Jadi naskah Qur'an macam apa yang digunakan di Hijaz (Arab) pada saat itu ? Kita tahu bahwa ada dua naskah Arab awal yang muslim modern tidak kenal. Kedua naskah itu adalah naskah al-Ma'il, yang dikembangkan di Hijaz, khususnya di Mekah dan Madinah, dan Naskah Mashq, yang juga dikembangkan di Medinah (Lings & Safadi 1976:11; Gilchrist 1989:144-145). Aksara al-Ma'il mulai dipakai pada abad ketujuh dan mudah diidentifikasi, seperti yang ditulis sedikit miring (lihat contoh pada halaman 16 Jam’ Al Quran, Gilchrist -1989). Sebenarnya kata al-Ma'il itu sendiri berarti "miring." Aksara ini bertahan selama sekitar dua abad sebelum akhirnya tidak digunakan sama sekali.

Naskah Mashq juga ditulis pada abad ketujuh, tetapi terus digunakan selama berabad-abad. Naskah ini bercirikan huruf yang lebih horizontal dan dapat dibedakan dengan gaya agak kursif / melengkung dan santai (Gilchrist 1989:144). Jika Al Qur’an telah disusun saat ini pada abad ketujuh, maka kita beranggapan Qur'an pasti ditulis baik dalam aksara Ma'il atau Mashq.

Menariknya, kita memang memiliki Al Qur’an yang ditulis dalam aksara Ma'il, dan dianggap Qur'an yang paling awal di tangan kita hari ini. Namun naskah ini tidak ditemukan entah di Istanbul atau Tashkent, tapi, ironisnya berada di British Library di London (Lings & Safadi 1976:17,20; Gilchrist 1989:16,144). Naskah ini telah dianalisa penanggalannya dan diketahui ditulis di akhir abad kedelapan, oleh Martin Lings, mantan kurator naskah Perpustakaan Inggris, yang merupakan seorang Muslim juga. Oleh karena itu, dengan bantuan analisis naskah, kami cukup yakin bahwa tidak ada manuskrip yang diketahui dari Al Qur'an yang kita miliki sekarang yang dapat tanggal dari abad ketujuh (Gilchrist 1989:147-148,153).

Selain itu, hampir semua fragmen manuskrip awal Al Qur'an yang kita miliki dan telah diperiksa tanggal kemunculannya, tidak ada dari naskah tersebut yang ditulis dalam jangka waktu 100 tahun setelah kematian Muhammad. (pent : Semuanya lebih terkemudian dari 1 abad pertama setelah kematian Muhammad).

Dalam bukunya Kaligrafi dan Kebudayaan Islam, Annemarie Schimmel menggarisbawahi poin ini ketika ia menyatakan : “kecuali naskah Qur'an yang baru-baru ini, semua fragmen dapat ditelusuri kemunculannya sejauh sampai kuartal pertama abad kedelapan. (Schimmels 1984:4) (pent -berarti paling tua hanya muncul sekitar tahun 725 M)

Menariknya, Al Qur’an dari Sanaa ini masih tetap menjadi misteri, karena pemerintah Yaman belum mengizinkan para peneliti Jerman yang menganalisa naskah itu untuk menerbitkan temuan mereka.

Mungkinkah ini ada sebuah usaha untuk menutup-nutupi apa yang naskah ini mungkin akan ungkapkan? Ada kesan bahwa naskah dalam Al Qur’an awal abad kedelapan ini tidak sesuai dengan Qur'an yang kita miliki saat ini. Kita masih menunggu untuk mengetahui seluruh kebenarannya.

Namun dari bukti-bukti yang kita miliki, tampaknya tidak mungkin bahwa bagian-bagian dari Al-Qur'an yang disalin pada zaman Usman selamat. Apa yang tersisa pada kita adalah usaha campur tangan 150 tahun kemudian yang kita tidak dapat jelaskan.

Sebelum melanjutkan topik kita ke Al Qur'an, mari kita kembali ke tradisi Muslim dan melanjutkan diskusi kita pada poin terpenting apakah sumber-sumber awal Qur'an ini dapat memberikan penilaian yang memadai akan otoritas Al Qur'an. Kumpulan tradisi yang paling banyak digunakan adalah Hadits.

B3: Kredibilitas

Ada banyak diskusi mengenai kredibilitas kompilasi hadits, tidak hanya di kalangan sejarawan sekuler, tetapi dalam Islam juga, bahkan sampai saat ini.

Seperti kita catat sebelumnya, sebagian besar teks sejarah kita tentang Islam awal yang disusun antara tahun 850-950 M (Humphreys 1991:71). Semua kumpulan naskah terkemudian ini digunakan sebagai standar mereka, sedangkan materi sebelum tahun-tahun itu tidak bisa menjadi bukti yang menguatkan berkaitan dengan akurasinya (Humphreys 1991:71-72). Bisa jadi bahwa tradisi sebelumnya tidak lagi relevan, dan begitu juga dibiarkan lapuk, atau dihancurkan. Kita tidak tahu. Apa yang kita tahu adalah bahwa para pengumpul itu kemungkinan besar mengambil materi mereka dari koleksi yang dikumpulkan dalam dekade sekitar 800 M, dan bukan dari dokumen yang ditulis pada abad ketujuh, dan tentu bukan dari pribadi Muhammad atau sahabatnya (Humphreys 1991 : 73, 83; Schacht 1949:143-145; Goldziher 1889-90:72).

Kita juga tahu bahwa banyak dari mereka kompilasi parafrase dari Akhbar sebelumnya (anekdot dan frase) yang mereka anggap dapat diterima, meskipun apa kriteria yang mereka pakai untuk membedakan yang bisa dan tidak bisa diterima masih tidak jelas (Humphreys 1991:83). Sekarang tampak jelas bahwa awal abad kesembilan "aliran hukum / fiqih" mengotentifikasi agenda mereka sendiri dengan menegaskan bahwa doktrin-doktrin mereka datang awalnya dari sahabat nabi dan kemudian dari nabi sendiri (Schacht 1949:153-154).

Schacht berpendapat bahwa asal muasal pengambil-alihan ini berasal dari sarjana al-Syafi'i (meninggal pada 820 AD). Dialah yang menetapkan bahwa semua tradisi hukum harus dilacak kembali ke Muhammad untuk mempertahankan kredibilitas mereka. Akibatnya sejumlah besar tradisi hukum oleh aliran Fiqih klasik pada masa itu diserukan seakan-akan bersumber dari zaman nabi, yang akibatnya memunculkan ekspresikan doktrin-doktrin lain seperti halnya dari aliran Iraqian, dan bukan dari Arab awal (Schacht 1949: 145). Inilah agenda yang ditekankan oleh masing-masing sekolah hukum tentang pilihan tradisi dalam abad kesembilan dan kesepuluh yang banyak orang percayai berasal dari hadits.

Wansbrough setuju dengan Humphreys dan Schacht ketika ia mengatakan bahwa catatan sastra ini, walaupun menampilkan setting waktu yang kontemporer dengan peristiwa yang mereka gambarkan, sebenarnya milik masa jauh sesudah kejadian tersebut, yang menunjukkan bahwa mereka telah ditulis sesuai dengan poin terkemudian untuk memenuhi tujuan dan agenda di zaman terkemudian (Rippin 1985:155-156). (pent - dengan kata lain, hadits-hadits itu menggambarkan Muhammad yang berbicara menyoal ini dan itu, padahal itu tidak pernah terjadi, semua itu dijadikan alat untuk melegitimasi keyakinan dan produk hukum kaum fiqh pada tahun 800an. Untuk memperkuat keyakinan mereka maka figur Muhammad dicomot sebagai figur komunikator).

Ambil contoh dari Syi'ah. Agenda mereka memang cukup transparan, karena mereka mempertahankan bahwa dari 2.000 hadits yang valid mayoritas (1.750) berasal dari Ali, menantu nabi, yang kepadanya kaum Syi'ah mencari inspirasi. Bagi seorang pengamat, selintas kelihatannya ini agak mencurigakan. Jika premis keaslian Syi'ah itu murni politik, lalu mengapa tidak kita simpulkan premis yang sama pada para penyusun lain dari tradisi ?

Pertanyaan yang harus kita ajukan di sini adalah adakah "butiran kebenaran sejarah" yang mendasari yang tersisa bagi kita untuk digunakan ? Schacht dan Wansbrough keduanya skeptis mengenai hal ini (Schacht 1949:147-149; Wansbrough 1978:119).

Patricia Crone mengambil argumen satu langkah lebih jauh dengan berpendapat bahwa kredibilitas tradisi tersebut sudah hilang akibat bias dari setiap individu pengumpul kisah. Dia menyatakan, “Karya-karya para penyusun pertama seperti Abu Mikhnaf, Sayf bin 'Umar,' Awana, Ibn Ishaq dan Ibn al-Kalbi adalah tumpukan sekadar dari tradisi yang berbeda-beda, tidak mencerminkan satu kepribadian, aliran, waktu atau tempat: Sebagai seorang Madinah Ibnu Ishaq mentransmisikan tradisi yang mendukung Irak, sehingga tradisi Saif Irak menentangnya. Dan semua kompilasi dicirikan dengan dimasukkannya materi dalam mendukung pendekatan hukum dan doktrinal yang bertentangan. (Crone 1980:10) “Dengan kata lain", sekolah-sekolah lokal hukum sebenarnya membentuk tradisi-tradisi yang berbeda, bergantung pada konvensi lokal dan pendapat ulama setempat (Rippin 1990:76-77). Nantinya para sarjana menyadari keragaman ini dan melihat perlunya menyatukan hukum Islam. Solusinya ditemukan dengan cari mengaitkan kisah-kisah itu dengan tradisi Nabi, yang akan membut kisah itu memiliki otoritas, bukan hanya pendapat seorang ulama. Oleh karena itu tradisi-tradisi yang dikaitkan dengan Muhammad mulai berkembang biak dari sekitar 820 seterusnya AD (Schacht 1949:145; Rippin 1990:78).

Ambil contoh Sirah, yang memberi kita bahan terbaik tentang kehidupan nabi. Tampaknya Sirah mengambil beberapa informasi dari Al Qur'an. Meskipun Isnad digunakan untuk menentukan keaslian (yang kita ketahui sekarang menjadi tersangka, seperti yang akan kita lihat nanti), otoritasnya tergantung pada otoritas Al Qur'an, yang kredibilitas sekarang juga diragukan (juga akan dibahas dalam bagian selanjutnya). Menurut G. Levi Della Vida, dalam artikelnya tentang Sirah, pembentukan Sirah sampai ke periode reduksi kemudian dibakukan bentuk tampaknya telah terjadi sebagai berikut:

Seiring meningkatnya penghormatan yang terus kepada figur Muhammad, hal ini memprovokasi suatu hagiographical (pengagungan / pemberhalaan) dari figur yang kurang lebih cacat secara historis menjadi figur legenda di mana kisah-kisahnya mengambil model dari tradisi Yahudi dan Kristen (mungkin juga Iran, meskipun pada tingkat yang jauh lebih rendah). (Levi Della Vida 1934:441)

Dia melanjutkan penjelasannya bahwa bahan-bahan ini menjadi, terorganisir dan sistematis di sekolah-sekolah muhadditsun Madinah, melalui 'pengisahan sebagaimana midrash yahudi,' secara halus dan penuh kombinasi, terdiri dari bacaan-bacaan dari Al Qur'an yang penafsirannya telah didekat-dekatkan dengan kejadian dalam kehidupan nabi. Ini adalah cara bagaimana kisah-kisah tentang kehidupan nabi di Madinah dibentuk (Levi Della Vida 1934:441).

Oleh karena itu kita ditinggalkan dengan dokumen-dokumen islam yang tingkat kredibilitas rendah (Crone 1987:213-215). Bahkan materi sebelumnya hanya sedikit membantu kita. Kisah-kisah Maghazi, yang bercerita tentang pertempuran nabi, adalah dokumen muslim paling awal yang kita miliki. Mereka seharusnya memberi kita gambaran terbaik tentang zaman itu, namun mereka menceritakan begitu sedikit tentang kehidupan nabi atau ajarannya. Bahkan, anehnya tidak ada dalam dokumen ini bagian yang menunjukan penghormatan terhadap Muhammad sebagai nabi !

B4: Kontradiksi

Masalah lebih lanjut dengan tradisi-tradisi ini adalah adalah kontradiksi, kebingungan dan inkonsistensi serta anomali yang nyata di seluruh kisahnya. Misalnya Crone bertanya, "Apa yang kita lakukan dengan pernyataan Baladhuri bahwa kiblat (arah sholat) di masjid Kufah pertama adalah di sebelah barat ... bahwa ada begitu banyak Fatima, dan bahwa Ali kadang-kadang disebut sebagai saudara Muhammad ? Ini adalah tradisi di mana informasi nya tidak bernilai dan tidak menghasilkan apa-apa". (Crone 1980:12)

Beberapa penulis menuliskan laporan yang bertentangan dengan kisah-kisah yang mereka pernah tulis sebelumnya. (Humphreys 1991:73; Crone 1987:217-218). Al-Tabari, misalnya, sering memberikan kisah yang berbeda, dan kadang-kadang bertentangan dari insiden yang sama (Kennedy 1986:362). Pertanyaan tentang seberapa jauh al-Tabari mengedit tetap mengemuka. Apakah dia memilih Akhbar (cerita pendek) yang digunakan dalam rangka untuk mengembangkan dan mengilustrasikan tema-teman utama tentang sejarah negara Islam ? Kita tidak tahu.

Ibnu Ishaq memberitahu kita bahwa Muhammad mengalami kekosongan politik ketika memasuki Yathrib (Medina), tetapi kemudian ia mengatakan bahwa Muhammad merenggut otoritas dari penguasa di sana (Ibn Hisham ed.1860: 285, 385, 411). Ibnu Ishaq juga menceritakan bahwa orang-orang Yahudi di Madinah mendukung tetangga Arab mereka, namun kemudian mengatakan bahwa Muhammad dilecehkan oleh mereka (Ibn Hisham ed.1860: 286, 372, 373, 378). Manakah dari catatan-catatan tersebut yang jelas bertentangan yang harus kita percaya ? Sebagaimana Crone tunjukkan, "cerita-cerita tersebut dikisahkan dengan pengabaian, tanpa memandang fakta tentang situasi Madinah yang memungkinkan atau tidak". (Crone 1987:218)

Kesulitan lain adalah catatan-catatan lain yang bertentangan yang diberikan oleh pengumpul yang berbeda-beda (Rippin 1990:10-11). Banyak variasi pada tema umum. Ambil contoh 15 catatan yang berbeda dari pertemuan Muhammad dengan perwakilan dari agama non-Islam yang mengakui dia sebagai seorang nabi masa depan (Crone 1987:219-220). Beberapa tradisi menyebutkan kejadian ini terjadi selama masa kanak-kanak (Ibn Hisham ed.1860: 107), yang lain ketika ia berusia sembilan atau dua belas tahun (Ibn Sa'd 1960:120), sementara yang lain mengatakan dia berusia dua puluh lima pada waktu itu (Ibnu Hisyam ed.1860: 119). Beberapa tradisi menyatakan bahwa ia diramalkan oleh orang Kristen Ethiopia (Ibn Hisham ed.1860: 107), atau oleh orang-orang Yahudi (Abd al-Razzaq 1972: 318), sementara yang lain seorang peramal atau Kahin entah di Mekah, atau Ukaz atau Dhu'l-Majaz (Ibn Sa'd 1960:166; Nu'aym Abu 1950:95, 116f; Abd al-Razzaq 1972:317). Crone menyimpulkan bahwa apa yang kita miliki di sini tidak lebih dari "lima belas versi fiktif tentang suatu peristiwa yang tidak pernah terjadi"(Crone 1987:220).

Akibatnya sulit untuk memastikan mana laporan yang otentik, dan mana yang harus dibuang. Inilah masalah yang mengacaukan Muslim dan para orientalis bahkan sampai saat ini.

B5: Kemiripan-kemiripan

Di sisi lain, banyak dari tradisi mencerminkan materi yang sama seperti yang lain, menyiratkan daur ulang dari tubuh data yang sama selama berabad-abad tanpa referensi apapun dari mana ia berasal.

Ambil contoh sejarah al-Tabari tentang kehidupan nabi yang sama seperti Sirah Ibn Hisham, dan banyak yang sama dengan karyanya "Penjelasan tentang Al Qur'an", yang sama seperti koleksi Hadits Bukhari. Karena kesamaan mereka di tanggal yang kemudian, mereka tampaknya menunjukkan sumber tunggal pada awal abad kesembilan, yaitu dari sumber di mana semua kisah dikutip (Crone 1980:11). Apakah ini menunjukkan adanya "kanonisasi" materi disahkan oleh para ulama? Mungkin, tapi kita tidak pernah bisa yakin.

Akibatnya, bahan-bahan ini menciptakan masalah besar bagi sejarawan yang hanya dapat mempertimbangkan mereka otentik jika ada data yang dapat diobservasi yang dapat secara obyektif dinilai berasal dari sumber-sumber luar yang sekunder, seperti sumber utama dari sumber-sumber utama yang darinya tradisi-tradisi ini didapatkan. Namun jika pun ada, kita hanya memiliki sedikit untuk dirujuk. Oleh karena itu, pertanyaannya yang harus diajukan adalah : apakah sumber-sumber utama pernah ada? dan jika demikian akankah kita dapat mengenali mereka, dengan menggunakan bahan sekunder yang kita miliki?

B6: Pengembang-biakan Kisah-kisah Yang Mendadak

Masalah lebih lanjut dengan tradisi-tradisi ini adalah proliferasi atau perkembang-biakan kisah(Rippin 1990:34). Seperti yang telah kami sebutkan, karya-karya awal ini baru muncul mulai abad kedelapan seterusnya (200-300 tahun setelah kejadian yang mereka lihat). Kemudian tiba-tiba mereka berkembang biak hingga ratusan ribu kisah. Mengapa? Bagaimana kita bisa menjelaskan perkembang-biakan kisah-kisah ini ?

Ambil contoh kematian 'Abdullah, ayah dari Muhammad. Para penyusun abad kedelapan pertengahan hingga (Ibnu Ishaq dan Ma'mar) menyepakati bahwa Abdullah sudah meninggal pada saat Muhammad masih kecil, tetapi tidak merinci spesifik kematiannya. Hanya Tuhan yang tahu '(Cook 1983:63).

Selanjutnya pada abad kesembilan tampaknya kematian Abdullah diketahui lebih banyak. Waqidi, yang menulis lima puluh tahun kemudian memberitahu kita tidak hanya kapan Abdullah meninggal, tetapi bagaimana dia meninggal, di mana ia meninggal, apa usia berapa, dan tempat penguburannya secara tepat. Menurut Michael Cook, "evolusi kisah ini dalam perjalanan setengah abad, dari ketidakpastian kepada kelimpahan detail yang tepat, menunjukkan bahwa cukup banyak dari apa Waqidi ketahui bukanlah fakta". (Cook 1983:63-65) Ini agaknya khas Waqidi. Dia selalu bersedia memberikan tanggal yang tepat, lokasi, di mana Ibn Ishaqpun, yang hidup ratusan tahun setelah kematian muhammad dan hidup sebelum Waqidi, tidak pernah mengetahui detailnya. Crone 1987:224).

"Tidak mengherankan", balas Crone,bahwa ulama sangat menyukai Waqidi : di mana lagi bisa kita temukan informasi sangat tepat seperti tentang segala sesuatu yang ingin kita ketahui?" Namun, mengingat bahwa informasi ini semua tidak diketahui sebelumnya oleh Ibnu Ishaq, maka nilai kisahnya sangat diragukan. Dan jika informasi palsu terakumulasi pada periode ini, dalam dua generasi antara Ibn Ishaq dan Waqidi, sulit untuk menghindari kesimpulan bawa setidaknya ada 3 generasi terbentang antara Muhammad dan Ibnu Ishaq "(Crone 1987:224).

Akibatnya, tanpa pengawasan yang nyata, atau keinginan untuk menyajikan dokumentasi yang mendukung, para pengumpul kisah ini melebihi kewenangan mereka.

Para sarjana Muslim yang menyadari hal ini membiarkan perkembang-biakan ini dengan berpendapat bahwa agama Islam mulai stabil saat ini. Jadi, wajar bahwa karya sastra juga akan mulai tampil lebih banyak. Mereka katakan bahwa kisah-kisah versi awal tidak lagi relevan bagi Islam yang baru, dan akibatnya kisah-kisah awal itu entah dibuang atau hilang (Humphreys 1991:72).

Walaupun ada kepercayaan pada teori ini, orang akan berasumsi bahwa bahkan beberapa dokumen ini akan tetap, terselip di perpustakaan tertentu, atau dalam koleksi seseorang. Namun asumsi ini tidak terbukti, dan ini yang mencurigakan.

Namun, yang lebih penting lagi adalah apakah "naskah Qur'an Usman" (yang konon dijadikan naskah final yang disusun oleh Zaid ibnu Thabit pada 646-650 M, dan sumber bagi Qur'an kita sekarang) bisa dimasukkan dalam skenario ini ? Tentu saja akan dianggap relevan, sebab, seperti yang telah kita sebutkan sebelumnya, menurut tradisi semua naskah Qur'an dan salinan lain dibakar oleh Khalifah Usman segera setelah empat salinan itu dibuat. Di mana salinan ini hari ini ? Segmen naskah paling awal dari Al Qur'an yang kita miliki tidak lebih awal dari tahun 690-750 M! (Schimmel 1984:4) Apakah mereka yang memegang asumsi ini bersedia mengakui bahwa keempat salinan juga dibuang karena mereka tidak lagi relevan bagi Islam yang baru pada zaman itu ?

Lebih jauh lagi, banyaknya jumlah hadits yang tiba-tiba muncul pada abad kesembilan menciptakan banyak skeptisisme. Telah diklaim bahwa pada pertengahan abad ke-9 ada lebih dari 600.000 hadits, atau cerita-cerita awal tentang kehidupan nabi ! Bahkan tradisi mengatakan bahwa begitu banyak hadits sehingga Khalifah yang berkuasa minta Al Bukhari, sarjana terkenal, untuk mengumpulkan perkataan yang benar dari 600.000 hadis itu. Jelas, bahkan saat itu ada keraguan mengenai kebenaran bagi begitu banyaknya hadits.

Bukhari tidak pernah menyebutkan kriteria yang ia pakai, kecuali pernyataan samar-samar "tidak dapat diandalkan" atau "tidak sesuai" (Humphreys 1991:73). Pada akhirnya, ia menetapkan hanya 7.397 hadits, atau kira-kira hanya 1,2%, yang bisa dipercayai! Namun lewat seleksi berikutnya jumlahnya menjadi 2.762 hadits shahih dari 600.000 (AKC 1993:12). Apakah ini berarti bahwa dari 600.000 hadis itu ada 592.603 yang palsu dan harus dibuang. Jadi hampir 99% dari hadits tersebut dianggap palsu. Benar-benar mengerikan !

Ironisnya skenario macam inilah yang menciptakan keraguan tentang keaslian dari setiap hadits. Dari mana 600.000 hadis awal ini berasal jika demikian banyak dianggap palsu? Apakah salah satu dari hadits yang palsu itu lolos diturunkan kepada kita sekarang? Apakah kita memiliki bukti keberadaan mereka sebelum waktu itu ? Tidak ada sama sekali !

Fakta bahwa mereka tiba-tiba muncul pada periode ini (pada abad kesembilan, atau 250 tahun setelah peristiwa dirujuk terjadi) dan tiba-tiba ditolak, tampaknya menunjukkan bahwa hadits-hadits ini diciptakan atau diadopsi pada saat ini, dan bukan pada tanggal yang lebih awal. Hal ini menggemakan pernyataan yang dibuat sebelumnya oleh Schacht mengenai kebutuhan dari penyusun abad kesembilan untuk mengotentikasi hukum-hukum dipinjam dari agama lain, dengan cara mengait-kaitkan dengan kehidupan nabi. Dengan tergesa-gesa mereka meminjam tradisi lain yang terlalu longgar dan saling bertentangan, yang pada gilirannya memaksa ulama untuk menstandarkan hadits-hadits yang mereka anggap mendukung agenda mereka.

Hal ini meninggalkan kita masalah, bagaimana mereka memutuskan hadits yang otentik dan yang tidak.

B7: Isnad – Alur Transmisi Lisan

Untuk menjawab masalah ini, para sarjana Muslim mempertahankan asumsi bahwa alat utama untuk memilih antara hadits shahih dari hadits palsu adalah melalui proses transmisi lisan, yang dalam Bahasa Arab disebut Isnad. Muslim berpendapat bahwa isnad adalah ilmu yang digunakan oleh Bukhari, Tabari dan pengumpul lain pada abad kesembilan dan kesepuluh untuk memilih autentisitas kompilasi mereka. Untuk mengetahui siapa penulis asli dari banyak hadits yang mereka miliki, para penyusun memberikan sebuah daftar nama-nama yang seharusnya ditelusuri sampai penutur yang sezaman dengan kehidupan nabi sendiri. Karena pentingnya bagi diskusi kita, maka ilmu Isnad ini perlu dijelaskan secara lebih rinci:

Dalam rangka memberikan kredibilitas sebuah hadits, atau narasi, daftar nama yang melekat pada setiap dokumen yang diduga menunjuk melalui siapa hadits itu telah diwariskan. Itu adalah nama rantai transmisi, yang menyatakan, saya menerima ini dari si anu yang ia peroleh dari si Fulan yang menerimanya dari sahabat nabi". (Rippin 1990:37-39)

Sementara kita di Barat menilai transmisi oral sebagai mencurigakan, tidak kredibel, namun hal ini dikembangkan dalam dunia Arab, dan wahana untuk mewariskan banyak sejarah mereka. Masalah dengan transmisi lisan adalah bahwa sifatnya, terbuka untuk suatu penyimpangan karena tidak memiliki kode tertulis atau dokumentasi untuk menguatkan itu. Dengan demikian, dapat dengan mudah dimanipulasi menurut agenda si penutur (seperti permainan anak-anak dari "kata berkait").

Dalam rangka untuk mendapatkan kredibilitas tulisannya, seorang pungumpul hadits akan mendaftarkan daftar individu terkenal Isnadnya, mirip dengan kebiasaan yang kita gunakan saat ini untuk meminta individu penting untuk menulis prakata dalam buku-buku kita. Semakin besar rantai daftarnya, semakin besar kredibilitasnya. Namun, tidak seperti kita yang menampilkan orang-orang sezaman, para penyusun abad kesembilan tidak memiliki dokumentasi untuk membuktikan bahwa sumber mereka cukup otentik. Individu-individu yang namanya mereka catut sudah lama mati, dan tidak bisa menjamin apa yang telah mereka konon katakan.

Anehnya, "isnad memiliki kecenderungan untuk terus mundur". Dalam teks-teks awal tertentu, misalnya, sebuah pernyataan akan ditemukan dikaitkan dengan khalifah dari dinasti Umayyah, atau bahkan akan tidak menyebutkan sumbernya, seperti dalam kasus hukum tertentu; namun di tempat lain, laporan yang sama akan ditemukan dalam bentuk laporan hadits dengan runutan isnad sampai ke masa Muhammad atau salah satu temannya". (Rippin 1990:38)

Karena itu, jelas tampak bahwa isnad digunakan untuk memberikan wewenang kepada hadits tertentu yang jelas berkaitan erat dengan zaman masyarakat dalam generasi-generasi setelah Muhammad, tapi seakan-akan dibingkai sebagai ucapan Muhammad sendiri". (Rippin 1990:38) Isnad dan hadits ini sendiri yang seharusnya para mufasir coba carikan otentisitasnya, bukan malah memilih mempercayainya sebagai fakta historis, yang pada gilirannya akan melemahkan apa yang hadits-hadits ini coba untuk komunikasikan (Crone 1987:214).

Karena itu jelas bahwa Isnad, bukannya menguatkan dan mensubstansikan materi yang haruskan kita temukan dalam tradisi Muslim, malahan membuat masalah otentisitas yang lebih besar. Kami ditinggalkan dengan kesadaran bahwa tanpa ada transmisi berkelanjutan antara abad ketujuh dan kedelapan, tradisi-tradisi tersebut hanya dapat dianggap sebagai gambaran dari abad sembilan dan sepuluh, tidak lebih (Crone 1987:226).

Terlebih lagi, ilmu Isnad, yang dimaksudkan untuk mengotentikasi silsilah transmisi baru dimulai pada abad kesepuluh, lama setelah isnad yang bersangkutan sudah disusun (Humphreys 1991:81), sehingga memiliki relevansi yang sedikit sekali untuk diskusi kita. Akibatnya, karena itu adalah seperti ilmu non-eksakta, aturan praktis 'untuk sejarawan paling saat itu adalah: daftar yang lebih panjang, yang meliputi nama orang terkenal, semakin membuat suatu hadis terlihat keasliannya". Oleh karena itu. kita tidak akan pernah tahu apakah nama yang tercantum dalam isnad pernah memberikan atau menerima informasi dengan yang darinya mereka dikait-kaitkan.

B8: Para Pendongeng Kisah (Kussa)

Mungkin argumen terbesar yang memberatkan penggunaan Tradisi Islam sebagai sumber adalah masalah transmisi. Untuk memahami argumen ini lebih baik kita perlu menyelidiki seratus tahun lebih sebelum jaman Ibnu Ishaq (765 M), dan setelah kematian Muhammad pada tahun 632 M, karena para pengajar Muslim, yang kepada siapa kita mendapatkan “Biografi” Muhammad, bukanlah bank memori asli dari tradisi Nabi". (Crone 1980:5)

Menurut Patricia Crone, seorang peneliti Denmark di bidang kritik sumber, kita hanya tahu sedikit tentang bahan asli, sebab tradisi-tradisi yang ada telah dibentuk kembali oleh para pengembang cerita selama satu setengah abad (Crone 1980:3). Para Pendongeng ini disebut Kussa. Diyakini bahwa mereka mengumpulkan cerita mereka dengan menggunakan model legenda Bibel yang cukup populer di sekitar dunia Bizantium pada waktu itu, serta cerita-cerita asal Iran. Dari kisah-kisah maka tumbuhlah literature mirip novel sejarah, dan bukan catatan sejarah (Levi Della Vida 1934:441).

Dalam kisah-kisah inilah ditulis contoh bahan-bahan yang ditransmisikan oleh tradisi lisan selama berabad-abad. Kisah ini ada dua jenis : Mutawatir (cerita yang diturunkan berturut-turut) dan Mashhur (cerita yang terkenal atau dikenal luas) (baca : Welch 1991:361).

Patricia Crone, dalam bukunya: Meccan Trade and the Rise of Islam, mempertahankan bahwa sebagian besar apa yang pengumpul kisah terkemudian menerima bahan-bahan itu dari para pendongeng (Kussas) yang secara tradisional adalah pengulang gudang sejarah:

Adalah para pendongeng kisah yang menciptakan tradisi Muslim. Tradisi yang terdengar seperti sejarah – yang mana mereka tambahkan dongeng-dongeng yang seharusnya tidak pernah ada.

Hal ini karena pendongeng memainkan peran penting dalam pembentukan tradisi yang ada dimana begitu kecil nilai historisitas terkandung pada kisah itu. Sebagai pendongeng satu mengikuti pendongeng lainnya, dalam ingatan masa lalu tereduksi menjadi sebentuk cerita umum, tema, dan motif yang dapat dikombinasikan dan direkombinasi dalam kisah yang sepertinya menyejarah. Setiap kombinasi dan rekombinasi akan menghasilkan rincian baru, dan sebagai akumulasi informasi palsu, sedangkan informasi asli akan hilang. Dengan tidak adanya tradisi alternatif, sarjana awal dipaksa untuk mengandalkan kisah pendongeng, seperti yang dilakukan Ibn Ishaq, Waqidi, dan sejarawan lainnya. Hal ini karena mereka bergantung pada pengulangan cerita yang sama bahwa mereka semua berkata serupa karena kisah kehidupan Muhammad tidak pernah ditulis sampai periode akhir Ummayad (sekitar tahun 750 M).

Crone percaya bahwa, "Tradisi Islam demikian merupakan sebuah monumen kehancuran daripada pelestarian masa lalu", (Crone 1980:7) dan "adalah tradisi dimana informasi yang tak berarti apa-apa dan membimbing kita ke bukan apa-apa". (Crone 1980:12) Oleh karena logis bila Tradisi Muslim sama sekali tidak dapat dipercaya karena memiliki terlalu banyak perkembangan selama transmisi dari satu generasi ke generasi berikutnya. Bahkan, kita juga bisa mengulangi apa yang telah kita nyatakan sebelumnya : tradisi relevan hanya ketika mereka berbicara pada periode di mana mereka ditulis, dan tidak lebih.

Ada begitu banyak kesulitan dalam tradisi : tanggal penulisan yang terlambat sebagai naskah-naskah awal Islam, hilangnya kredibilitas karena agenda kemudian, dan kontradiksi yang jelas ketika orang membacanya, serta perkembang-biakan akibat redaksi agresif oleh pendongeng, dan ketidak-ilmiahan ilmu Isnad yang digunakan sebagai metoda pembuktian. Apakah mengherankan jika para sejarawan, sementara wajib untuk merujuk pada materi yang disajikan oleh tradisi Muslim (karena ukuran dan ruang lingkup), lebih memilih untuk mencari penjelasan alternatif ide-ide dan teori tradisional yang bisa diterima, sambil mencari bahan sumber lain lebih lanjut ?

Karena banyak muslim yang mengklaim bahwa hanya Al Qur’an saja yang bisa memberikan kita sumber otoritasnya, maka adalah wajar bagi kita, setelah melihat nature tradisi yang tidak bisa diandalkan ini, untuk kembali pada Al Qur’an, dan bukan tradisi.

Apakah Al-Qur'an Wahyu Ilahi ? Bagian 3

oleh Badra Naya pada 25 Juni 2011 jam 9:02

C. Kritik Internal Dalam Qur'an Sendiri

Sementara Muslim senang dengan pendekatan kritis kepada semua kitab, termasuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, ironisnya mereka menuntut posisi yang unik dan tertinggi untuk Al Qur'an, dengan mengklaim kekuasaan tertinggi atas semua kitab lainnya, karena menurut mereka, awalnya Qur'an tidak pernah ditulis oleh manusia dan tidak pula tercemar oleh pikiran dan gaya menulis manusia. Alasan seperti itu karena keyakinan bahwa Qur'an berasal dari "Ibu segala Buku" (diambil dari Surah 43:3-4).

C1: Pujian Atas Qur'an Yang Dikarang-karang

Muslim mengklaim bahwa keunggulan Al Qur'an atas semua wahyu lainnya adalah karena struktur dan gaya sastranya yang canggih. Mereka mengutip dari Surah 10:37-38, 2:23 atau 17:88, yang mengatakan :

Tidaklah mungkin Al Qur’an ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Qur’an itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.

Atau (patutkah) mereka mengatakan: “Muhammad membuat-buatnya.” Katakanlah: “(Kalau benar yang kamu katakan itu), maka cobalah datangkan sebuah Surat semisalnya dan panggillah siapa-siapa yang dapat kamu panggil (untuk membuatnya) selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”. (Q 10:37-38)

Gema membanggakan ini berasal dari Hadits (Mishkat III, pg. 664), yang mengatakan : Al Qur'an adalah keajaiban terbesar di antara keajaiban dunia. Buku ini tidak ada duanya di dunia menurut keputusan bulat dari orang-orang terpelajar dalam poin dari gaya penyajiannya, retorika, gaya bahasa, pemikiran dan logika hukum dan peraturan untuk membentuk nasib umat manusia".

C1a: Keunikan Al Qur’an

Muslim menyimpulkan bahwa karena tidak ada karya sastra yang setara dengan Qur'an, ini membuktikan bahwa Al Qur'an adalah mukjizat diturunkan dari Allah, dan bukan karya tulis satu orang pun. Adalah sifatnya yang unik ini, yang dalam Bahasa Arab disebu i'jaz, yang muslim percayai - membuktikan penulisan ilahi, dan dengan demikian menegaskan statusnya sebagai sebuah mukjizat, dan menegaskan peran Muhammad serta kebenaran Islam (Rippin 1990:26).

Namun, Al Qur’an sendiri menyajikan keraguan formulasi awal, dan tentu saja menciptakan kecurigaan tentang keunikannya. Padahal kita tahu bahwa itu tidak sampai akhir abad kesepuluh bahwa gagasan tentang keunikanan ini mengambil ekspresinya secara penuh, terutama dalam menanggapi tulisan-tulisan polemik Kristen waktu itu (Rippin 1990:26).

Kalangan muslim tertentu yang bertanya-tanya apakah pertanyaan keunikan ini sama sekali tepat untuk Al Qur'an. C.G. Pfander, cendekiawan Islam, pada tahun 1835 menunjukkan bahwa, "Ini tidak berarti pendapat universal ulama Arab tak berprasangka bahwa gaya sastra Qur'an lebih unggul dari semua buku lain dalam Bahasa Arab. Beberapa kalangan ragu apakah Qur’an bisa mengungguli Mu'allaqat oleh Quais Imraul, atau Maqamat oleh Hariri baik dalam kefasihan dan puisi, meskipun di negara Muslim hanya sedikit saja orang yang cukup berani untuk menyatakan pendapat seperti itu" (Pfander 1835:264).

Pfander menguraikannya dengan membandingkan Al Qur'an dengan Alkitab. Dia menyatakan, "Ketika kita membaca Perjanjian Lama dalam Bahasa Ibrani asli, banyak sarjana berpendapat bahwa kefasihan Yesaya, Ulangan, dan banyak Mazmur, misalnya, lebih agung daripada setiap bagian dari Qur'an. Hampir tidak ada orang tapi Muslim akan menyangkal hal ini, dan mungkin tidak ada Muslim yang tahu Bahasa Arab dan Ibrani dengan baik akan mampu menyangkalnya"(Pfander 1835:266).

C1b: Kelemahan-kelemahan Struktural

Sebuah perbandingan dengan Alkitab membawa masalah lain yang nyata. Ketika ada yang akrab dengan Al kitab mulai membaca Al Qur'an akan segera jelas bahwa Al Qur'an merupakan jenis sastra yang sama sekali berbeda, apapun keindahan puitisnya.

Manakala Alkitab berisi banyak narasi sejarah, Al-Qur'an mengandung sangat sedikit informasi sejarah. Manakala Alkitab menjelaskan sendiri istilah-istilah yang tidak akrab, atau wilayah tertentu yang ia sebutkan, Al-Qur'an tetap diam. Bahkan, struktur dari Alkitab, bagaikan sebuah kepustakaan dengan 66 buku, ditulis selama periode 1.500 tahun mengungkapkan bahwa memerintahkan menurut kronologi, subyek dan tema.

Al Qur'an, di sisi lain, tampak lebih seperti koleksi campur aduk dengan pernyataan dan idea-idea yang membingungkan, banyak yang tidak jelas hubungannya dari bab ke bab dan ayat ke ayat. Banyak sarjana mengakui bahwa Al Qur'an sangat serampangan dalam pengarangannya, hingga memerlukan tenaga yang luar biasa bagi siapapun untuk menjelaskan apa yang ayat-ayat itu maksudkan.

Seorang sarjana sekuler Jerman Salomon Reinach dalam pernyataannya yang agak keras menyatakan:

"Dari sudut pandang sastra, Qur'an memiliki sedikit sekali kebaikan, deklamasi, penuh dengan pengulangan, bersifat kekanak-kanakan, kurangnya logika dan koherensi nyata sekali bagi para pembaca yang tidak siap pada setiap lompatan ideanya. Hal ini memalukan bagi akal manusia untuk berpikir bahwa ini sastra biasa-biasa saja seperti ini telah menjadi subyek komentar tak terhitung, dan bahwa jutaan orang masih membuang-buang waktu dalam menyerap itu" (Reinach 1932:176).

Dalam nada yang sama, ensiklopedia McClintock dan Strong menyatakan bahwa:

"Masalah dalam Qur’an adalah sangat kacau dan suka memakai kata-kata yang tak jelas, buku yang jelas tanpa urutan pemikiran logis baik secara keseluruhan atau dalam bagian-bagiannya. Ini sesuai dengan cara yang acak-acakan dan insidental di mana pesan itu disampaikan. (McClintock dan Strong 1981:151).

C1c: Cacat-cacat Sastra

Bahkan mantan Ulama Muslim Dashti meratapi cacat sastra Al-Qur'an dengan berkata, "Sayangnya Qur'an parah diedit dan isinya diatur secara bodoh". Dia menyimpulkan bahwa, "Semua yang mempelajari Al Qur'an mempertanyakan mengapa para editor Qur’an tidak menggunakan metode alami dan logis dalam menyusunnya berdasarkan tanggal pewahyuan, seperti halnya dalam naskah Ali bin Abu Talib yang dihilangkan" (Dashti 1985:28).

Setelah membaca Surat-Surat dalam Al-Qur'an seseorang akan segera menyadari bahwa semua itu itu tidak kronologis. Menurut tradisi, Surat-Surat yang terpanjang di awal adalah ayat-ayat yang disampaikan terakhir, dan Surat-Surat terpendek yang diletakkan di akhir dianggap diwahyukan paling awal. Namun tradisi-tradisi yang sama memberitahu kita bahwa ada Surat-Surat tertentu yang mengandung ayat-ayat yang diwahyukan baik di awal dan di akhir pelayanan Muhammad. Sehingga sulit untuk mengetahui apakah setiap pernyataan dalam Al Qur'an adalah pewahyuan yang awal atau yang terakhir.

Masalah lain adalah bahwa pengulangan. Al-Qur'an, seperti yang telah diberathukan kepada kita, dimaksudkan untuk dihafalkan oleh mereka yang buta huruf dan tidak berpendidikan. Oleh karena itu dalam Qur'an terdapat prinsip pengulangan yang tidak berujung dari bahan yang sama (Morey 1992:113). Ini semua mengarah kepada kebingungan bagi pembaca pemula, dan tampaknya untuk menunjuk pada sebuah pengingatan gaya pendongeng disebutkan sebelumnya.

Al Qur'an memiliki kesulitan sastra lainnya. "Idea dalam masing-masing bab melompat dari satu topik ke yang berikutnya, dengan duplikasi dan inkonsistensi jelas nyata dalam tata bahasa, hukum dan teologi yang berlimpah" (Rippin 1990:23). Bahasa Qur’an memang semi-puitis, sementara tata bahasanya, karena kelalaian, begitu tigak tegas (elliptical), sering tidak jelas dan ambigu. Ada perselisihan gramatikal (seperti penggunaan verba majemuk, dengan subyek tunggal), dan ketidak-konsistenan dalam perlakuan jenis kelamin kata benda (untuk contoh, lihat Surah 2:177; 3:59; 4:162, 5:69, 7: 160, dan 63:10) (Rippin 1990:28). (pent - dalam banyak bahasa spt Arab, Prancis dsb. Kata benda dibagi kedalam dua kategori : maskulin dan feminin, dengan perlakuan kata benda, kata ganti dan kata kerja yang berbeda pula (hal yang tidak kita miliki dalam Bahasa Indonesia). Banyak kali kalimat dalam Surat yang tanpa kata kerja, dan mengasumsikan pembacanya memahami informasinya dengan baik. Qur’an memiliki penjelasan sedikit dan akibatnya sulit untuk dibaca.

Ini bukan hanya masalah struktural. Patricia Crone menunjuk bahwa, "di dalam kumpulan ayat saja hal-hal sepele yang ditempatkan secara keliru sering kali secara mengejutkan ditemukan. Tuhan bisa muncul sebagai orang pertama dan ketiga dalam satu kalimat yang sama. Mungkin ada kelalaian, yang jika tidak dibetulkan oleh terjemahannya, akan memperlihatkan kebodohan yang nyata" (Cook 1983:68).

Menanggapi tuduhan ini, teolog tata-bahasa al-Rummani (meninggal 996 M) berpendapat bahwa ketidak-jelasan dan penyimpangan gramatikal adalah perangkat retoris benar-benar positif dan bukan bukti menulis terburu-buru atau ceroboh (Rippin 1990:27). Namun argumen semacam ini hampir mustahil untuk dipahami, karena kurangnya literatur sekuler sezaman dengan yang untuk membandingkan. Hal ini meninggalkan "satu-satunya kartu argumen dogmatis” ... tapi kartu yang satu ini yang sering dipakai (seperti banyak argumen keagamaan lainnya) dalam praduga Islam sendiri" (Rippin 1990:27).

Namun demikian, telah banyak cara dilakukan oleh non-muslim untuk menyanggah anggapan di atas dengan mengekspos alasan yang benar untuk penyimpangan ini. Al-Kindi, seorang Kristen yang dipekerjakan di istana khalifah, melakukan diskusi dengan para Muslim sedini 830 M ( yang saya percayai beberapa sesaat setelah kanonisasi Al Qur’an). Dia sepertinya memahami agenda umat Islam waktu itu. Mengantisipasi klaim oleh umat Islam bahwa Al Qur'an itu sendiri adalah bukti inspirasi ilahi dia menanggapi dengan mengatakan:

"Hasil dari semua ini [proses di mana Al Qur'an datang menjadi ada] adalah paten bagi anda yang telah membaca tulisan suci dan melihat bagaimana, dalam buku Anda, sejarah semua campur aduk bersama dan berkelit-kelindan, sebuah bukti bahwa banyak tangan yang berbeda yang memiliki perbedaan nyata telah bekerja di dalamnya, dan menyebabkan ketidak-cocokan, penambahan, pemotongan apapun yang mereka suka atau tidak suka. Apakah seperti itu, sekarang, kondisi sebuah wahyu diturunkan dari syurga ?" (Muir 1882:18-19,28).

Menariknya, pernyataan Al-Kindi sebagai awal abad kesembilan setuju dengan kesimpulan Wansbrough lebih dari sebelas ratus tahun kemudian, keduanya mempertahankan bahwa Qur'an adalah hasil dari kompilasi serampangan oleh redaktur kemudian satu abad atau lebih setelah kejadian (Wansbrough 1977:51).

C1d: Klaim Keuniversalan Qur’an

Kesulitan lain dalam Al Qur'an adalah ruang lingkupnya. Beberapa ayat mengatakan bahwa Qur’an adalah buku hanya untuk orang Arab (Surah 14:04; 42:7; 43:3 dan 46:12), sementara ayat-ayat lain menyiratkan itu adalah wahyu bagi semua orang dan di segala zaman (Surat 34:28 ; 33:40). Apakah aplikasi universal ini datang di kemudian hari, ditambahkan setelah Islam merambah dan merangsek negeri-negeri asing, dan disyiarkan antara orang-orang asing ? Jika demikian, maka hal ini menempatkan keraguan atas keandalannya sebagai sumber awal.

C1e: Interpolasi (Penyisipan)

Dalam Al Qur'an ada juga kasus yang jelas yang berkaitan dengan interpolasi. Sebuah contoh dirujuk oleh Michael Cook dapat ditemukan di Surat 53, di mana "teks dasar terdiri dari seragam ayat pendek dengan gaya yang terinspirasi, namun di dua tempat itu terganggu oleh penekanan prosa yang bertele-tele dan cukup membosankan yang keluar konteks" (Cook 1983:69). Apakah ini datang dari sumber yang sama ? Bahkan apakah mereka sebenarnya termasuk dalam Surat ini ?

Fitur lain yang signifikan adalah kerapnya kita temukan versi alternatif dari bagian yang sama di berbagai bagian Al Qur'an. Cerita yang sama dapat ditemukan diulang dengan variasi kecil dalam Surat yang berbeda. Ketika ditempatkan berdampingan, berbagai versi ini sering menunjukkan jenis yang sama, sehingga kita bisa menemukan versi paralel dari tradisi lisan (Cook 1983:69). Sekali lagi kita diperhadapkan dengan contoh lain dari sebuah buku tidak ditulis oleh seorang penulis tunggal, tetapi sebuah buku disusun kemudian oleh sejumlah individu.

Masalah ini menjadi lebih jelas ketika kita melihat beberapa kutipan dari kitab-kitab lain yang kita temukan dalam Al Qur'an.

C2: Kisah-kisah Qur'an Yang Bersumber Dari Talmud

Mungkin kebingungan terbesar bagi orang Kristen yang membaca Al Qur'an adalah banyaknya cerita Al kitab yang nampaknya sama dengan kisah dalam Al kitab namun hanya memiliki sedikit kesamaannya. Kisah-kisah Al Qur'an mencakup banyak distorsi, perubahan, dan beberapa tambahan cerita-cerita aneh dari kisah-kisah yang akrab ketahui dan pelajari dari Al kitab. Jadi, dari mana cerita-cerita ini datang, jika bukan dari kitab-kitab sebelumnya ?

Untungnya, kita memiliki banyak literatur apokrifa Yahudi (kebanyakan dari Talmud), berasal dari abad kedua masehi yang dapat kita bandingkan dengan kisah-kisah dalam Qur’an. Seketika melakukannya, kita akan temui begitu banyak persamaan luar biasa antara dongeng atau cerita rakyat, dan kisah-kisah yang diceritakan dalam Al-Qur'an (catatan: materi Talmud diambil dari Feinburg 1993:1162-1163).

Kisah-kisah Talmud dikumpulkan pada abad kedua masehi dari hukum lisan (Mishnah) dan tradisi hukum-hukum (Gemara). Hukum-hukum dan tradisi ini diciptakan sebagai upaya adaptasi hukum Musa (Taurat) dengan zaman yang senantiasa berubah. Talmud juga memasukan interpretasi dan diskusi tentang hukum-hukum (misalnya Halakhah dan Haggadah dll). Banyak orang Yahudi tidak menganggap tulisan-tulisan Talmud otoritatif, namun mereka tetap membacanya sebagai alat Bantu pengetahuan pada jaman kisah-kisah itu ditulis.

Jadi bagaimana tulisan-tulisan Talmud Yahudi non-authoritatif ini bisa sampai dimasukkan dalam Al Qur'an? Antara abad ketujuh dan kesembilan komunitas Yahudi banyak ditemukan di Semenanjung Arab (dikenal sebagai Hijaz). Mereka adalah bagian dari diaspora Palestina yang melarikan diri setelah penghancuran Yerusalem pada tahun 70 M. Sejumlah besar orang Yahudi ini dipandu oleh tulisan-tulisan Talmud yang telah diturunkan secara lisan dari ayah ke anak selama beberapa generasi. Setiap generasi menghiasi kisah-kisah tersebut, atau pada zaman tertentu mereka memasukan cerita rakyat setempat ke dalam kisah-kisah itu, sehingga sulit untuk mengetahui apa sebenarnya isi cerita asli tersebut sebelumnya. Bahkan ada orang di antara orang Yahudi yang percaya bahwa tulisan-tulisan Talmud telah ditambahkan ke "dua prasasti batu“ (yaitu loh batu yang berisi Sepuluh Perintah YHWY, dan Taurat yang disimpan dalam Tabut Perjanjian), dan diyakini replika dari syurgawi buku (Feinburg 1993:1163).

Beberapa sarjana percaya bahwa ketika para Pengumpul teks Qur'an di kemudian hari muncul di abad kedelapan dan kesembilan, mereka hanya menambahkan literatur ini ke dalam bahan-bahan Al Qur’an yang baru lahir. Oleh karena itu, tidak mengherankan bahwa sejumlah tradisi-tradisi dari Yudaisme secara tidak sengaja diterima oleh redaktur dan dimasukkan ke dalam tulisan-tulisan ‘suci' Islam. Ada beberapa cerita yang memiliki akar dalam literatur apokrif Yahudi abad kedua. Kita akan melihat hanya tiga di sini, dan kemudian menyebutkan yang lain di akhir bagian ini :

C2a: Kisah Kain dan Habel / Qabil dan Habil

Kisah Kain dan Habel atau Qabil dan Habil ditemukan dalam Surah 5:30-32, yang awalnya sama seperti kisah dalam Al kitab di mana Kain membunuh Habil, sekalipun tidak disebutkan secara eksplisit di dalam Qur'an.

Namun dalam ayat 31, setelah Kain (Qabil) membunuh Habel (Habil), ceritanya berubah, dan dan tidak lagi mengikuti penjelasan Bibel. Dari mana datangnya kisah Quran ini berasal ? Apakah ini sebuah catatan sejarah yang tidak diketahui oleh penulis Al kitab ?

Memang ada, sebab sumber untuk kisah terlacak sampai setelah Perjanjian Lama telah dikanonisasi, dan setelah Perjanjian Baru ditulis. Bahkan ada tiga sumber dari mana kisah ini bisa diambil : Targum Jonathan ben-Uzia-, The Targum Yerusalem, dan sebuah buku berjudul The Pirke-Rabi Eleazar (Shorrosh 1988:144). Ketiga dokumen tulisan-tulisan Yahudi berasal dari Talmud, yang berasal dari tradisi lisan antara 150-200 Masehi. Kisah-kisah ini ditulis sebagai komentar kitab-kitab Torah, namun yang diketahui mengandung tidak lebih dari mitos dan dongeng Ibrani.

Ketika kita membaca kisah ini dari Al Qur'an , kita menemukan paralel yang mencolok dengan tiga sumber Talmud :

Qur'an- Surah 5:31

Kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana dia seharusnya menguburkan mayat saudaranya 410. Berkata Qabil: "Aduhai celaka aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti burung gagak ini lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku ini?" Karena itu jadilah dia seorang di antara orang-orang yang menyesal. (QS. 5:31)

Targum Jonathan-ben-Uzziah

"Adam dan Hawa, duduk mayat, menangis tidak tahu apa yang harus dilakukan, karena mereka belum memiliki pengetahuan tentang penguburan. Lalu seekor gagak muncul, mengambil mayat temannya, dan setelah menggaruk tanah, kemudian menguburkannya di depan mata mereka. Adam berkata, 'Mari kita ikuti contoh burung gagak', sehingga ia mengambil tubuh Habel, dan dikuburkanlah segera".

Terlepas dari kontras siapa yang menguburkan siapa, dua cerita di atas luar biasa mirip. Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa di sinilah Muhammad, atau sebuah para kompiler kemudian, memperoleh ceritanya. Jadi kita menemukan bahwa fable dan mitos Yahudi diulang sebagai fakta sejarah dalam Al Qur’an.

Namun ini belum semuanya, karena ketika kita melanjutkan membaca kita Surah 5, dalam ayat berikut ini 32 , kita menemukan bukti lebih lanjut dari plagiatisme Qur’an atas literatur Yahudi apokrif, kali ini Mishnah Sanhedrin Yahudi 4:05

Qur'an- Surah 5:32

Oleh karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan menusia semuanya. (QS. 5:32)

Mishnah Sanhedrin 4:5

"Kami menemukan hal ini dalam kasus Kain yang membunuh saudaranya, suara tangis darah adikmu itu terdengar '[yang terakhir ini adalah kutipan dari Alkitab, Kejadian 4:10], Namun sebenarnya tertulis bukanlah darah (kata benda tunggal), melainkan darah-darah (kata benda jamak).

"Engkau diciptakan tunggal untuk menunjukkan bahwa dia yang membunuh seorang manusia, harus diperhitungkan bahwa dia telah dibunuh di seluruh umat manusia. Tetapi ia yang telah memelihara kehidupan seorang manusia, akan diperhitungkan telah memelihara seluruh umat manusia.

Bisakah kita lihat ketiadaan hubungan jelas antara ayat 31 dengan ayat 32 ? Apakah hubungan antara pembunuhan Habel oleh Kain dengan pembunuhan seluruh umat manusia ?

Jika kita beralih ke Talmud Yahudi lagi, kali ini ke Sanhendrin Mishnah, bab 4, ayat 5, kita akan menemukan di mana penulis mendapatkan materi untuk Qur’an, dan mengapa ia memasukkannya.

Dalam kisah ini kita membaca komentar seorang Rabbi, di mana ia menafsirkan kata 'darah' berarti, "darahnya sendiri dan darah keturunannya". Ingat, ini hanyalah komentar seorang Rabbi. Ini adalah interpretasinya sendiri, dan yang sangat spekulatif.

Oleh karena itu, agak menarik bahwa ia kemudian melanjutkan dengan mengomentari kata jamak untuk darah". Namun komentar Rabbi ini diulang hampir kata demi kata dalam Qur'an, dalam QS 5: 32 ! Bagaimana mungkin komentar seorang Rabbi pada teks Alkitab, hasil perenungan manusia biasa, menjadi ayat Al-Qur'an dan dikait-kaitkan sebagai kata-kata Allah?

Satu-satunya kesimpulan adalah bahwa para kompiler kemudian mengetahui nasihat ini dari tulisan Rabbi ini, karena tidak ada hubungan antara cerita tentang pembunuhan Habil oleh Kain dalam Qur'an (QS 5:31), dan ayat berikutnya tentang seluruh ras (QS 5:32).

Hanya ketika kita membaca Mishnah Sanhedrin 4:05 kita dapat menemukan hubungan antara dua cerita itu: eksposisi dari seorang Rabbi dari sebuah ayat Al kitab dan penjelasan kata intinya. Alasan mengapa koneksi ini kurang dalam Al Qur'an sekarang cukup mudah dimengerti. Penulis Surat 5 tidak tahu konteks di mana Rabi berbicara, dan karenanya tidak sadar bahwa ini hanyalah komentar pada teks Alkitab dan bukan dari Alkitab itu sendiri. Dia hanya menambahkan mereka ke Al Qur'an, mengulangi apa yang dia dengar tanpa memahami implikasinya.

C2b: Kisah Ibrahim / Abraham

Dalam Surah 21:51-71, kita menemukan kisah Ibrahim atau Abraham. Dalam penjelasan Al Quran Ibrahim menantang kaumnya dan ayahnya karena berhala-berhala yang mereka sembah. Setelah Abraham dan kaumnya ini berdebat, mereka berangkat dan Abraham menghancurkan patung-patung kecil tapi menyisakan patung yang paling besar masih utuh. Ketika orang-orang melihat ini mereka memanggil Abraham dan menanyakan apakah ia bertanggung jawab akan hal itu. Abraham menjawab pastilah itu patung-patung yang lebih besar menghancurkan patung-patung yang lebih kecil.

Dia menantang mereka untuk bertanya sendiri kepada patung-patung yang besar itu untuk mencari jawabnya. Mereka menjawab, "Engkau tahu benar bahwa ini patung-patung tidak berbicara!" (QS 65). Dia memberikan jawaban mengejek, dan mereka kemudian melemparkan dia ke dalam api. Tapi dalam ayat 69 atas perintah Allah, api menjadi dingin, sehingga Abraham aman, dan dia secara ajaib berjalan keluar tanpa cedera.

Tidak ada paralel kisah ini dalam Al kitab. Namun ada kisah serupa dalam sebuah buku abad kedua, yakni cerita rakyat Yahudi yang disebut Midrash Rabbah. Dalam kitab itu dikisahkan tentang Abraham yang menghancurkan semua patung kecuali patung yang terbesar. Ayahnya dan yang lain menantangnya, dan dengan jenaka Abraham menjawab bahwa ia telah memberikan sebuah lembu besar untuk dimakan bersama-sama oleh semua berhala. Namun berhala yang kecil, tanpa rasa hormat pada berhala yang besar, langsung memakan habis lembu itu. Hal ini membuat berhala yang lebih besar marah dan menghancurkan berhala yang kecil. (bagian jenaka ini dihapus dari pencatatan di Qur’an). Ayahnya yang sedang marah itu tidak mempercayai kisah Abraham, kemudian ia membawa seorang pria yang bernama Nimrod, dan kemudian ia melemparkan Abraham ke dalam api. Namun Allah membuat api itu dingin dan selamatlah Abraham.

Kesamaan antara kedua cerita ini jelas sekali. Sebuah dongeng Yahudi abad kedua, cerita rakyat, dan mitos diulang dalam “kitab suci“ Al Qur'an. Jelas sekali bahwa kompiler kisah ini pernah mendengar potongan-potongan kisah Alkitab dari komunitas Yahudi dan dengan asumsi mereka datang dari sumber, yang sama tanpa disadari menulis cerita rakyat Yahudi ke dalam Al Qur'an.

Beberapa Muslim mengklaim bahwa mitos ini, dan bukan kisah dalam Al kitab, dalam kenyataannya merupakan Firman Allah yang benar. Mereka mempertahankan bahwa Yahudi menghapuskan kisah-kisah tersebut sehingga tidak sesuai dengan kisah dalam Al Quran, tanpa mencoba untuk menjelaskan bagaimana orang-orang Yahudi bisa mencoreng kisah-kisah ini, sebab Al Qur'an itu sendiri tidak muncul sampai berabad-abad kemudian. Namun demikian tetap saja kita harus bertanya dari mana cerita rakyat ini berasal ?

Al kitab sendiri memberikan kita jawabannya. Dalam Kejadian 15:07, Tuhan memberitahu Abraham bahwa Ia yang membawa Abraham keluar dari Ur-Kasdim. Ur adalah tempat, juga disebutkan dalam Kejadian 11:31. Kami memiliki bukti bahwa seorang penulis Yahudi bernama Jonathan Ben Uziel mengira kata Ibrani "Ur" untuk kata Ibrani yang berarti "api". Jadi dalam komentarnya tentang ayat ini ia menulis, "Akulah TUHAN yang membawa engkau keluar dari api Kasdim".

Akibatnya, karena kesalahpahaman ini, dan karena salah membaca ayat Alkitab, sebuah cerita rakyat menjadi populer di zaman itu (abad ke-2 M), yang menyatakan bahwa Tuhan telah membawa Abraham keluar dari api.

Dengan informasi ini, kita bisa membedakan dari mana dongeng Yahudi berasal : dari kesalahpahaman membaca sebuah ayat Al kitab oleh seorang penutur kisah yang keliru. Namun, entah bagaimana pemahaman sesat bisa sampai dijadikan ayat dalam Al Qur'an.

Dari contoh-contoh di atas, hal ini jelas bahwa penyusun Al Qur'an hanya mengulangi apa yang dia dengar, dan tidak mampu membedakan antara yang ia dengar dengan kisah sebenarnya dalam Al kitab. Ia hanya memperkenalkan mereka bersamaan dalam Al Qur'an

C2c: Kisah Sulaeman dan Sheba

Dalam Surah 27:17-44 kita membaca kisah tentang Sulaeman atau Salomo, burung hud-hud dan Ratu Sheba. Setelah membaca kisah Al Qur'an tentang Salomo dalam Surat 27, akan membantu untuk membandingkannya dengan cerita yang diambil dari cerita rakyat Yahudi, Targum II Ester, yang ditulis dalam abad ke-2 M, hampir lima ratus tahun sebelum penciptaan Al Qur'an (Tisdall 1904:80-88; Shorrosh 1988:146-150) :

Qur'an- Surah 27:17-44

(ayat 17) Dan dihimpunkan untuk Sulaiman tentaranya dari jin, manusia dan burung lalu mereka itu diatur dengan tertib (dalam barisan).

(ayat 20) Dan dia memeriksa burung-burung lalu berkata: "Mengapa aku tidak melihat hud-hud, apakah dia termasuk yang tidak hadir.

(ayat 21) Sungguh aku benar-benar akan mengazabnya dengan azab yang keras atau benar-benar menyembelihnya kecuali jika benar-benar dia datang kepadaku dengan alasan yang terang".

(ayat 22) Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.

(ayat 23) Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

(ayat 27) Berkata Sulaiman: "Akan kami lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk yang berdusta.

(ayat 28) Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkan kepada mereka, kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan".

(ayat 29) Berkata ia (Balqis): "Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia.

(ayat 30) Sesungguhnya surat itu, dari SuIaiman dan sesungguhnya (isi)nya : "Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.

(ayat 31) Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri".

(ayat 32) Berkata dia (Balqis) : "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)".

(ayat 33) Mereka menjawab: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada di tanganmu: maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan".

(ayat 35) Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu".

(ayat 42) Dan ketika Balqis datang, ditanyakanlah kepadanya: "Serupa inikah singgasanamu?" Dia menjawab: "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebelumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri".

Targum 2 Esther

Salomo memberikan perintah ........................Aku akan mengirim raja dan bala tentara melawan engkau .......................yang terdiri dari jenis binatang-binatang darat dan burung-burung di udara. Kemudian sesudah itu, seekor ayam jantan merah (seekor burung) pergi dengan sesuka hatinya dan entah kemana. Raja Salomo memberi perintah untuk menangkapnya, membawanya dengan paksa dan dia memang bermaksud membunuhnya.

Tetapi kemudian ayam jantan itu muncul di hadapan raja dan berkata : "Aku telah melihat-lihat seluruh bumi dan menyaksikan sebuah kota dan kerajaan (Sheba) yang belum tunduk kepadamu, tuanku raja. Mereka diperintah oleh seorang ratu bernama Sheba. Kemudian aku menemukan kota yang dibentengi di Tanah Timur dan sekelilingnya dihiasi batu-batu emas dan perak, yang mengalasi jalan-jalan."

Secara kebetulan, ratu Sheba keluar pagi-pagi untuk menyembah laut. Juru tulis Salomo mempersiapkan sepucuk surat, dimasukkannya di bawah sayap seekor burung yang membawanya terbang dan tiba di benteng Sheba. Melihat surat di bawah sayapnya, Sheba membuka dan membacanya: "Raja Salomo mengirim salam. Bila berkenan, datanglah engkau untuk menanyakan kesehatanku, dan aku akan menempatkan engkau tinggi di atas segala-galanya. Jika tidak berkenan, aku akan mengirim raja-raja dan bala tentara melawan engkau".

Membaca demikian, ratu Sheba merobek pakaiannya serta memanggil kaum bangsawan untuk meminta nasehat. Mereka belum pernah mengenal Salomo, tetapi menasehatkan dia untuk mengirim kapal-kapal melalui laut, penuh dengan perhiasan-perhiasan dan batu-batu yang indah............dan juga sepucuk surat kepadanya.

Sheba akhirnya datang. Salomo mengirim utusan untuk menjemput dia, dan ketika ia tiba, Salomo bangkit dan duduk di dalam istana gelas. Ketika ratu Sheba melihat itu, dia berfikir lantai gelas itu ialah air, dan ketika menyebranginya, dia mengangkat pakaiannya. Salomo melihat bulu kakinya dan (dia) berseru kepadanya.....

Sekali anda telah membaca dua kisah di atas, maka jelas dari mana pengumpul kisah Sulaeman dan Ratu Sheba dalam Al Qur'an memperoleh datanya. Dalam isi dan gaya kisah Al Qur'an hampir identik dengan kisah yang diambil dari Targum Yahud yang ditulis di abad 2 M tadi, hampir lima ratus tahun sebelum penciptaan Qur'an. Kedua cerita luar biasa mirip, jin, burung, dan khususnya burung pembawa pesan, yang awalnya Sulaeman tidak bisa temukan, tetapi kemudian digunakan sebagai penghubung antara dirinya dan Ratu Sheba, bersama dengan surat dan lantai kaca, itulah keunikan yang sama dalam dua kisah di atas. Kita sama sekali tidak akan temukan paralelisme kisah ini dalam Alkitab. Sekali lagi kita harus bertanya bagaimana sebuah cerita rakyat Yahudi dari abad kedua Masehi masuk menjadi bagian dari Al Qur'an?

Ada contoh-contoh lain di mana kita bisa temukan baik literatur Yahudi maupun literature apokrif Kristen apokrif dalam teks-teks Al Qur'an. Kisah Gunung Sinai yang diangkat sampai ke atas kepala orang Yahudi sebagai ancaman untuk menolak hukum (Surah 7:171) berasal dari Sarah Abodah, kitab apokrif Yahudi abad kedua. Kisah-kisah aneh mengenai masa kanak-kanak Yesus dalam Al Qur’an dapat ditelusuri dari sejumlah tulisan apokrif Kristen : pohon kurma yang menyediakan untuk penderitaan Maria setelah kelahiran Yesus (Surah 19:22-26) berasal dari Kitab-Kitab Terhilang, sedangkan kisah Yesus yang menciptakan seekor burung dari tanah liat (Surah 03:49) berasal dari Injil Thomas Tentang Masa Kanak-kanak Yesus. Kisah tentang bayi Yesus berbicara (Surah 19:29-33) dapat ditelusuri ke fabel aprokif Arab dari Mesir bernama Injil pertama Tentang Bayi Yesus Kristus.

Dalam Qur'an Surat 17:01 kita memiliki kisah perjalanan Muhammad pada malam hari dari masjidil haram (Mekkah) ke mesjidil aqsha (Yerusalem). Dari tradisi terkemudian kita tahu bahwa ayat ini merujuk kepada Muhammad naik ke langit ketujuh, setelah perjalanan malam ajaib (Mi'raj) dari Mekah ke Yerusalem, dengan menunggang "kuda" yang disebut Buraq. Detil kisah ini lebih jauh ditulis dalam kitab Mishkat Al Masabih. Kita bisa melacak kisah ini ke buku fiksi yang disebut Perjanjian Abraham, ditulis sekitar 200 SM di Mesir, dan kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Yunani dan Arab.

Kemudian kita juga bisa melacak kisah itu di kitab Rahasia Henokh (pasal 1:4-10 dan 2:1), yang ditulis 400 tahun sebelum penulisan Al Qur'an. Namun kisah serupa sebagian besar mengambil model dari kisah yang terkandung dalam kitab Persia kuno berjudul Arta-i Viraf Namak yang menceritakan bagaimana Zoroaster Muda yang saleh naik ke langit, dan kembali, kemudian menuliskan apa yang ia lihat selama perjalanannya itu (Pfander 1835:295-296).

Uraian Al Qur'an tentang neraka menyerupai deskripsi neraka dalam Homilies Efraim, seorang pengkhotbah Nestorian abad keenam (Glubb 1971:36).

Penulis Al Qur'an dalam Surah 42:17 dan 101:6-9 mungkin memanfaatkan Kitab Perjanjian Abraham untuk mengajarkan bahwa ada timbangan yang akan digunakan pada hari penghakiman untuk menimbang perbuatan baik dan buruk dalam rangka menentukan apakah seseorang masuk ke syurga atau ke neraka.

Gambaran syurga di Surat 55:56-58 dan 56:22-24,35-37, yang berbicara tentang orang yang shaleh akan diberi upah bidadari bermata bulat seperti mutiara, memiliki kesejajaran yang menarik dalam agama Zoroaster Persia, di mana nama untuk gadis tidak ‘houris atau bidadari’, tapi Paaris.

Penting untuk diingat bahwa kisah-kisah dalam Talmud tidak dianggap oleh orang Yahudi Ortodoks jaman itu sebagai kitab yang otentik untuk satu alasan yang sangat baik: kitab-kitab belum ada pada Konsili Jamnia pada tahun 80 SM ketika Perjanjian Lama dikanonisasi. Begitu pula bahan apokrif Kristen tidak dimasukan kedalam kanon karena mereka tidak terbukti otoritatif baik sebelum dan sesudah Konsili Nicea tahun 325 M. Jadi kitab-kitab itu selalu dipahami sebagai sesat oleh orang-orang Yahudi dan Kristen Ortodoks dan terpelajar. Untuk alasan ini kita merasa sangat mencurigai bagaimana kisah-kisah apokrif itu kemudian dimasukkan menjadi sebuah kitab yang diaku-aku sebagai wahyu terakhir dari Allah yang disembah Abraham, Ishak dan Yakub.

C3: Keganjilan-keganjilan Sains Dalam Qur’an

Sekarang kita beralih ke bahasan terakhir dari kesulitan-kesulitan yang kita amati ketika membaca Al Qur'an, yaitu keganjilan sains. Dari sudut pandang ilmu pengetahuan modern kita sekarang dapat mengamati apa yang terlihat seperti kelemahan ilmiah yang masih kasar dalam teks-teks Al Qur'an.

Beberapa kontradiksi ini dapat ditemukan pada kisah Al kitab, seperti:

(a) kisah Musa diadopsi 'oleh istri Firaun dalam Al Qur'an (Surah 28:9), sedangkan Alkitab menyatakan itu adalah putri Firaun (Keluaran 2 : 10); atau

(b) klaim bahwa nama Yahya unik untuk abad pertama Yohanes Pembaptis di Surah 19:07, sedangkan nama ini disebutkan lebih awal dalam 2 Raja-raja 25:23; atau

(c) Dimasukannya Maria ke dalam trinitas Kristen dalam Surah 5:116, yang bertentangan bukan hanya dengan penjelasan Bibel, tetapi kepercayaan yang dipegang oleh hampir seluruh penduduk Kristen selama 2.000 tahun terakhir.

Menariknya, sebuah sekte yang secara signifikan dianggap sesat oleh kaum ortodoks dan disebut Kaum Cholloridian memegang pandangan demikian. Mereka tinggal di Timur Tengah pada saat kompilasi Al Qur’an berlangsung. Mungkinkah ini menjadi sumber untuk kesalah-pandangan Al Qur’an tentang Maria?

Ada kontradiksi internal juga, seperti kebingungan tentang Maria yang tercatat sebagai saudara perempuan Harun dan putri Imran (Amran – dalam Alkitab) serta ibu Yesus (Surah 18:28 , 66:12, dan 20:25-30) meskipun dua Maria tinggal 1.570 tahun terpisah !

Bagian lain yang terkenal sulit adalah menyangkut nama Haman. Dalam Al Qur'an Haman disebut sebagai seorang hamba Firaun, yang membangun sebuah menara tinggi untuk mendaki kepada Allah Musa (Surah 28:38; 29:38; 40:25,38). Namun menara Babel terjadi 750 tahun sebelumnya (Kejadian 11), dan nama Haman benar ditemukan dalam kisah Ester di Babel, 1.100 tahun setelah Firaun. Yusuf Ali percaya bahwa referensi di sini hanya untuk Haman lain, namun nama ‘Haman’ bukanlah unik Mesir, melainkan nama bagi orang Babilonia (Pfander 1835:283-284).

Contoh-contoh ini sebenarnya tidak membawa ke pertanyaan temuan-temuan ilmiah, namun mereka menunjukkan sebuah kecerobohan. Ini mengisyaratkan suatu keterpencilan, di mana cerita ini ditransmisikan secara lisan kepada lingkungan yang jauh dari tradisi itu berasal, sehingga kesalahan-kesalahan detil tampak karena tiadanya kisah pembanding lain yang lebih otoritatif.

Kesulitan lebih serius diperlihatkan oleh ayat-ayat yang bertentangan dengan data-data historis yang terobservasi oleh metoda keilmiahan sekuler. Ada cukup banyak ditemukan dalam Al Qur'an, tetapi untuk singkatnya saya akan merujuk pada hanya beberapa.

Menurut Al-Qur'an (Surah 20:85-87, 95-97) adalah seorang Samaria yang membentuk patung Anak Lembu di gunung Horeb, meskipun istilah Samaria tidak diciptakan sampai beberapa ratus tahun kemudian, pada tahun 722 SM (Pfander 1835:284). ( pent - di Alquran tertulis Samiri – sebenarnya ini adalah pelafalan Arab dari kata Samaria. Kata Samari menunjuk pada kebencian kaum Yahudi kepada Kaum Samaria yang mencampurkan ritual Yudaisme dengan ritual pemujaan berhala. Dan kebencian itu disamarkan dalam kisah Musa. Seakan-akan dari dahulu ritual orang Samaria itu memang sudah jadi bibit kekufuran dalam agama Yahudi. Namun tentu saja itu hanya suatu kekeliruan. Sebab tidak pernah ada catatan tentang Samari atau Samaria dalam kisah Perjanjian Lama. Jadi sekali lagi ini membuktikan bagaimana Al Qur’an mengambil sumber-sumbernya dari kisah-kisah fabel Yahudi dan Kristen yang sama sekali tidak masuk hitungan dalam kanonisasi kitab karena otentisitasnya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan).

Isa nama keliru yang diterapkan kepada Yesus. Nama Arab yang benar untuk Yesus harusnya ‘Yesuwa’.

Hal menarik lain adalah pernyataan yang agak aneh dalam Surat 16:15; 21:31 31:10, 78:6-7, 88:19 mengklaim bahwa gunung-gunung yang digunakan sebagai pasak tenda untuk menjaga bumi dari guncangan. Kita sekarang tahu dari studi geologi bahwa gunung adalah hasil dari entah aktivitas gunung berapi atau aktivitas tektonik – atau tabrakan dua lempeng bumi (Campbell 1989:170-173). Ironisnya, kedua alasan membuktikan bahwa keberadaan gunung adalah bukti ketidakstabilan dalam kerak bumi dan bukan sebaliknya.

Dalam Surah 7:124, Firaun menegur para ahli-ahli sihirnya dengan mengancam akan menyalibkan mereka di kayu salib. Dalam Surah 12:41, tukang roti dalam kisah Yusuf diberitahu bahwa dia akan disalibkan.

Namun sejarah membuktikan bahwa hukuman penyaliban tidak muncul pada jaman itu (jangan dibingungkan dengan Ankh Mesir yang merupakan objek untuk kesuburan dan kehidupan, dan bukan instrumen kematian). Penyaliban pertama kali dipraktekkan oleh Fenisia dan penduduk Carthaginians dan kemudian dipinjam secara luas oleh Roma sekitar jaman Yesus, tahun 1700 setelah Firaun!

Masih ada inkonsistensi ilmiah lain dalam Qur’an yang bisa diamati, seperti anggapan di Surat 41:9-11 bahwa langit diciptakan dari asap (kata Arab yang digunakan adalah Dukhan). Bandingankan dengan penggambaran Alkitab tentang penciptaan langit dari air (Kejadian 1:1 - 2). Neuman dan Eckelmann, dua fisikawan terkemuka mempertahankan bahwa asap, yang terdiri dari partikel-partikel organik tidak bisa eksis dalam keadaan primordial, sementara air (kata Ibrani yang digunakan adalah mayim) kemungkinan besar hadir sebagaimana penelitian baru tentang evolusi nebula menunjukkan kepada kita kebutuhan akan hadirnya hidrogen dan oksigen (atau H2O) dalam keadaan primordial (Neuman / Eckelmann 1977:71-72 dan Campbell 1989:22-25). Ironisnya adalah Alkitab, dan bukan Al Qur'an, yang lebih dekat dengan temuan ilmiah modern. (pent - saya sendiri lebih senang temuan ilmiah dari pada kisah-kisah mitos baik itu dari Al Qur'an ataupun Bibel).

Meteor, dan bahkan bintang-bintang, menurut Qur'an dikatakan sebagai rudal yang ditembakkan pada syetan dan jin yang berusaha untuk mendengarkan pembacaan Al Qur’an di syurga dan kemudian mereka sampaikan pada manusia (Surah 15 :16-18; 37:6-10; 55:33-35; 67:5; 72:6-9 & 86:2-3). Bagaimana kita memahami Surat ini ? Apakah kita percaya bahwa Allah melemparkan meteor, materi yang terdiri dari karbon dioksida atau besi-nikel, pada syetan, yang non material, yang curi-curi dengar di dewan syurgawi ?

Dan bagaimana kita menjelaskan fakta bahwa banyak meteor dalam badai meteor dengan jalur yang paralel? Apakah kita berasumsi bahwa si syetan-syetan ini diberdirikan berbaris di tengah-tengah jalur parallel itu agar tertabrak sebagai hukuman dari Allah (Campbell 1989:175-177) ?

Yang menjadi tema favorit lainnya bagi Muslim modern untuk pikirkan adalah tahapan dalam pembentukan janin (lihat Surah 2:259; 22:5, 23:12-14, 40:67, 75:37-39, dan 96:1-2). Menurut Surat ini janin melewati empat tahap, dimulai dengan sperma yang menjadi Alaqa. Meskipun tidak ada yang sepertinya tahu apa arti kata ini sebenarnya, banyak orang menduga bahwa itu adalah sesuatu yang menempel pada sesuatu, atau menggumpal, atau suatu gumpalan darah, sebuah benjolan embrio, dan bahkan segumpal daging dll ‘Alaqa’ kemudian menjadi tulang yang akhirnya ditutupi oleh daging (Rahman 1979:13).

Ada sejumlah kesulitan dengan Surat ini. Namun yang paling penting, tidak ada tahap pembekuan selama pembentukan janin (Campbell 1989:185). Selanjutnya, sperma tidak menjadi "segumpal darah" atau sel telur yang dibuahi tanpa sel telur tidak dibuahi. Keduanya saling membutuhkan. Kedua, "hal yang melekat" tidak berhenti berpegangan untuk menjadi "segumpal daging“ tetapi tetap menempel selama 8,5 bulan! Dan akhirnya kerangka tidak dibentuk sebelum daging (atau otot), sebab otot dan calon tulang rawan dari tulang mulai membentuk secara simultan (Campbell 1989:188). Bahkan, menurut Dr T.W. Sadler PhD, penulis Embriologi Kedokteran Langman, lewat sebuah surat pribadi kepada Dr Campbell pada tahun 1987, telah membuktikan bahwa otot-otot terbentuk beberapa minggu sebelum ada pembentukan tulang, bukan setelah terbentuknya tulang seperti yang Al Qur'an siratkan (Campbell 1989:188).

Sungguh ironis mendengar ayat-ayat diatas dikutip sebagai bukti oleh para apologet modern yang membanggakan keilmiahan Qur'an, padahal sebenarnya, sekali kebenaran diketahui, maka sadarlah mereka bahwa sainslah yang akan membuktikan kekelirun Al Qur’an.

C4: A Solusi Memungkinkan ("Sejarah Penyelamatan")

Islam mengatakan bahwa wahyu Qur'an diterima oleh Muhammad dan dikompilasi ke dalam bentuk tertulis terakhir oleh Zaid ibn Thabit antara tahun 646-650 M, di bawah naungan khalifah ketiga, Usman (Glasse 1991:230). Sejarawan mengambil dua posisi dalam menanggapi pernyataan Tradisi Muslim ini.

Kelompok pertama, yang didukung oleh sejarawan John Burton, agak setuju dengan Tradisi Islam yang menyatakan bahwa Al Qur’an disusun selama Muhammad hidup atau segera setelah Muhammad meninggal. Burton dalam pembelaannya menggunakan teks-teks Qur’an ke zaman sekitar kehidupan nabi. Di kalangan pelajar Barat hanya ada sedikit yang setuju dengan Burton. Banyak cendekiawan Barat menemukan teori Burton tidak cukup logis karena ada begiitu sedikit teks tertulis yang menjadi dasar kesimpulan setiap kesimpulannya (Rippin 1985:154).

Posisi kedua langsung berhadapan dengan Tradisi Muslim, seperti yang didukung oleh John Wansbrough, dari SOAS (University of London). Dia menggunakan analisa historis mirip dengan kritik Al kitab untuk sampai pada kesimpulan (Wansbrough 1977:9). Wansbrough berpendapat bahwa Al Qur'an, seperti yang kita kenal dengan segala permasalahannya literal dan struktural, belum hadir sampai tahun 800-an Masehi (Wansbrough 1977:160-163). Al Qur'an bukan teks yang diserahkan kepada dunia melalui satu orang, melainkan melibatkan karya berbagai penulis dari sekitar abad kesembilan (Wansbrough 1977:51).

Wansbrough memperluas klaim ini dengan mempertahankan bahwa seluruh korpus dokumentasi Islam awal harus dipandang sebagai "Sejarah Penyelamatan", yakni sejarah yang bukan catatan sejarah terbuka untuk dipelajari para sejarawan, sebab kejadian sejarah keselamatan itu tidak pernah terjadi, namun sejarah Sejarah Penyelamatan yang memiliki bentuk sastra dan konteks historisnya sendiri" (Thompson 1974:328). Dengan kata lain, kisah-kisah ini ditulis dengan agenda dalam pikiran, bukan penuturan fakta sejarah.

Dengan demikian, catatan sastra Sejarah Penyelamatan menunjukkan bahwa kisah-kisah ini ditulis menurut interpretasi generasi terkemudian di agar sesuai dengan etos yang waktu saat itu, meskipun mereka menampilkan diri sebagai kontemporer dengan peristiwa yang mereka gambarkan, sebenarnya milik periode setelah peristiwa tersebut, Hal ini menyarankan bahwa kisah-kisah ini ditulis berdasarkan interpretasi generasi kemudian untuk memenuhi permasalahan waktu itu. “Sejarah” sebenarnya, dalam kerangka “apa yang telah benar-benar terjadi saat itu”, telah secara sadar dibenamkan dalam interpretasi terkemudian dan hampir, kalau tidak sepenuh-penuhnya, tak terpisahkan dari interpretasi itu (Crone 1987:213-215; Rippin 1985:156).

Pertanyaan tentang apakah ada "butiran kebenaran sejarah" yang mendasari kisah-kisah Qur’an adalah fokus perhatian kita di sini. Bahkan jika kita mengakui bahwa ada "kernel" kebenaran sejarah, menjadi hampir mustahil untuk mengidentifikasi itu.

Wansbrough berpendapat bahwa Al Qur'an, Tafsir, dan Sirah, semuaanya adalah komponen Sejarah Penyelamatan versi Islam, yang ditulis untuk merujuk pada peranan Tuhan dalam mengarahkan urusan duniawi umat manusia, khususnya selama masa hidup Muhammad (Rippin 1985: 154).

Dia berpendapat bahwa kita tidak tahu, dan mungkin tidak akan pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Yang bisa kita tahu adalah apa yang generasi-generasi terkemudian percayai sebagai “pernah terjadi”, seperti yang telah tercatat dalam Sejarah Penyelamatan.

Wansbrough menyarankan bahwa titik Sejarah Penyelamatan versi Islam adalah untuk merumuskan identitas keagamaan khusus Arab. Hal ini dilakukan dengan mengadopsi dan mengadaptasi gudang ide dan cerita dari keagamaan Yudeo-Kristen yang telah mapan tema-tema keagamaan, suatu kecenderungan yang bermulad di abad ketujuh di Arabia. Wansbrough mengacu pada bukti-bukti dalam Qur'an yang menunjuk pada ekstrapolasi dari konteks Yahudi-Kristen: misalnya, garis kenabian berakhir pada Nabi Terakhir dari Para Nabi, urutan kitab suci, gagasan masyarakat yang hancur, dan narasi motif yang umum (Rippin 1985:157).

Jika analisis Wansbrough benar, maka akan menjadi semakin sulit untuk mempertahankan Al Qur'an sebagai sumber yang akurat bagi Islam, atau sebagai sumber untuk Tradisi Islam, terutama mengingat kenyataan bahwa Al Qur’an ditulis jauh setelah tanggal perkiraan awal ditulisnya berdasarkan Tradisi Muslim sendiri. Sementara penanggalan Qur'an adalah batu sandungan besar bagi klaim keasliannya, pada kenyataannya malahan itu bukan satu-satunya masalah.

Sebagai tanggapan, ada banyak ulama yang berpendapat bahwa kehadiran terus-menerus sejumlah pria yang telah hafal Al Qur'an secara keseluruhan terjaga kredibilitasnya. Orang-orang ini dipanggil Hafiz. Mereka adalah para penghafal Al Qur'an yang darinya para pengumpul naskah Qur’an terkemudian bisa merujuk jika ada pertanyaan muncul (Glasse 1991:143,230).

Saat ini kita memiliki cukup banyak hafiz yang masih hidup di Timur Tengah dan Asia (bahkan ada satu kuliah di SOAS). Kita tahu apakah mereka telah hafal Al Qur'an dengan benar, sebagaimana kita bias merujuk pada teks yang ditulis dan memastikan apakah apa yang mereka benar-benar mengikuti secara tepat atau tidak. Pertanyaannya adalah kepada apa para pengumpul naskah Qur’an itu merujuk dan memastikan kebenaran dari Hafiz pada jaman itu jika terdapat perbedaan pelafalan, kata dll jika tidak ada standard teks yang sudah tersusun? Kalaupun ada, seperti klaim Muslim, mana dokumen-dokumennya?

Pada dasarnya kita kembali ke masalah yang sama yang kita bahas di bagian sebelumnya. Para penghafal Qur’an awal, konon, memiliki dokumen yang mereka hafalkan, sebab kredibilitas Hafiz didapat dari derajat kemiripan pendarasannya dengan dokumen yang ia klaim miliki, bukan sebaliknya. Nah sekarang, apakah dokumen-dokumen itu pernah ada? Jika mereka hanya menghafal apa yang mereka dengar dari semacam tradisi lisan, maka pendarasan mereka menjadi lebih mencurigakan karena tradisi lisan, tradisi lisan terutama agama, secara alami rentan terhadap pelebih-lebihan, pengarang-ngarangan, pembubuhan, dan akibatnya informasinya menyimpang.

Lalu apa yang harus kita lakukan dengan masalah internal yang kita temukan di dalam Al Qur'an? Bagaimana kita menjelaskan masalah struktural dan sastra, serta kisah-kisah contekan dan kejanggalan-kejanggalan ilmiahnya yang dimasukan ke dalam halaman-halamannya? Kesulitan-kesulitan ini menjauhkan kita dari klaim penulisan Qur’an yang dianggap ilahi, dan mengarahkan kita pada skenario yang paling memungkinkan, bahwa Qur’an tidak lebih dar kumpulan kumpulan sumber-sumber berbeda yang dicomot dari potongan-potongan sastra, cerita rakyat, atau tradisi lisan yang beredar pada jaman itu, dan sengaja dicangkokkan oleh para kompiler yang tidak mencurigai bahwa suatu saat modus mereka akan tercium dan diketahui.

Karena penanggalan Qur’an yang meragukan, fakta bahwa tidak ada dokumentasi substansial yang hadir sebelum 750 AD, dan sumber-sumber berbeda yang darinya kisah-kisah Qur’an berasal, serta aplikasi tertentu bagi kaum Arab, penting bagi kita untuk tidak menggunakannya sebagai sumber dalam memastikan keasliannya sendiri. Pada dasarnya kita dibiarkan dengan begitu sedikit materi Islam awal yang darinya kita dapat menggambarkan otoritas apapun untuk Qur'an, atau asal-usul Islam.

Di mana kemudian kita bisa menemukan asal-usul Islam yang benar, jika baik Tradisi Muslim dan Qur'an sendiri mencurigakan?

Apakah Al-Qur'an Wahyu Ilahi? Bagian 4

oleh Badra Naya pada 26 Juni 2011 jam 16:37

D: Kritik Eksternal Terhadap Quran

Untungnya kita tidak sepenuhnya bergantung pada sumber-sumber muslim yang terlambat ini atau pada Al Qur'an itu sendiri untuk mengetahui asal-usul quran dan islam. Ada orang lain yang hidup pada waktu itu, yang tinggal dekat dengan kejadian dan telah meninggalkan kita bahan-bahan yang dapat kita gunakan. Bukti-bukti non-Muslim ditemukan dalam serangkaian naskah literature dalam bahasa Yunani, Syria, Armenia, Ibrani, Aram, dan Koptik dari masa penaklukan (abad ketujuh) dan seterusnya (Crone 1980:15). Kita juga memiliki sejumlah besar tulisan Arab sebelum tanggal tradisi Muslim (Nevo 1994:109). Namun, semua naskah ini tampaknya banyak yang bertentangan dengan apa yang tradisi islam dan Al Qur'an katakan. Dan inilah bahan yang telah terbukti paling membantu dalam menilai apakah Al-Qur'an adalah Firman yang benar dan yang terakhir dari Allah. Adalah naskah-naskah ini yang umat Islam perlu perhatikan di masa depan, dan harus mereka jawab. Mari kita melihat apa yang dikatakan oleh dokumen-dokumen ini :

D1: Hijrah

Sebuah papirus tertanggal 643 Masehi telah ditemukan yang berbicara mengenai tahun ”dua puluh dua” yang menyarankan sesuatu terjadi pada tahun 622 M diantara orang Arab yang bertepatan dengan tahun dari hijrah (Cook 1983:74). Apa yang sebenarnya terjadi kita tidak yakin benar, sebab papirus ini tidak memberitahu kita. Mungkinkah ini tanggal Muhammad pindah dari Mekah ke Madinah, dan tidak lebih dari itu, atau apakah tahun pada saat penaklukan Arab dimulai ? Sementara tradisi Islam menyebutkan Hijrah dari Mekah ke Madinah, mereka tidak dapat memberikan sumber awal (dengan kata lain sumber pada abad ketujuh) yang akan menguatkan historisitas hijrah ini (Crone-Cook 1977:160). Naskah awal yang kita miliki adalah sebuah biografi Arab dari nabi yang dibuktikan dalam papirus periode akhir Umayyah, yang berkisar tahun 750 M, 100 tahun lebih kemudian (Grohmann 1963:71).

Bahan Arab yang kami miliki (koin, papirus, tulisan) semua menghilangkan nama periode (batu nisan yang tanggal tahun 29 H tersebut, yang banyak dikutip oleh Muslim, dikenal hanya dari sumber sastra yang datang belakangan. Naskah-naskah Yunani dan Syria menyebut era tersebut tentang orang Arab, tetapi dua dokumen gerejawi Nestorian dari 676 M dan 680 M yang memberi kita titik awal sebagai emigrasi orang Isma'il bukan dari satu tempat ke tempat lain di Arab (yaitu dari Mekkah ke Medinah), tapi dari Arab ke Tanah Perjanjian (Crone-Cook 1977:9, 160-161).

Dan apakah tanah yang dijanjikan ini ? Sebuah tradisi Islam yang disusun oleh Abu Dawud memberi kita petunjuk. Ia mengatakan, "akan ada hijrah setelah hijrah, 'tapi sebaik-baiknya manusia adalah yang mengikuti hijrah' Ibraham" (Abu Dawud 1348:388). Sementara beberapa Muslim mempertahankan bahwa ini harus dipahami secara teologis yaitu menyiratkan gerakan Ibraham dari penyembahan berhala ke tauhid, saya pikir lebih baik mempertahankan pemahaman Al kitab Yahudi yaitu Eksodus Abraham dari Ur-Kasdim ke tanah Kanaan, melalui Haran (Kejadian 11:31-0:05). Jadi tampaknya lebih mungkin bahwa tanah yang dijanjikan untuk kaum Arab beremigrasi tidak lain dari garis pantai Syro-Palestina: dari Sidon ke Gaza dan pedalaman, ke kota-kota Laut Mati Sodom dan Gomora (Kitchen 1993:164). Patricia Crone, dalam artikel terbarunya berjudul 'Satu Abad Pertama Setelah Hijrah', menemukan dukungan yang menarik untuk Hijrah keluar Arab. Dalam artikel dia mendaftarkan 57 bukti penguat yang berasal dari dalam dan luar tradisi Muslim, yang menunjuk pada Hijrah, atau eksodus, bukan dari Mekah ke Madinah, tetapi dari Arab ke utara, atau kota-kota sekitar garnisun (Crone 1994:355-363). Ini memang menarik, karena banyak dari apa yang akan kita pelajari di sini akan paralel dan menguatkan temuan-temuan ini juga.

Informasi mengenai Hijrah ini memberi kita bukti potensial pertama yang menunjukkan bahwa banyak data yang ditemukan dalam Qur'an dan tradisi Islam ternyata tidak sesuai dengan apa yang sumber-sumber eksternal katakan, dan bahwa mungkin ada agenda lain yang bekerja di sini. Karena itu marilah kita lanjutkan untuk menemukan apa agenda itu.

D2: Kiblat

Menurut Qur'an segera setelah Hirah arah doa atau kiblat ditetapkan menghadap mekkah. Penanggalannya kira-kira tahun 624 M (lihat Surah 2:144, 149-150). Namun, bukti paling awal dari luar tradisi Muslim yang berkaitan dengan arah kiblat, yang berimplikasi dengan lokasi tempat suci mereka, mengacu pada tempat yang jauh lebih ke utara dari Mekkah, bahkan di suatu tempat di barat-laut Arabia (Crone-Cook 1977: 23). Pertimbangkan bukti arkeologi yang telah dan masih terus terungkap dari masjid-masjid pertama yang dibangun pada abad ketujuh.

Menurut penelitian arkeologi yang dilakukan oleh Creswell dan Fehervari pada masjid-masjid kuno di Timur Tengah, rencana mesjid dua lantai dari masjid Umayyah di Irak, yang dibangun oleh gubernur Hajjaj di Wasit (dicatat oleh Creswell sebagai, "masjid tertua Islam yang diwarisi kepada kita"- Creswell 1989:41), dan yang lainnya yang sezaman dengannya dekat Baghdad, memiliki kiblat yang tidak menghadapi Mekah, tetapi berorientasi terlalu jauh di utara (Creswell 1969:137 ff & 1989:40; Fehervari 1961:89; Crone-Cook 1977:23,173). Masjid Wasit melenceng sekitar 33 derajat dan Mesjid Baghdad melenceng sekitar 30 derajat (Creswell 1969:137 ff; Fehervari 1961:89).

Temuan ini selaras dengan dengan kesaksian Baladhuri's (yang disebut Futuh) bahwa Kiblat masjid pertama di Kufa, Irak, yang seyogyanya dibangun pada 670 AD (Creswell 1989:41), juga terletak di sebelah barat, yang seharusnya langsung menunjuk ke selatan (ke Mekkah) (al -Baladhuri 's Futuh, ed oleh de Goeje 1866:276;. Crone 1980:12; Cook Crone-1977:23,173).

Proyek rencana-asli dari Masjid Amr bin al As, yang terletak di Fustat, kota garnisun di luar Kairo, Mesir menunjukkan bahwa kiblat lagi menunjuk terlalu jauh ke utara dan harus diperbaiki kemudian di bawah gubernur Qurra bin Sharik (Creswell 1969:37, 150). Menariknya ini selaras dengan tradisi Islam kemudian yang disusun oleh Ahmad bin al-Maqrizi yang berdoa sedikit menghadap ke tenggara, dan bukan ke arah selatan (1326:6 al-Maqrizi; Crone-Cook 1977:24,173).

Jika Anda mengambil peta Anda akan menemukan kemana titik yang masjid-masjid ini tunjuk asalnya. Keempat contoh yang ditunjukan di atas mengarahkan posisi kiblatnya tidak menuju Mekkah, tapi lebih jauh ke utara, sebenarnya lebih dekat ke sekitar Yerusalem. Jika, sebagian Umat Islam sekarang mengatakan, seseorang tidak harus mengambil temuan ini terlalu serius, sebab banyak masjid bahkan sampai saat ini arah kiblat yang masih salah arah, maka kita harus bertanya-tanya mengapa, jika kaum muslim saat itu begitu mampu memastikan arah, mengapa mereka semua menunjuk ke sebuah lokasi tunggal, untuk suatu tempat di Arabia utara, atau mungkin Yerusalem ?

Kami menemukan bukti yg menguatkan lebih lanjut untuk arah kiblat ini dari seorang penulis Kristen dan pelancong Yakub dari Edessa, yang menulis hingga akhir 705 M. Dialah saksi mata kontemporer di Mesir. Dia mengatakan bahwa kaum Mahgraye 'i Mesir berdoa menghadap ke timur ke arah Kabah (Crone-Cook 1977:24). Surahtnya (yang dapat ditemukan di British Museum) memang mengungkapkan sesuatu. Ketika menulis di Syria, ia mengacu pada Mahgraye, dan berkata, "Jadi dari semua ini adalah jelas bahwa tidak ke selatan bahwa orang Yahudi dan Mahgraye di daerah Suriah sini berdoa, tetapi ke arah Yerusalem atau Kakbah, tempat patriarkal ras mereka" (Wright 1870:604).

Catatan: Penyebutan dari Ka'bah tidak selalu merujuk ke Mekah (sebagaimana kaum Muslim langsung mengacu ke kabaah di Mekkah), karena ada Kabbah-kabbah lain yang ada selama waktu itu, biasanya di pasar-kota (Crone-Cook 1977 : 25.175). Creswell, dalam catatan buku tentang 'Arsitektur Muslim awal' (halaman 17) merujuk pada artikel Finster's, 'Kunst des Orients', yang menyatakan bahwa Finster menuliskan:

"... Menarik perhatian untuk bangunan berbentuk kubus lainnya di Arab, disebutkan dalam sastra Arab awal, dan menyarankan bahwa Kakbah sehingga bisa menjadi bagian dari tradisi bangunan Arab" (Creswell 1969:17; Finster 1973:88-98).

Adalah menguntungkan untuk membangun Ka'bah di pasar kota ini sehingga orang yang datang ke pasar juga bisa melakukan ziarah atau penyesalan kepada dewa yang ada di dalamnya. Kabbah yang dirujuk oleh Yakub dari Edessa mengacu terletak di "tempat bapak bangsa-bangsa", yang dia juga mempertahankan tidak di selatan. Baik Yahudi dan Arab (Mahgraye) mempertahankan keturunan bersama dari Abraham yang diketahui telah tinggal dan meninggal di Palestina, sebagaimana telah dikuatkan oleh penemuan-penemuan arkeologi baru-baru ini (lihat diskusi di Ebla, Mari dan tablet Nuzi, serta tambahan referensi Alkitab abad kesepuluh kepada Abraham McDowell 1991:98-104). Hal keturunan bersama dari Abraham ini juga dikuatkan oleh penulis sejarah Armenia sedini 660 AD (Sebeos 1904:94-96; Crone-Cook 1977:8; Cook 1983:75).

Oleh karena itu, menurut Yakub dari Edessa, hingga akhir 705 AD arah doa menuju Mekah belum dikanonisasi. Pada tahun 1994 Dr Crone dalam artikelnya "Seabad Tentang Konsep Hijrah', menambah satu lagi temuan yang bisa menyiratkan Yerusalem sebagai kiblat awal Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Patricia Carlier di istana musim panas Khalifah Umayyah mencatat bahwa masjid di istana ini menunjuk Yerusalem sebagai arah kiblat juga. (Carlier 1989:118 f, 134)

Menurut Dr Hawting, yang mengajar Sumber-sumber Islam di SOAS, London, tidak ada masjid yang telah ditemukan dari periode ini (abad ketujuh) yang menghadap ke arah Mekkah (mencatat dari kelas kuliahnya pada tahun 1995). Namun Hawting memperingatkan bahwa tidak mengarahkan kiblat melainkan ke Yerusalem. Beberapa masjid Yordania menghadap ke utara, sementara ada masjid Afrika Utara mengarahkan kiblatnya ke Selatan, yang menyiratkan bahwa ada beberapa kebingungan ke mana tempat suci itu berada. Namun, Al Qur’an menyiratkan bahwa arah kiblat itu telah ditetapkan ke Mekkah pada tahun 624, dan tetap arahnya sampai sekarang ! (pent : berarti ada ketidak-akuratan sejarah dari pencatatan Al Qur’an ini, sebab sampai hampir 100 tahun, arah kiblat kebanyakan mesjid mengarah ke Yerusalem).

Jadi, menurut Crone, Cook, Carlier dan Hawting, kombinasi bukti arkeologi dari Irak bersama dengan bukti sastra dari Suriah dan Mesir secara bulat mengacu kepada tempat suci yang bukan di Selatan, melainkan di Barat Laut Arabia (bahkan jauh ke utara) setidaknya sampai akhir abad ketujuh. (Crone-Cook 1977:24).

Apa yang terjadi di sini? Mengapa Kiblat dari masjid-masjid awal tidak menghadap ke Mekkah? Mengapa ada perbedaan antara Qur'an dan temuan arkeologi serta dokumen-dokumen yang terungkap hingga akhir 705 AD ?

Beberapa Muslim berpendapat bahwa mungkin kaum Muslim awal tidak mengetahui arah Mekah. Namun ingatlah bahwa mereka adalah pengembara padang gurun ! penghidupan mereka tergantung pada perjalanan padang pasir, yang hanya memiliki sedikit tonggak petunjuk, dan, karena badai pasir, tidak ada jalan. Di atas segalanya mereka tahu bagaimana mengikuti bintang-bintang. Kehidupan mereka tergantung pada hal itu. Tentu mereka tahu perbedaan antara utara dan selatan.

Selain itu, masjid di Irak dan Mesir dibangun di daerah perkotaan beradab, antara orang-orang modern saat itu yang juga mahir dalam menemukan arah. Sangat tidak mungkin jika mereka salah menghitung kiblat dengan derajat begitu banyak. Bagaimana pula mereka melakukan ibadah yang konon diwajibkan pada saat nabi masih hidup juga ? (pent - haji jika arah kiblatnya saja mengacu ke tempat yang begitu jauh dari Mekkah) Dan mengapa begitu banyak masjid menghadap ke arah utara Arabia, atau mungkin Yerusalem ?

Jawabannya mungkin ada di tempat lain. Saya berpendapat bahwa ada kemungkinan dua alasan untuk perbedaan ini :

  1. bahwa masih ada hubungan baik antara kaum Arab (yang disebut Hagarin, Saracen atau Mahgraye) dengan kaum Yahudi, dan untuk itu tidak diperlukan mengganti kiblat (yang bahkan Al Qur’an sendiri akui tadinya menghadap Yerusalem Surah 2); dan
  2. bahwa Mekkah belum dikenal.

Pertimbangkan ini :

D3: Kaum Yahudi

Al-Qur'an menunjukkan bahwa Muhammad memutuskan hubungannya dengan orang Yahudi pada tahun 624 M (atau segera setelah Hijrah pada tahun 622 M), dan kemudian memindahkan kiblat pada waktu itu (QS 2:144, 149-150). Namun sumber-sumber non-Muslim awal menggambarkan hubungan yang baik antara Muslim dan Yahudi pada saat penaklukan pertama (akhir 620an) dan bahkan kemudian.

Doktrina Iacobi

Kita ambil contoh kesaksian awal Muhammad dan gerakannya yang tersedia bagi kita di luar tradisi Islam, yakni sebuah traktat anti-Yahudi berbahasa Yunani disebut Iacobi Doctrina yang ditulis di Palestina antara 634 dan 640M (Brock 1982:9; Crone-Cook 1977:3). Traktat itu memperingatkan tentang orang Yahudi yang bercampur dengan Saracen, dan betapa bahaya jatuh ke tangan orang-orang Yahudi dan Saracen (Bonwetsch 1910:88; Cook 1983:75). Pada kenyataannya, hubungan ini tampaknya menafaskan hak penundukan Yerusalem oleh kaum Yahudi dan Arab karena sumber Armenia awal menyebutkan bahwa gubernur Yerusalem pasca penaklukan adalah seorang Yahudi (Patkanean 1879:111; Sebeos 1904:103).

Yang penting di sini adalah kemungkinan bahwa orang-orang Yahudi dan Arab (Saracen) tampaknya bersekutu selama masa penaklukan Palestina dan bahkan untuk waktu yang singkat setelah (Crone-Cook 1977:6).

Dalam Doctrina Iacobi keintiman aliansi Yahudi - Arab ini kembali dibuktikan dengan indikasi adanya permusuhan terhadap kekristenan di beberapa bagian wilayah penaklukan. Menurut Bonwetsch, naskah ini menyebutkan seorang Yahudi Kristen yang protes bahwa ia tidak akan menyangkal Kristus sebagai anak Allah bahkan jika orang-orang Yahudi dan Saracen menangkapnya dan memotong dia untuk potong (Bonwetsch 1910:88). Hal ini jelas bahwa penulis percaya bahwa orang-orang Arab dan Yahudi berada di aliansi secara rukun dalam penaklukannya.

Keaslian akun ini ditegaskan oleh kompilator besar Sirah Muhammad, Muhammad ibn Ishaq, dalam dokumen yang dikenal sebagai Konstitusi Madinah. Dalam dokumen ini orang-orang Yahudi ditampilkan sebagai satu elemen pembentuk masyarakat (ummah) bersama dengan kaum beriman (islam) meskipun mereka memeluk agama mereka sendiri dan tersebar di antara sejumlah suku Arab (Gottingen 1859:342; Guillaume 1955:233; Crone-Cook 1977:7 ). Karena, menurut baik Crone dan Cook dokumen ini salah satu unsur yang paling kuno dari tradisi Islam, kesesuaian dengan catatan eksternal awal asal-usul Islam ini sangat signifikan (Crone-Cook 1977:7).

Jika saksi-saksi dokumen ini benar, maka kita harus bertanya bagaimana bisa kaum Yahudi dan Saracen (Arab) bersekutu sampai setidaknya 640 M, manakala menurut Al-Qur'an, Muhammad memutuskan hubungan dengan orang-orang Yahudi sejak 624 AD, lebih dari 15 tahun yang sebelumnya ?

Kitab Sejarah Armenia tahun 660 M

Untuk menjawab pertanyaan di atas kita perlu merujuk kepada catatan yang berkaitan dengan karir awal sang nabi, yang tertulis dalam Dokumen Sejarah Armenia ditulis oleh Uskup Sebeos sekitar tahun 660 M, (Sebeos 1904:94-96; Crone-Cook 1977 : 6). Penulis sejarah ini menjelaskan bagaimana Muhammad mendirikan sebuah komunitas yang terdiri dari kaum Isma'il (Arab misalnya) dan Yahudi, dan bahwa platform bersama mereka adalah sebagai sesama keturunan Abraham, Arab melalui Isma'il, dan Yahudi melalui Ishak (Sebeos 1904:94-96; Crone - Cook 1977:8; Cook 1983:75). Penulis sejarah percaya bahwa Muhammad telah memberkahi kedua masyarakat ini dengan hak kesulungan ke Tanah Suci, sementara secara bersamaan mengajarkan mereka dengan silsilah monoteis (Crone-Cook 1977:8). Ini bukan tanpa preseden sebab idea tentang hak kesulungan Isma'il ke Tanah Suci itu sebelumnya dibahas dan ditolak di kitab Genesis Rabbah (61:7), di Talmud Babilonia dan dalam Kitab Yobel (Crone-Cook 1977:159).

Dengan demikian visi Muhammad bukan hanya Arab, tetapi berorientasi pada Palestina, dan secara istimewa bersama dengan kaum Yahudi (Crone-Cook 1977:8), menurut karya yang dilakukan oleh JB Chabot secara independent dikuatkan dalam tradisi Sejarah Yakobit (Chabot 1910:405).

Yang menarik, menurut penelitian yang dilakukan oleh Crone dan Cook, orientasi Palestina bertahan bahkan dalam tradisi islam yang kemudian, dimana Palestina disamarkan sebagai Suriah (Crone-Cook 1977:158). Kita hanya perlu mengacu pada tulisan Abu Dawud Sulayman bin al-Ash'ath al-Sijistani, dan Ahmad bin Muhammad bin Hanbal untuk menemukan bahwa nabi merekomendasikan Suriah sebagai lahan yang dipilih oleh Allah untuk memilih hamba-hamba-Nya (Abu Dawud ... 1348:388; Ahmad bin Muhammad bin Hanbal 1313:33 f; Munajid 1951:47-74). Kesimpulan ini juga cocok dengan pernyataan yang disebutkan sebelumnya oleh Crone tentang Hijrah Arab, atau eksodus, dari Arab ke utara, bukan hanya antar kota di Arabia, yaitu Mekkah ke Madinah.

Perpecahan antara Yahudi dan Arab, menurut penulis sejarah Armenia dari 660 AD, datang segera setelah penaklukan Yerusalem dari 640 AD (Sebeos 1904:98).

Sekali lagi kita menemukan sejumlah sumber non-muslim bertentangan dengan Al Qur'an, yang mempertahankan bahwa ada hubungan yang baik antara Arab dan Yahudi untuk setidaknya lebih dari 15 tahun melampaui apa yang Al Qur’an tuliskan.

Jika Palestina adalah fokus bagi kaum Arab, maka keberadaan kota Mekkah patut dipertanyakan.

D4: Mekkah

Muslim mempertahankan bahwa "Mekah adalah pusat Islam, dan pusat sejarah." Menurut Al-Qur'an, "Tempat suci pertama yang ditunjuk untuk umat manusia adalah Bakkah (atau Mekah), tempat yang diberkati, menjadi petunjuk bagi bangsa-bangsa" (QS 3:96). Dalam Surah 6:92 dan 42:5 kita menemukan bahwa Mekah adalah "ibu dari semua permukiman".

Menurut tradisi Muslim, Adam menempatkan batu hitam di Ka'bah asli sana, sedangkan menurut Al-Qur'an (QS 2:125-127) itu adalah Abraham dan Ismail yang membangun kembali Kabah beberapa tahun sesudahnya. Hal ini berimplikasi bahwa Mekah dianggap oleh umat Islam sebagai kota pertama dan paling penting di dunia!

Terlepas dari kesulitan yang jelas dalam mencari bukti dokumenter atau arkeologi apapun bahwa Abraham pernah pergi ke atau tinggal di Mekah, masalah utama terletak dalam menemukan setiap rujukan untuk kota sebelum kemunculan Islam. Dari riset yang dilakukan oleh baik Crone dan Cook, rujukan awal dan satu-satunya kepada Mekkah adalah adanya sebuah kesimpulan kepada sebuah kota yang bernama "Makoraba" oleh Ptolemeus seorang ahli bumi Yunani-Mesir di pertengahan abad ke-2. Meskipun kita bahkan tidak yakin apakah penyebutan tempat ini oleh Ptolemy mengacu pada Mekah atau bukan, karena ia hanya menyebutkan namanya secara sepintas.

Selanjutnya, menurut Dr Crone, tiga huruf akar bahasa Arab untuk Mekah (MKK) sama sekali tidak sesuai dengan tiga akar huruf Arab untuk Makoraba (KRB) (karena huru 'ma-' yang mendahului 'koraba' menandakan 'tempat'). Dengan demikian, sama sekali tidak ada laporan tentang Mekah atau Kabbah di dokumen kuno otentik ! Itu berlaku sampai akhir abad ketujuh (Cook-74; Crone-Cook 1977:22). Bahkan, mereka mempertahankan, "referensi paling awal ditemukan di satu versi kitab Apokalips Psude-Metodius versi bahasa Siriah (Crone-Cook 1977:22,171).

Namun, walaupun kitab apokalips itu sendiri berasal dari akhir abad ketujuh, referensi ke Mekah hanya ditemukan di salinan terkemudian, dan tidak hadir dalam tradisi Eropa atau tradisi Suriah belakangan, dan tidak pernah ada dalam Codex Vatikan, 'yang oleh etymologis anggap sebagai teks paling awal (rujukan diskusi pada pembahasan lihat catatan antara Nau dan Kmosko pada catatan "7", hal. 171, dalam Crone & Cook, Hagarism: 1977).

Referensi selanjutnya ke Mekah, menurut Crone dan Cook, muncul di Continuatio Byzantia Arabika, yang merupakan sumber yang berasal dari awal masa pemerintahan khalifah Hisyam, yang memerintah antara 724-743 AD (Crone-Cook 1977:22,171).

Oleh karena itu, bukti awal yang paling menguatkan yang kita miliki tentang kberadaan kota Mekkah benar-benar baru ada 100 tahun setelah tanggal yang dirujuk oleh Tradisi Islam dan Quran.

Mengapa? Jika Mekkah adalah kota yang begitu penting, tentu saja seseorang, di suatu tempat, akan pernah merujuk atau menyebut-nyebutkanya. Namun kita tidak menemukan apa-apa di luar kesimpulan kecil oleh Ptolemy 500 tahun sebelumnya, dan laporan awal pada abad ketujuh akhir dan kedelapan awal.

Dan itu belum semua, sebab muslim berpendapat bahwa Mekah itu bukan kota kuno dan besar, tetapi juga pusat rute perdagangan untuk Saudi pada abad ketujuh dan sebelumnya (Cook 1983:74; Crone 1987:3-6).

Namun, menurut penelitian yang luas oleh Bulliet tentang sejarah perdagangan di Timur-Tengah kuno, klaim-klaim oleh umat Islam jelas keliru, karena Mekah melulu tidak terletak pada rute perdagangan utama. Alasan untuk ini, ia berpendapat, bahwa, "Mekah ini terletak di tepi semenanjung Hanya oleh. pembaca peta yang paling dipaksakan Mekkah bias digambarkan sebagai persimpangan alami antara rute utara-selatan dan barat-timur salah satu" (Bulliet 1975:105).

Hal ini dikuatkan oleh penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh Groom dan Muller, yang berpendapat bahwa Mekah benar-benar tidak mungkin berada di jalur perdagangan, karena akan mensyaratkan jalan memutar dari rute yang seharusnya. Bahkan mereka akan menjauhi rute perdagangan yang harus dilewati beberapa seratus mil jika bersikeras melewati Mekkah (Groom 1981:193; Muller 1978:723).

Patricia Crone, dalam karyanya tentang Meccan Trade and the Rise of Islam menambahkan alasan praktis yang terlalu sering diabaikan oleh para sejarawan sebelumnya. Dia menunjukkan bahwa, Mekkah adalah tempat yang tandus, dan tempat-tempat tandus tidak menyediakan penghentian alami (pent: maksudnya seperti tempat-tempat teduh bagi para pemilk Caravan untuk beristirahat), dan paling tidak ketika bagi mereka untuk menemukan lingkngan hijau pada jarak yang cukup dekat. Mengapa para kafilah harus mengarungi perjalanan curam lembah tandus Mekah ketika mereka bisa berhenti di Thaif ? Mekah tentu saja memiliki baik tempat kudus maupun sumur, namun begitu pula Thaif, yang memiliki persediaan makanan, juga "(Crone 1987:6-7; Crone-. Cook 1977:22).

Selanjutnya, Patricia Crone bertanya, "Komoditas apa yang tersedia di Arabia yang dapat diangkut dengan jarak seperti itu, melalui lingkungan yang tak ramah, dan masih dlaku dijual dengan keuntungan yang cukup besar untuk mendukung pertumbuhan sebuah kota di sebuah daerah yang dikelilingi keterbatasan sumber alam yang begitu menyolok?" (Crone 1987:7) Bukanlah dupa, rempah-rempah atau barang eksotis lainnya seperti yang banyak penulis awal, yang sungguh tak dapat diandalkan keakuratannya tulisannya, telah isyaratkan (lihat diskusi Crone tentang masalah akurasi sejarah, terutama antara Lammens, Watts dan Kister, di Mekah Perdagangan, 1987:3).

Dalam studi nya di Meccan Trade, Dr Crone menunjukkan bahwa dari lima belas rempah-rempah yang dikaitkan ke Mekah: enam jenis tidak ditemukan sebelum abad keenam, dua diimpor lewat laut; dua secara eksklusif dari Afrika Timur, dua lagi kurang bsa dipercaya dan tidak pernah diperdagangkan, satu bermasalah dalam identitas, dan dua lagi tidak dapat diidentifikasi sama sekali (Crone 1987:51-83). Akibatnya, tak satu pun dari lima belas rempah-rempah dapat dikaitkan ke Mekah. Jadi perdagangan apa yang terkenal yang bisa dikaitkan dengan kota Mekkah ? Beberapa Muslim mempertahankan itu perbankan atau mungkin penggembalaan unta, namun bagaimana mungkin dalam lingkungan setandus itu ?

Menurut penelitian terbaru dan jauh lebih dapat diandalkan yang dilakukan oleh Kister dan Sprenger, orang Arab terlibat dalam perdagangan dari jenis yang sangat mendasar, yakni kulit dan pakaian; yang hampir tidak mungkin mampu menjadi konglomerasi dalam dimensi internasional (Kister 1965:116; Sprenger 1869:94). (pent. : maksudnya perdagangan dengan basic item seperti itu tidak memungkinkan untuk memunculkan pergerakan dengan tentara yang besar dan professional seperti dalam kisah-kisah peperangan Muhammad. Ini berimplikasi bahwa pergerakan awal islam bukanlah di Mekkah).

Bagaimanapun, masalah nyata dengan Mekah adalah bahwa tidak ada perdagangan internasional yang terjadi di Arabia, apalagi di Mekkah, dalam satu abad sebelum kelahiran Muhammad. Tampaknya banyak data kita miliki tentang daerah ini telah diambil dari luar kawasan sebenarnya, karena penelitian ceroboh dari sumber asli yang dilakukan oleh Lammens, "seorang sarjana tidak bisa diandalkan," dan diulangi oleh orientalis besar seperti Watts, Shaban, Rodinson, Hitti, Lewis dan Shahid (Crone 1987:3,6). Lammens menggunakan sumber-sumber abad pertama (seperti Periplus - 50 AD - dan Pliny - 79 AD) seharusnya menggunakan data enam abad kemudian karangan sejarawan Yunani, Bizantium dan Mesir yang dekat dengan kejadian munculnya Islam (seperti Cosmas, Procopius dan Theodoretus - Crone 1987 :3,19-22, 44). Karena mereka tidak hanya pedagang, wisatawan dan geografi, tetapi sejarawan, mereka tahu area dan periode dan karena itu akan memberikan gambaran yang lebih akurat.

Seandainya Lammens merujuk pada sejarawan-sejarawan tersebut, maka ia akan menemukan bahwa perdagangan Yunani antara India dan Mediterania sepenuhnya lewat jalur maritim setelah abad pertama Masehi (Crone 1987:29). Orang hanya perlu melihat peta untuk mengerti alasannya. Adalah tidak masuk akal untuk mengirimkan barang-barang melintasi jarak tersebut lewat darat ketika jalur air tersedia. Patricia Crone menunjukkan bahwa di masa kaisar Diocletian (berkuasa di Roma 284 – 305 M) lebih murah untuk kapal gandum melewati laut sejauh 1.250 mil daripada mengangkutnya dengan tanah sejauh 50 mil (Crone 1987:7). Jarak dari Najran, Yaman di selatan, ke Gaza di sebelah utara adalah sekitar 1.250 mil. Untuk apa kapal-kapal pedagang dari India melaut sampai ke Aden, Yaman, lalu membongkarnya untuk diletakkan pada punggung unta yang jauh lebih lambat dan lebih mahal demi melintasi padang pasir Arab yang tidak ramah sampai ke Gaza, ketika mereka bisa membawanya terus di kapal dan mengikuti rute Laut Merah sampai pantai barat Arabia ?

Dan tetap ada masalah lain juga. Seandainya Lammens meneliti sumber-sumbernya dengan benar, ia juga akan menemukan bahwa perdagangan Yunani-Romawi runtuh menjelang abad ketiga Masehi, sehingga pada saat Muhammad hanya ada rute darat, dan ada pasar Romawi dimana barang-barang akan ditujukan (Crone 1987 : 29). Dia akan juga menemukan bahwa bentuk perdagangan yang tersisa ternyata dikendalikan oleh orang Etiopia dan bukan Arab, dan bahwa kota Adulis di pantai Ethiopia Laut Merah dan bukan Mekah adalah pusat perdagangan di daerah itu (Crone 1987:11, 41-42 ).

Bahkan yang lebih penting lagi, seandainya Lammens meluangkan waktu untuk mempelajari sumber-sumber Yunani awal, ia akan menemukan bahwa orang-orang Yunani, kepada siapa perdagangan ditujukan, bahkan tidak pernah mendengar apapun tentang suatu tempat bernama Mekah (Crone 1987:11,41-42). Jika Mekkah benar-benar begitu penting, menurut tradisi Muslim dan orientalis baru-baru ini, tentu si penerima barang itu akan mencatat keberadaannya. Namun, kita tidak menemukan apa-apa. Crone dalam risetnya menunjukkan bahwa dokumen-dokumen perdagangan Yunani merujuk pada kota Thaif (yang dekat dengan Mekah sekarang), dan ke Yathrib (yang kemudian disebut Madinah), serta Kaybar di utara, namun tidak disebutkan apa-apa tentang Mekah (Crone 1987:11). Bahkan dinasti Sassanid Persia, yang pernah menyerang Arab antara tahun 309 dan 570 Masehi menyebutkan menara kota Yatsrib (Madinah) dan Tihama, tapi tidak Mekkah (Crone 1987:46-50). Hal ini memang sangat mengganggu.

Seandainya para orientalis yang baru-baru ini meluangkan waktu untuk memeriksa sumber-sumber yang Lammens gunakan, mereka juga akan menyadari bahwa sejak jalur darat itu tidak digunakan setelah abad pertama Masehi, tentu saja jalur itu digunakan pada abad kelima atau keenam (Crone 1987:42), dan banyak dari apa yang telah ditulis mengenai Mekah harus diperbaiki sebelumnya.

Akhirnya, masalah lokasi Mekah dalam sumber-sumber sekuler awal tidaklah unik , bahkan ada beberapa kebingungan dalam tradisi Islam di mana tepatnya Mekah pada awalnya terletak (lihat diskusi pada evolusi dari situs Mekah di Crone & Cook Hagarism 1977 : 23.173). Menurut riset yang dilakukan oleh J.van Ess, baik dalam perang sipil pertama dan kedua, ada catatan tentang orang-orang bepergian dari Madinah ke Irak melalui Mekah (van Ess 1971:16, lihat juga Muhammad bin Ahmad al-Dhahabi 1369: 343). Namun Mekah terletak di sebelah tenggara Madinah, dan Irak adalah utara-timur. Jadi tempat kudus bagi Islam, menurut tradisi-tradisi itu berada si sebelah utara Madinah, yang merupakan arah yang berlawanan dari mana Mekah saat ini !

Kita dibiarkan dalam kebingungan. Jika Mekah bukan pusat komersial besar seperti tradisi-tradisi Muslim ingin kita percayai, kalau Mekkah tidak diketahui dan ditulis oleh orang-orang yang hidup pada jaman itu, dan jika tidak bisa memenuhi syarat sebagai sebuah kota pada zaman Muhammad, tentu Mekkah tidak bisa menjadi pusat dunia Islam pada waktu itu. Kalau begitu kota mana yang jadi pusat dunia islam? Jawabannya adalah tidak begitu sulit ditebak, seperti yang telah diisyaratkan sebelumnya. Tampaknya Yerusalem dan bukan Mekah adalah pusat dan tempat suci kaum Haggarin atau Maghrabi (nama awal diberikan kepada orang-orang Arab) sampai sekitar 700 M.

Diskusi-diskusi di awal mengenai Hijrah, kiblat, dan Yahudi menunjukkan bahwa itu adalah ke arah utara, mungkin Palestina bahwa Hijrah diarahkan, bahwa tempat di daerah barat-laut Arab ketika kaum Hagarin berpaling untuk berdoa, dan bahwa itu adalah tujuan dimana mereka bersama orang-orang Yahudi melakukan penaklukan (Crone-Cook 1977:9,160-161,23-24,6-9). Belum lagi kita tambahkan fakta lain yang dapat membantu kita pada keyakinan ini :

D5: Kubah Emas / Dome of The Rock (Qubbat al Sakhra)

Di tengah-tengah Yerusalem berdirilah bangunan mengesankan yang dikenal sebagai Kubah Emas atau Mesjid Kubah Emas (bahasa Inggris Dome of The Rock) yang dibangun oleh Abd al-Malik pada tahun 691 Masehi. Bagaimanapun kita akan mengenal bahwa Kubah Emas ini bukanlah sebuah mesjid, karena ia tidak memiliki kiblat. Bangunan ini berbentuk octagonal atau bersegi delapan dengan delapan pilar (Nevo 1994:113), dimaksudkan sebagai tempat untuk melakukan waqaf / pradaksina (berjalan mengitari). Dengan demikian, tampaknya bangun ini dimaksudkan sebagai tempat perlindungan (glasse 1991:102). Saat ini dianggap sebagai situs ketiga paling suci ketiga dalam agama Islam setelah Mekkah dan Madinah. Muslim berpendapat bahwa itu dibangun untuk memperingati malam ketika Muhammad pergi ke surga untuk berbicara dengan Musa dan Allah menyoal berapa kali jumlah shalat yang harus dilakukan oleh umat (dikenal sebagai Mi'raj dalam bahasa Arab) (glasse 1991:102).

Namun, menurut riset yang dilakukan pada inskripsi yang terpahat di sana oleh Van Berchem dan Nevo, tanggal penulisan paling awal dari inskiripsi itu tidak mengatakan apa-apa tentang Mi'raj, tetapi hanya berisi kutipan yang menyoal polemik yang bernada pesan quran, meskipun inskripsi itu hanya bertujuan terutama pada orang Kristen.

Umat Islam akan segera menunjukkan Surah 17:01 dan 2:143-145, yang berbicara tentang 'tempat yang tak dapat diganggu gugat' dan 'perubahan kiblat', dapat ditemukan pada inskripsi drum kubah dan ambang pintu yang menghadap ke selatan. Mereka akan melakukannya dengan baik untuk membaca sejarah inskripsi tersebut. Namun apa sebenarnya terjadi adalah bahwa baik inskripsi ini tidak asli, tidak pula inskripsi ini berusia tua. Keseluruhan kubah dibangun kembali oleh al Zaher Li-L'zaz pada tahun 1022 M akibat gempa bumi yang terjadi pada tahun 1016 Masehi (Duncan 1972:46). Drum itu dibangun kembali pada 1318 M (Creswell 1969:30), tetapi inskrisinya (baik Surah 36 bagian bawah dan Surah 17 bagian atas) tidak ditambahkan sampai 1876 Masehi oleh Abdul Hamid II (Duncan 1972:66). Pintu-pintu yang ada pada saat ini (dimana Surah 2:144 ditemukan) tidak didirikan sampai 1545 AD (Creswell 1969:26). Di bagian selatan dimana ditulis Surah 2:143-145 tidak dibangun sampai 1817 M oleh Sultan Mahmud (Duncan 1972:64). Jadi, sekali kita membaca sejarah kubah, kita menemukan bahwa tak satupun dari dua Surah ini ini ditulis ketika kubah itu dibangun oleh Abdul Malik pada tahun 691 M.

Inskripsi paling awal, sejauh yang kita bisa buktikan, hanya berbicara tentang status mesianis Yesus, penerimaan para nabi, penerimaan wahyu oleh Muhammad wahyu, dan penggunaan istilah "islam"dan"muslim" (Van Berchem 1927: nos.215, 217; Nevo 1994:113). Harus dicatat, bagaimanapun, bahwa bahkan tanggal awalan ini meragukan dikarenakan adanya perbedaan desain pada plar-pilar penyangga berdasarkan catatan seorang Persia Nasir i Khusran di 1047 AD (lihat Duncan 1972: 44-46).

Jika tempat suci ini dibangun ditujukan untuk mengenang peristiwa sejarah penting dalam kehidupan sang nabi (yakni Mi'raj), mengapa tidak ada inskripsi awal terlihat itu? Tidak ditemukan dalam inskripsi itu entah menyebutkan perjalanan malam ke surga, menaiki kuda bersayap, Buraq, juga tidak menyebutkan dialog Muhammad dengan Musa pertama –tama dan kemudian dengan Allah, atau tentang shalat lima waktu sehari, yang konon tujuan utama dari pendirian tempat suci itu !

Bagaimana hal ini bisa dijelaskan? Penjelasan yang mungkin adalah bahwa cerita tentang Mi'raj sama sekali tidak ada saat ini, tetapi dikarang di kemudian hari selama periode Abbasiyah (setelah 750 AD). Hal ini tidak sulit untuk memahami ketika seseorang menyadari bahwa gagasan dari shalat lima waktu dirangkai saat itu juga. Rujukan untuk shalat di Quran hanya ada di Surah 11:114, 17:78-79, 20:130, dan 30:17-18 (meskipun ada keraguan apakah mereka semua berbicara tentang shalat doa, atau apakah mereka berbicara tentang pujian [sabaha]). Apa yang kita temukan dalam rujukan ini adalah shalat wajib tiga kali. Ayat-ayat ini tidak berbicara tentang 5 kali sehari (meskipun banyak komentator muslim berusaha keras untuk menambahkan kedua shalat yang tak ditulis itu entah shalat subuh atau isha, melalui pembacaan yang dipaksakan).

Kisah Isra Mir'aj konon terjadi ketika Muhammad tinggal di Madinah (paling mungkin sekitar 624M). Namun ketika kita merujuk pada Hadis yang dikumpulkan 200 – 250 tahun kemudian, kita mendapati bahwa tidak hanya shalat lima waktu saja yang diperdebatkan, tentang bagaimana shalat dilakukan. Jika Quran adalah firman allah, mengapa tidak diketahui berapa kali muslim harus shalat dalam sehari ? Dan lebih jauh lagi, jika Kubah Emas dibangun untuk memperingati kejadian yang momentum, mengapa quran tidak dibicarakan apa-apa sampai 100 tahun kemudian? Nampaknya jelas bahwa bangunan itu asalnya didirikan bukan untuk tujuan memperingati Isra Mi'raj. Fakta bahwa bangunan mengesankan itu berdiri lebih awal, memberi petunjuk bahwa tempat ini adalah sanctuary dan pusat islam sampai setidaknya abad 7 M dan bukan Mekkah (Van Bercham 1927:217) !

Dari apa yang kita baca sebelumnya tentang tujuan Muhammad untuk memenuhi hak waris yang ia dan kaumnya, Hagarin, miliki untuk kembali ke tanah Perjanjian, atau Palestina, adalah masuk akal jika Abdul Malik mendirikan bangunan ini sebagai titik pusat dari penggenapan tujuan itu. Dan tidak aneh apabila Abdul Malik membangun kubah dimana ia memproklamasikan misi kenabian Muhammad, lalu ia menaruhnya di atas bangunan itu sendiri (Van Berchem 1927:217).

Menurut tradisi Islam, Khalifah Sulaeman, yang berkuasa paling tidak 715-717 AD, pergi ke mekkah untuk bertanya tentang ibadah haji. Ia tidak puas dengan jawaban yang ia terima disana, dan memilih untuk mengikuti Abdul Malik, yakni mengitari Kubah Emas (catatan: jangan tertukar dengan Imam Malik bin Anas yang baru berumur 3 tahun saja pada saat itu, sebab terlahir tahun 712 M). Dari fakta ini saja, menurut Dr. Hawting dari SOAS, menunjukkan bahwa masih terdapat kebingungan sampai awal abad ke delapan tentang bangunan suci yang mana yang harusnya jadi acuan. Kelihatannya baru baru saat ini saja Mekkah mengambil tempat sebagai pusat keagamaan islam. Untuk itu kita mulai mengerti mengapa, berdasarkan tradisi, Walid I, yang berkuasa sebagai kalifah antara tahun 705 – 715 M, menuliskan kepada semua wilayah yang menitahkan perombakan dan pelebaran mesjid (mengacu pada 'Kitab al-'uyun wa'l-hada'iq', yang diedit oleh M. de Goeje dan P. de Jong 1869:4). Mungkinkah pada saat ini kiblat diarahkan ke Mekkah? Jika demikian, ini menunjukkan suatu kontradiksi lagi terhadap Quran yang mensahkan Mekkah sebagai tempat suci, dan kemudian arah kiblat, 80 - 90 tahun setelah Muhammad meninggal. (lihat Surah 2:144-150).

Dan itu bukanlah satu-satunya masalah. Sebab kita masih memilki bukti arkeologis dan manuskrip yang menunjukkan perbedaan dengan apa yang kita baca di dalam Quran.

D6: Muhammad

Tulisan-tulisan para penulis sejarah Armenia dari sekitar 660 AD (disebut sebelumnya) memberi kita narasi paling awal dari karir Muhammad yang masih ada sampai saat ini dibanding dalam bahasa apa pun, yang menyatakan bahwa Muhammad adalah seorang pedagang yang berbicara banyak tentang Abraham, sehingga hal ini memberikan kita bukti sejarah awal keberadaan Muhammad (Cook 1983:73). Namun penulis sejarah ini tidak mengatakan apa-apa tentang kenabian universal dari Muhammad, hanya mengisyaratkan bahwa ia seorang nabi lokal.

Bahkan dokumen Islam awal, menurut Dr John Wansbrough, tidak mengatakan apapun tentang kenabian yang diklaim bersifat universal. Catatan Maghazi, yang Wansbrough rujuk yang memuat cerita tentang pertempuran nabi dan kampanye, adalah dokumen-dokumen Islam yang paling awal yang kita miliki (Wansbrough 1978:119). Mereka seharusnya memberi kita gambaran terbaik waktu itu, namun mereka hanya menceritakan sedikit tentang kehidupan Muhammad atau ajarannya. Bahkan, tak satu bagianpun dalam dokumen ini terdapat penghormatan terhadap Muhammad sebagai nabi! Jika, menurut Al Quran, Muhammad dikenal terutama sebagai "segel dari semua nabi" (QS 33:40), maka mengapa dokumen-dokumen ini tidak berkata apa-apa sama sekali tentang hal yang sangat penting ini ?

Analisa Nevo Pada Tulisan Prasasti

Untuk mengenal siapa Muhammad dan apa yang dia lakukan, kita harus kembali ke waktu ketika ia hidup dan melihat bukti yang ada pada saat itu. dan masih ada sampai sekarang, untuk melihat informasi apa yang bisa memberitahu kita tentang tokoh yang sangat penting ini. Wansbrough, yang telah melakukan penelitian yang begitu banyak pada tradisi awal dan Al Quran berpendapat bahwa, karena sumber-sumber Islam semua sangat terlambat, dari 150 tahun untuk dokumen Sira-Maghazi, serta Al Qur'an yang paling awal, mengharuskan kita untuk tidak menganggapnya otoritatif (Wansbrough 1977:160-163; Rippin 1985:154-155). Adalah ketika kita melihat dari sumber-sumber non-muslim maka kita menemukan beberapa peringatan yang agak menarik siapa manusia Muhammad ini.

Sumber non-muslim terbaik berasal dari Saudi abad ketujuh yang kita miliki adalah yang ditunjukan oleh batu prasasti Arab yang tersebar di seluruh gurun Siro-Yordania dan Semenanjung Arab, dan terutama padang pasir Negev (Nevo 1994:109). Adalah Yehuda Nevo dari Universitas Ibrani Yerusalem.yang telah melakukan penelitian terbesar pada batu prasasti tersebut. Dan sumber yang akan saya rujuk ini berasal dari penelitian Yehuda Nevo yang ia tulis dalam bukunya berjudul Towards a Prehestory of Islam, yang diterbitkan pada tahun 1994.

Nevo menemukan dalam teks-teks relijius Arab berasal dari 150 tahun pertama berkuasanya bangsa Arab, sebuah keyakinan monoteis. Namun, ia berpendapat bahwa kredo ini "menunjukkan bukan Islam, tetapi [sebuah kredo] yang darinya Islam mungkin berkembang" (Nevo 1994:109).

Nevo juga menemukan bahwa "di semua lembaga keagamaan Arab selama periode Sufyani [661-684 AD] benar-benar tidak pernah ada rujukan kepada nama Muhammad." (Nevo 1994:109). Faktanya tidak nama Muhammad, tidak pula formula yang merujuk pada Muhammad (bahwa ia adalah nabi Allah) tertulis pada setiap prasasti tertanggal sebelum tahun 691 Masehi. Hal ini terbukti, entah tujuan utama dari prasasti bersifat agamawi, seperti misalnya doa, atau apakah itu digunakan sebagai prasasti peringatan, yang mana seharusnya ada kandungan penekanan keagamaan, seperti prasasti di bendungan dekat kota Thaif yang dibangun oleh Muawiyah Khalifah dalam AD 660s (Nevo 1994:109).

Fakta bahwa nama Muhammad tidak pernah hadir pada semua prasasti awal, terutama yang bersifat relijius adalah signifikan. Padahal banyak catatan dari tradisi kemudian (yaitu Sirah dan Hadits, yang merupakan literatur Muslim awal yang kita miliki) dikarang hampir seluruhnya berdasarkan kisah kehidupan nabi. Dia adalah contoh yang harus diikuti semua muslim. Lalu mengapa kita tidak menemukan penekanan yang sama dalam tulisan-tulisan Arab yang jauh lebih awal yang sebenarnya lebih mendekati jaman dimana ia hidup? Bahkan yang lebih merisaukan lagi, mengapa namanya tidak disebut-sebut sama sekali? Namanya hanya baru ditemukan pada prasasti Arab setelah 690 AD (Nevo 1994:109-110).

Dan apa lagi, tanggal kemunculan pertama frase ‘Muhammad rasul Allah’ ditemukan pada koin Arab-Sassanian dari Xalid bin Abdallah dari tahun 690 Masehi, yang melimpah di Damaskus (Nevo 1994:110).

Yang lebih mencolok lagi, penampilan pertama dari apa yang Nevo sebut sebagai “Syahadat Berlapis tiga” (triple Confession of faith), yang meliputi Tauhid (bahwa Allah adalah satu), kalimat Muhammad Rasul Allah (bahwa Muhammad adalah utusan-Nya, dan sifat kemanusiaan Yesus (rasul Allah wa-abduhu), ditemukan dalam prasasti Abd al-Malik di Kubah Batu di Yerusalem, tertanggal 691 AD (Nevo 1994:110)! Sebelum tulisan ini pengakuan iman Muslim tidak dapat dibuktikan sama sekali. Harus dicatat, bagaimanapun, bahwa tanggal tulisan ini bisa sendiri jauh kemudian, yakni sekitar 1022 AD yang mungkin ditambahkan oleh al Zaher Li-L'zaz ketika ia membangun kembali tembok melingkar (ambulatories) dalam dan luar di mana di sebelah atasnya prasasti itu terletak (Duncan 1972 : 46).

Sebagai aturan, setelah 691 AD dan semua melalui dinasti Marwanid (sampai 750 AD), nama Muhammad biasanya muncul manakala rumus keagamaan digunakan, seperti pada koin, tonggak, dan papirus "protokol" papyrus (Nevo 1994:110).

Mungkin kita bisa berargumen bahwa bisa saja tanggal-tanggal kemunculan nama Muhammad ini terlambat dikarenakan fakta bahwa gagasan-gagasan agama memang memerlukan waktu untuk bisa dijadikan prasasti Arab. Namun, menurut Nevo, papirus bahasa Arab pertama, seorang entaqion Mesir, yang merupakan tanda terima pajak yang dibayar, tertanggal 642 AD dan ditulis dalam Yunani dan Arab yang dimulai dengan kata "Basmala," namun tidak bercorak Kristen tidak pula bercorak Islam (Nevo 1994:110).

Konten religius dalam prasasti-prasasti batu itu tidak menonjol sampai setelah 661 M. Namun, meskipun mereka membawa-bawa teks-teks relijius, mereka tidak pernah menyebutkan nabi atau formula muslim apapun (Nevo 1994:110). "Ini berarti," menurut Nevo, "bahwa pengakuan agama resmi Arab tidak menyertakan Muhammad atau formula muslim lainnya dalam frasa repertoar mereka saat itu selama 60 tahun penuh dan bahkan lebih setelah kematian Muhammad.” (Nevo 1994:110 ). Apa yang prasasti-prasasti itu indikasikan adalah bahwa ia adalah suatu bentuk kepercayaan monoteis, yang dimiliki oleh suatu literatur sekte dengan konsepsi Yahudi-kristen yang dikembangkan dalam dalam gaya sastra tertentu, tapi tidak berisi fitur spesifik setiap agama monoteisme dikenal (Nevo 1994:110,112).

Signifikansi yang lebih besar lagi, prasasti ini menunjukkan bahwa ketika rumus muslim diperkenalkan, selama periode Marwanid (pasca 684 AD), itu dilakukan "hampir semalam" (Nevo 1994:110). Tiba-tiba a menjadi satu-satunya bentuk deklarasi keagamaan resmi negara, dan digunakan secara eksklusif dalam dokumen formal dan prasasti, seperti "protokol" papirus (Nevo 1994:110).

Namun, bahkan setelah teks-teks muslim menjadi resmi, mereka tidak diterima oleh masyarakat begitu cepat. Selama bertahun-tahun setelah penampilan mereka dalam deklarasi negara, orang-orang terus menyertakan legenda non-muslim di prasasti pribadi, serta tulisan-tulisan arsip umum rutin (Nevo 1994:114). Maka dari itu misalnya Nevo telah menemukan juru tulis tertentu yang tidak menggunakan rumus muslim dalam korespondensi Bahasa Arab dan Yunani, meskipun ia melakukannya di papirus "protokol" dengan membawa nama dan gelarnya (Nevo 1994:114).

Kenyataannya, menurut Nevo, formula muslim baru mulai digunakan dalam inskripsi di batu tulis popular di Negev Tengah sekitar 30 tahun (atau satu generasi) setelah diperkenalkan oleh Abd al-Malik, di suatu masa pada masa pemerintahan Khalifah Hisyam (antara 724 -743). Dan bahkan ini, menurut Nevo, meskipun mereka bercorak muhammadan, namun bukan Muslim. Nevo percaya bahwa teks Islam baru mulai muncul pada awal abad kesembilan (sekitar 822 AD), bertepatan dengan Al Qur’an tertulis pertama, serta catatan Tradisi Islam pertama (Nevo 1994:115).

Akibatnya, tampak dari inskripsi-inskripsi ini bahwa hanya selama dinasti Marwanid (setelah 684 AD), dan tidak selama hidup Muhammad bahwa ia diangkat ke posisi seorang nabi universal, dan bahkan kemudian, rumusan muslim yang diperkenalkan masih tidak setara dengan apa yang kita miliki saat ini.

Untuk diskusi lebih lanjut pada enam klasifikasi atau periode dari inskripsi batu tulis ini, serta isinya, saya akan merekomendasikan artikel Nevo's (halaman 111-112).


Apakah Al-Qur'an Wahyu Ilahi ? Bagian 5 (tamat)

oleh Badra Naya pada 27 Juni 2011 jam 13:21

D7: 'Muslim' and 'Islam'

Sekarang kita sampai pada kata "Muslim" dan "Islam." Kepatuhan Muhammad terhadap garis Ibrahim bisa menjelaskan mengapa tidak ada penyebutan nama Muslim dibuat sampai tahun-tahun terakhir abad ketujuh (Cook 1983:74; Crone-Cook 1977:8). Bahkan pemunculan istilah muslim pertama yang bisa dilacak penanggalannya tidak ditemukan sampai tulisan di dinding Kubah Batu yang kita kenal dibangun pada 691 M, 60 tahun setelah kematian Muhammad (Van Berchem 1927:217; Crone-Cook 1977:8).

Sebelum waktu itu kaum Arab disebut sebagai Magaritai, istilah kita temukan di papirus Yunani 642 M (papyrus ini disebut PERF 564 dan 558 PERF: Grohmann 1957:28 f, 157). Dalam Suraht Syria Uskup Isho'yahb III paling dini tahun 640M mereka disebut Mahgre atau Mahgraye (Duval 1904:97).

Munculnya istilah ini tidaklah unik, melainkan ditemukan sejauh Mesir dan Irak, yang sangat mencolok (Crone-Cook 1977:159). Kata Arab yang parallel dengan Magaritai adalah Muhajirun, yang berarti secara silsilah karena mereka adalah keturunan Abraham dan Hagar, dan secara sejarah, karena mereka adalah kaum yang mengambil bagian dalam hijrah, atau eksodus. Pembahasan awal tentang hijrah (menurut sumber-sumber eksternal) menunjukkan bahwa hijrah ini dilakukan kaum Arab ke wilayah Palestina, bukan ke Medinah.

Athanasius pada tahun 684 M menulis dalam Bahasa Syria menggunakan istilah Maghrayes untuk merujuk pada kaum Arab. Yakub dari Edessa pada tahun 705 M menyebutkan mereka sebagai Hagarin. Doctrina Iacobi merujuk mereka sebagai kaum Saracen (Bonwetsch 1910:88; Cook 1983:75). Dengan demikian, bertentangan dengan apa yang Al Quran katakana dalam Surah 33:35. Tampaknya bahwa istilah ‘Islam‘ tidak digunakan sampai abad ketujuh akhir (Crone-Cook 1977:8). Jadi dari mana nama ini berasal ?

Menurut Crone dan Cook istilah ‘Islam’ (dan istilah lain yang berkaitan dengannya dalam dunia islam) dalam artian "penyerahan diri kepada Allah" dipinjam dari kaum Samaria (Crone-Cook 1977:19-20). Crone dan Cook memaparkan bahwa kata kerja "aslama” memiliki sanak dalam bahasa Ibrani, Aram dan Syria, sedangkan literatur Yahudi ataupun Kristen tak satupun memberikan preseden yang memuaskan untuk penggunaan Islam. Kita menemukan paralel yang tepat untuk Islam di Memar Marqah, teks yang paling penting dari kaum Samaria pada periode pra-Islam (Crone-Cook 1977:19,169; Macdonald 1963:85). Mereka secara konsisten melihat bahwa : reinterpretasi konsep penyerahan diri dapat dilihat sebagai usaha yang disengaja untuk membedakan pengakuan kaum Hagarin dari penganut Yudaisme.

"(Crone-Cook 1977:20).

Meskipun Al Qur'an menggunakan istilah ini (Surah 33:35), jika dibandingkan dengan dokumen-dokumen abad ketujuh yang kita miliki, tampaknya istilah ini tidak diketahui selama kehidupan Muhammad, yang akibatnya menambah keyakinan baha ada lebih banyak kemungkinan evolusi dalam teks-teks Al-Quran.

D8: Qur'an

Jika inskripsi itu berasal dari Al Quran, dengan varian yang mereka kandung, lalu bagaimana bisa Al Qur'an telah dikanonisasi sebelum saat ini (abad ketujuh akhir) ? Kita hanya bisa menyimpulkan bahwa pasti ada suatu evolusi dalam transmisi Al Qur'an selama bertahun-tahun (jika memang inskripsi itu awalnya diambil dari Al Qur'an).

Sumber-sumber juga tampaknya menunjukkan bahwa Al Qur'an dikumpulkan secara tergesa-gesa (seperti yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya, di bagian Kritik Internal Quran). Hal ini digarisbawahi oleh Dr. John Wansbrough yang menyatakan bahwa, "kitab ini benar-benar mencolok kekurangan dalam struktur bahasanya secara keseluruhan, sering tidak jelas dan ngawur baik dari segi kebahasaan maupun isi, asal-asalan dalam menghubungkan idea-idea materi yang berbeda, misalnya pengulangan keseluruhan bacaan dalam versi-versi yang berbeda. Atas dasar ini masuk akal bila dikatakan bahwa Quran adalah produk dari editing yang terkemudian dan tidak sempurna bahan dari tradisi kisah yang beragam" (Crone-Cook 1977:18,167).

Crone dan Cook percaya bahwa karena ketidaksempurnaan pengeditan dan kemunculan Al Qur’an pasti karena kejadian yang mendadak (Crone-Cook 1977:18,167). Referensi paling awal dari luar tradisi Islam untuk kitab yang disebut "Qur'an" terjadi pada pertengahan abad kedelapan antara seorang Arab dan seorang pendeta dari Bet Hale (Nau 1915:6 f), tetapi tidak ada yang tahu apakah itu mungkin berbeda jauh dalam isi dari Al-Qur'an yang kita miliki saat ini. Baik Crone dan Cook menyimpulkan bahwa selain referensi kecil ini tidak ada indikasi adanya Al Qur'an sebelum akhir abad ketujuh (Crone-Cook 1977:18).

Crone dan Cook dalam penelitian mereka tetap mempertahankan bahwa hanya pada saat di bawah gubernur Hajjaj dari Irak pada 705 AD kita memiliki konteks historis logis di mana "Qur'an" (atau badan literature nacsent literatur yang nantinya akan menjadi Qur 'an) pertama kali dikompilasi sebagai kitab suci Muhammad (Crone-Cook 1977:18). Dalam sebuah catatan yang ditujukan pada Leo oleh Levond, gubernur Hajjaj dilaporkan telah mengumpulkan semua tulisan lama kaum Hagarin dan menggantikan mereka dengan tulisan lain "sesuai selera sendiri, dan disebarluaskan di mana saja di antara kaumnya" (Jeffrey 1944:298). Kesimpulan alami adalah bahwa selama periode inilah Qur'an memulai evolusinya, mungkin mulai ditulis, sampai akhirnya dikanonisasi pada pertengahan hingga akhir abad kedelapan sebagai Al Qur'an yang kita kenal saat ini.

Semua temuan ini memberi kita alasan tepat untuk mempertanyakan otoritas sebenarnya dari Al Qur'an yang dipercaya sebagai firman Allah. Bukti arkeologis, serta dokumen dan naskah menunjukkan bahwa banyak dari apa yang Qur'an pertahankan tidak berpadanan dengan data yang kita miliki. Dari bahan-bahan yang dikumpulkan dari sumber eksternal pada abad ketujuh dan kedelapan, kita dapat menyimpulkan:

  1. Hijrah nampaknya paling memungkinkan bukan perjalanan ke Medinah, melainkan ke Palestina.
  2. Bahwa arah kiblat belum ditetapkan menghadap ke Mekkah sampah abad kedelapan, tetapi ke arah jauh ke utara, dan kemungkinan Yerusalem.
  3. bahwa Kaum Yahudi masih berhubungan baik dengan Kaum Arab paling tidak sampai tahun 640 M.
  4. Bahwa Yerusalemlah, bukan Mekkah, yang paling memungkinkah menjadi tempat suci kaum islam, sebab Mekkah belum dikenal sebagai kota yang hidup sampai akhir abad ketujuh. Bahkan Mekkah tidak termasuk dalam jalur perdagangan.
  5. Bahwa Kubah Batu adalah tempat suci pertama.
  6. Bahwa Muhammad tidak dianggap sebagai nabi Allah secara universal sampai akhir abad ketujuh.
  7. Bahwa istilah Muslim / Islam 'tidak digunakan sampai akhir abad ketujuh;
  8. Bahwa lima waktu sehari serta ibadah haji tidak distandarkan sampai tahun 717 M
  9. Bahwa kabar tentang Qur'an yang paling awal kita dengar tidak sampai pertengahan abad kedelapan;
  10. Dan bahwa inskripsi Qur'an paling awal tidak sesuai dengan teks Al Qur'an saat ini.

Semua data ini bertentangan dengan Al Qur'an yang kita miliki, dan menambah kecurigaan bahwa Qur'an yang kita baca sekarang TIDAK sama dengan yang seharusnya dikumpulkan dan dikanonisasi pada tahun 650 M di bawah Khalifah Usman, sebagaimana para muslim berpendapat (jika memang pada waktu itu Qur'an telah ada dalam bentuk yang sekarang ini). Kita hanya bisa berasumsi bahwa pasti ada suatu evolusi dalam teks-teks Al-Qur'an. Akibatnya, satu-satunya hal yang kita dapat katakan dengan pasti adalah bahwa hanya dokumen-dokumen yang kita miliki sekarang (dari 790M seterusnya) adalah identik dengan apa yang berada di tangan kita hari ini, ditulis tidak 16 tahun setelah kematian Muhammad, tetapi 160 tahun kemudian, dan dengan demikian bukan 1400 tahun yang lalu, melainkan 1200 tahun lalu. Konsekuensi dari pernyataan ini memang luar biasa.

E: Bisakah Kita Gunakan Sumber-sumber Non-Muslim?

Sementara ini para sejarawan Islam modern telah berjuang dengan tradisi Muslim, mereka harus memiliki catatan-catatan berbahasa Yunani Armenia, Ibrani, Aram, Syria dan literatur Koptik dari tetangga non-Muslim, beberapa di antaranya di bawah para penakluk Arab (Crone 1980:15). Sebagian besar sumber-sumber ini diedit dan diterjemahkan pada akhir abad lalu (tahun 1800) dan awal abad ini. Namun, mereka dibiarkan berdebu di perpustakaan sejak saat itu. Pertanyaan yang harus kita tanyakan adalah, Mengapa ?

Jawaban yang diberikan umat Islam adalah bahwa sumber-sumber ini bertentangan, dan ini mungkin benar. Namun, mengingat distribusi geografis dan sosial yang luas dari mana mereka berasal, mereka hampir tidak menafaskan sentiment anti-Muslim dengan hasil yang seragam seperti itu (Crone 1980:16). Hal ini terjadi karena ada kesepakatan antara saksi independen dan kontemporer dunia non-muslim yang mana kesaksian mereka harus dipertimbangkan. Dengan cara manapun kita menafsirkan catatan-catatan itu, tidak diragukan lagi bahwa Al Qur'an adalah produk dari sebuah wahyu berevolusi, lebih dari tanggal kanonisasi selama periode Abbasiyah awal menuju pertengahan hingga akhir abad kedelapan, di sekitar wilyah Irak dan Iran saat ini (lihat Crone 1980:3-17).

F: Kesimpulan

Jadi, apa yang dapat kita katakan tentang Al Qur'an? Apakah Qur'an ini wahyu illahi? Muslim berpendapat bahwa kita hanya bisa memahami asal-usul Al Qur'an melalui teropong Tradisi Islam, yang mengatakan bahwa Allah mengungkapkan kebenaran-Nya melalui Al Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad. Kita, bagaimanapun, menyangka otentisitas klaim ini sebagai sumber-sumber primer hasil tradisi yang terkemudian sama sekali tidak ada sebelum abad kedelapan. Bahkan sumber-sumber muslim yang kita miliki berasal dari tanggal yang relatif terkemudian, disusun antara 200-300 tahun setelah kejadian, dan tergantung pada tradisi lisan yang diwariskan oleh pendongeng yang tidak hanya narasinya tidak dapat dibenarkan, namun juga tiba-tiba muncul dan berkembang biak terhadap akhir abad kedelapan.

Wansbrough berpendapat bahwa Al Qur'an disusun bahkan lebih terkemudian dari cerita-cerita tradisi, dan digunakan sebagai stempel otoritatif untuk mengotentikasi keyakinan kemudian dan hukum yang dibuat kemudia oleh mereka yang bertanggung jawab dalam kanonisai tradisi Islam. Jika ini benar, maka orang akan bertanya-tanya apakah Muhammad bahkan akan mengakui Al Qur'an yang kita miliki saat ini ?

Meskipun demikian, Al Qur’an sendiri telah disarankan sebagai sumber bagi Islam, dan memiliki kewenangan yang terbaik. Namun terlalu lemah didera banyak masalah seperti yang dituliskan di atas. Ketika kita membuka Al Qur'an dan membacanya kita diperhadapkan langsung dengan banyak kesulitan sastra dan tata bahasa yang menunjukkan kelemahan tersendiri bagi sebuah dokumen yang diaku-aku sebagai firman yang terakhir dan sempurna dari Allah. Kita disajikan dengan kisah-kisah biblikal palsu yang paralel dikenal di abad kedua sebagai dokumen Talmud dan Kristen yang kebenarannya diragukan.

Dan sementara kita bertanya-tanya bagaimana dokumen yang sangat manusiawi ini, penuh dengan kekurangan dan keterbatasan, dijadikan sebagai Kitab Suci non-manusia yang diakui sempurna, kita diperkenalkan kepada kejanggalan ilmiah yang juga ditemukan dalam halaman-halamannya. Kesulitan-kesulitan ini memang memperlihatkan jauhnya kemungkinan dari kepengarangan ilahi dan menunjuk pada penjelasan yang lebih masuk akal, bahwa Al-Qur'an hanyalah kumpulan sumber – sumber berbeda yang dipinjam dari potongan-potongan sastra, cerita rakyat, dan tradisi lisan yang hadir selama abad ketujuh dan kedelapan, dan sengaja dicangkokkan oleh para pengumpul yang diduga berasal dari periode Abbasiyah.

Sumber-sumber non-muslim yang kita miliki dari berbagai komunitas yang mengitari dunia islam juga menguatkan bukti atas. Banyak dari apa yang kita temukan dalam sumber-sumber eksternal abad ketujuh dan kedelapan bertentangan dengan apa yang dikatakan dalam tradisi muslim dan Al Qur'an. Dan hal ini menyebabkan kita mencurigai otentisitasnya yang dianggap dibentuk di kemudian hari.

Pada akhirnya apa yang tersisa dan disodorkan pada kita semakin sedikit. Sumber-sumber muslim patut dipertanyakan. Sedangkan sumber-sumber non-muslim meneguhkan fakta betapa kurangnya bukti nyata keakuratan Al-Qur'an. Memang ada banyak bahan yang melemahkan klaim muslim selama ini yang para apologis muslim harus pikirkan. Namun saya memiliki sedikit pelipur lara bahwa di waktu-waktu kemudian ketika saya melihat seorang Muslim memegang Al Qur'an tinggi-tinggi dan mengklaimnya sebagai cetak biru Allah bagi umat manusia, saya hanya ingin bertanya padanya satu saja pertanyaan sederhana, seperti yang para sejarawan tanyakan selama ini, "Apa bukti-bukti yang bisa menguatkan klaim kalian ?"

G: References Cited

Abd al-Razzaq b. Hammam al-San'ani, al-Musannaf, (ed. H.R.al-A'zami), II vols., Beirut, 1970-1972

Abu Dawud Sulayman b. al-Ash'ath al-Sijistani, Sahih sunan al-mustafa, Cairo, 1348

Abu Nu'aym Ahmad b. Abdallah al-Isbahani, Dala'il al-nubuwwa, Hyderabad, 1950

Ahmad b. Muhammad ibn Hanbal, al-Musnad, vol. v, Cairo, 1313

A.K.C. (ed.), The New Encyclopaedia Britannica, 15th ed., Vol.22, Chicago, 1993

al-Baladhuri, Ahmad b. Yahua, Kitab futuh al-buldan, ed. M.J.de Goeje, Leyden, 1866

Bonwetsch, N. (ed.), "Doctrina Iacobi nuper baptizati," in Abhandlungen der Koniglichen Gesellschaft der Wissenschaften zu Gottingen, Philologisch-historische Klasse, N.s., vol. xii, Berlin, 1910

Brock, S.P., "Syriac Views of Emergent Islam," Studies on the First Century of Islamic Society, edited by G.H.A. Juynboll, Carbondale, So.Ill.Univ.Press, 1982

Bulliet, R.W., The Camel and the Wheel, Cambridge, Mass., 1975

Calder, Norman, Studies in Early Muslim Jurisprudence, 1993

Campbell, W.F., The Quran and the Bible in the light of History and Science, Middle East Resources, (French edition: France, Farel Editions), 1989 (ISBN:1-881085- 00-7 & 2-86314-077-9)

Carlier, P., 'Qastal al-Balqa: An Umayyad Site in Jordan' in M. A. Bahit and R. Schick (eds.), The Fourth International Conference on the History of Bilad al-Sam during the Umayyad Period, volume ii, Amman, 1989

Chabot, J.B. (ed. & tr.), Chronique de Michel le Syrien, Paris 1899-1910, vol.iv, p.405 & vol.ii, pp.403ff

Cook, Michael, Muhammad, Oxford, Oxford University Press, 1983

Creswell, K.A.C., Early Muslim Architecture, vol.i, part one, Oxford, 1969

id. A Short Account of Early Muslim Architecture, (Revised by James W. Allan), Aldershot, Scolar Press, 1989

Crone, Patricia & Cook, Michael, Hagarism, Cambridge, Cambridge University Press, 1977

Crone, Patricia, Slaves on Horses, Cambridge, Cambridge University Press, 1980

id, "The First Century Concept of Higra", Arabica, tome XLI, E. J. Brill, Leiden, 1994.

id, Meccan Trade and the Rise of Islam, Princeton University Press, 1987

Dashti, Ali, 23 Years, A Study of the Prophetic Career of Mohammad, London, George Allen & Unwin, 1985

De Goeje, M. & P.de Jong (eds.), Fragmenta Historicorum Arabicorum, vol.i, Leyden, 1869

Duncan, Alistair, Noble Sanctuary, London, Longman Group, 1972

Duval R. (tr.), Iso'yahb III,' Liber Epistularum, CSCO, Scriptores Syri, second series, vol.lxiv, Paris, 1904

Fehervari, G., Development of the Mihrab down to the XIVth Century, London Ph.D. 1961

Feinburg, C.L., The New Bible Dictionary (2nd ed.), Leicester, Inter-Varsity Press, 1993

Finster, B., 'Zu der Neuauflage von K. A. C. Creswell's Early Muslim Architecture', Kunst des Orients, IX, 1973-4.

Gilchrist, John, Jam' Al Quran, Jesus to the Muslims, 1989

Glasse, Cyril, The Concise Encyclopaedia of Islam, London, Stacey International, 1991

Glubb, John, The Life and Times of Muhammad, New York, Stein and Day, 1971

Gottingen, F. Wustenfeld (ed.), Muhammad Ishaq,' Sirah sayyidina Muhammad rasuli 'llah, 1859

Grohmann, A., Greek Papyri of the Early Islamic Period in the collection of Archduke Rainer,' Etudes de papyrologie, 1957

id, The Problem of dating early Qur'ans,' Der Islam, 1958

id, Arabic Papyri from Hirbet el-Mird, Louvain, 1963

Groom, N., Frankincense and Myrrh, a Study of the Arabian Incense Trade, London, 1981

Guidi, I. et al. (ed. & tr.), Chronica Minora, CSCO, Scriptores Syri, third series, vol.iv, Louvain, 1803-1907

Guillaume, A. (tr.), The Life of Muhammad, London, 1955

Humphreys, R.S., Islamic History, a framework for Enquiry, Princeton, 1991

Ibn Hisham, Abd al-Malik, Das Leben Muhammed's nach Muhammed Ibn Ishak, (ed. By F.Wustenfeld),2 vols., Gottingen, 1858-1860

Ibn Sa'd, Muhammad, Al-Tabaqat al-kubra, 8vols., Beirut, 1957-1960

Jeffrey, A. (tr.), 'Ghevond's (Levond's) text of the Correspondence between 'Umar II and Leo III', The Harvard Theological Review, 1944

Kennedy, Hugh, The Prophet and the Age of the Caliphates, 6th-11th centuries, London, Longman, 1986

Kister, M.J., Mecca and Tamim, Journal of theEconomic and Social History of the Orient, 8 (1965), 117-163

Kitchen, K.A., "Canaan," The New Bible Dictionary (2nd Ed.), Leicester, Inter-Varsity Press, 1993

Levi Della Vida, G., "Sira," Encyclopedia of Islam, 1st ed., Vol.4, Leyden, E.J. Brill, 1934

Lings, M., & Safadi, Y.H., The Qur'an, (A catalogue of an exhibition of Qur'an manuscripts at theBritish Library, 3 April-15 August 1976), British Library, World of Islam Publ. Co., 1976

Macdonald, J. (ed. & tr.), Memar Marqah, Berlin, 1963

al-Maqrizi, Ahmad b. 'Ali, Kitab al-mawa'iz wa'l-i'tibar, Cairo, 1326

McClintock, John, & Strong, James, Cyclopedia of Biblical, Theological, and Ecclesiastical Literature, Grand Rapids, Baker, 1981

McDowell, Josh, Evidence That Demands a Verditct, Vols.I & II, Amersham-on-the-Hill, Scripture Press, 1990

id, Christianity, A Ready Defense, Amersham-on-the-Hill, Scripture Press, 1991

Mommsen, T. (ed.), Chronica Minora, vol.ii, Berlin, 1894

Morey, Robert, Islamic Invasion, Eugene, Oregon, Harvest House Publishers, 1992

Muhammad b. Ahmad al-Dhahabi, Tarikh al-islam, vol.ii, Cairo, 1367-9

Muir, William, The Apology of al-Kindi, written at the Court of al-Mamun (830 A.D.) in Defence of Christianity against Islam, London, Smith, elder & Co., 1882

Muller,W.W., "Weibrauch...," off-print: Pauly-Wissowa, Realencyclopadie, Supplement and 15, Munich, 1978

Munajjid, S. (ed.), 'Ali b. Hasan ibn 'Asakir, Ta'rikh madinat Dimashq, vol. i, Damascus, 1951

Nau, F., 'Un colloque du Patriarche Jean avec l'emir des Agareens,' Journal asiatique, 1915

Neuman and Eckelmann, Genesis One and the Origin of the Earth, Downers Grove, Ill., Intervarsity Press, 1977

Nevo, Yehuda D., "Towards a Prehistory of Islam," Jerusalem Studies in Arabic and Islam, vol.17, Hebrew University of Jerusalem, 1994

Noldeke, T., 'Die von Guidi herausgegebene syrische Chronik,' Sitzungsberichte der philologisch-historischen Classe der Kaiserlichen Akademie der Wissenschaften, vol. cxxviii,Vienna, 1893

Patkanean K.R. (ed.), Patmout'iun Sebeosi Episkoposi i Herakln, St. Petersburg, 1879

Pearson, J.D., "Al-Kur'an," Encyclopedia of Islam, Vol.V, Leiden, E.J.Brill, 1986

Pfander, C.G., The Mizanu'l Haqq ( Balance of Truth'), London, The Religious Tract Society, 1835

Rahman, Fazlur, Islam (2nd ed.), Chicago, Univ. of Chicago, 1979

Reinach, Salomon, Orpheus: A History of Religion, New York, Liveright, Inc. 1932

Rippin, Andrew, "Literary Analysis of Qur'an, Tafsir, and Sira, the Methodologies of John Wansbrough", Approaches to Islam in Religious Studies, Richard C. Martin (ed.), Tucson, University of Arizona Press, 1985

id, Muslims, Their Religious Beliefs and Practices, vol. 1, London, Routledge, 1990

Schacht, Joseph, "A Revaluation of Islamic Traditions," Journal of the Royal Asiatic Society of Great Britain, Hertford, Stephen Austin, 1949

Scher, A. (ed. & tr.), Histoire Nestorienne, part two, in Patrologia Orientalis, vol.xiii, 1906

Schimmel, Annemarie, Calligraphy and Islamic Culture, New York, New York University Press, 1984

Sebeos, Bishop, Histoire d'Heraclius, tr. F. Macler, Paris, 1904

Shorrosh, Anis A., Islam Revealed, A Christian Arab's View of Islam, Nashville, Thomas Nelson Publishers, 1988

Sprenger, A., Das Leben und die Lehre des Mohammad, 2nd ed., Vol. 3, Berlin, 1869

Thompson, Thomas L., The Historicity of the Patriarchal Narratives: the Quest for the Historical

Abraham, Berlin, Walter de Gruyter, 1974

Tisdall, St. Clair, The Sources of Islam, New Delhi, Amarko Book Agency, 1904

Van Berchem, M., Materiaux pour un Corpus Inscriptionum Arabicarum, part two, vol.ii, Cairo, 1927

Vanderkam, James C., The Dead Sea Scroll Today, Grand Rapids, Michigan, William B. Eerdmans Publishing Company, 1994.

Van Ess, J., Fruhe Mu'tazilitische Haresiographie, Beirut, 1971

Vilmar, E. (ed.), Abulfathi Annales Samaritani, Gotha, 1865

Wansbrough, J., Quranic Studies: Sources and Methods of Scriptural Interpretation, Oxford, Oxford University Press, 1977

id, The Sectarian Milieu: Content and Composition of Islamic Salvation History, Oxford, Oxford University Press, 1978

Welch, Alford T., "Muhammad," The Encyclopedia of Islam, vol.VI, E.J.Brill, pp. 360-387, 1991

Wright, W., Catalogue of Syriac Manuscripts in the British Museum, London, 1870

The Caliphs:

632-661 .......... Abu Bakr, Umar 1, Uthman, Ali

(Sufyanid Period)

661-680 .......... Mu'awiyah I

680-683 .......... Yazid I

683-684 .......... Mu'awiyah II

(Marwanid Period)

684-685 .......... Marwan I

685-705 .......... 'Abd al-Malik

705-715 .......... al-Walid

715-717 .......... Suleyman

717-720 .......... Umar II

720-743 .......... Hisham

744-750 .......... Marwan II

(Periode Abbasid)


QURAN DIAMBIL DARI LEKSIONER KRISTEN ARAM - SIRIAH

oleh Badra Naya pada 29 Juni 2011 jam 15:51

Diterjemahkan dari : http://www.ask.com/wiki/Christoph_Luxenberg?qsrc=3044

Christoph Luxenberg adalah nama samaran penulis The Syro-Aramaic Reading of the Koran: A Contribution to the Decoding of the Language of the Qur'an (edisi Bahasa Jerman tahun 2000, terjemahan Inggris 2007) [1] dan beberapa artikel di antologi tentang Periode Awal Islam.

Luxenberg menarik minat publik setelah tahun 2000, setelah mempublikasikan buku pertama (atau setidaknya yang pertama di bawah nama samaran ini), The Syro-Aramaic Reading of the Koran, yang menegaskan bahwa bahasa asal dari komposisi awal Al Qur'an bukanlah bahasa Arab secara eksklusif , seperti yang diasumsikan oleh para komentator klasik, melainkan berakar dari Aram Syriah, bahasa dialek yang digunakan suku Quraish Mekkah di abad ketujuh, yang terkait dalam sejarah awal dengan pendiri agama Islam. Premis Luxenberg adalah bahwa bahasa Aram, yang lazim di seluruh Timur Tengah selama periode awal Islam, dan bahasa budaya dan liturgi Kristen, memiliki pengaruh besar pada komposisi kitab suci dan makna dari isi Quran. [2]

Ringkasan Riset

Luxenberg menyatakan bahwa Al Qur'an mengandung banyak ambiguitas, dan bahkan bahasa yang tak terjelaskan. Dia menegaskan bahwa bahkan sarjana Muslim menemukan beberapa bagian yang sulit untuk diuraikan dan telah bertumpuk-tumpuk buku komentar Quran karya sarjana Islam yang mencoba untuk menjelaskan bagian-bagian ini. Namun sering kali para sarjana islam ini dengan enteng menganggap bahwa bacaan-bacaan sukar ini benar dan berarti, dan mudah diuraikan dengan metoda tafsir Tradisional Muslim. Luxenberg menuduh bahwa para sarjana akademis Barat yang menelaah Al-Qur'an telah mengambil pendekatan terlalu penakut dan imitatif, terlalu mengandalkan pada karya cendekiawan Muslim yang sudah bias.

Luxenberg berpendapat bahwa para cendekiawan harus memulai dari awal, mengabaikan komentar Tradisi Islam, dan hanya menggunakan metode terbaru dalam linguistik dan sejarah. Dia berpendapat bahwa Muhammad mengkhotbahkan konsep-konsep yang baru banyak dari para pendengarnya Arabnya, yaitu konsep-konsep yang Muhammad pelajari dari percakapan dengan orang-orang Yahudi dan Kristen Arab, atau dari Kristen Suriah (di mana ia diyakini telah melakukan perjalanan ke sana). Oleh karena itu, jika sebuah kata atau frase tertentu dalam Quran tidak jelas artinya dalam bahasa Arab, atau dapat diberi makna hanya dengan pemaksaan arti, maka masuk akal jika kita melihat ke bahasa Aram dan Syria untuk menemukan arti yang paling mendekati dari kata atau frase tersebut.

Sementara komentar Islam tradisional umumnya membatasi diri dengan sejarah dan arti kata dalam bahasa Arab, Luxenberg mengusulkan untuk memperluas jumlah bahasa untuk dikonsultasikan.

Luxenberg juga berpendapat bahwa Al-Qur'an didasarkan pada teks-teks sebelumnya, yang disebut leksioner digunakan dalam gereja-gereja Kristen Suriah, dan bahwa itu adalah karya beberapa generasi yang diadaptasi ke dalam teks-teks Al-Qur'an yang kita kenal sekarang.

Menurut tradisi Islam, Quran berasal dari abad ke-7, sedangkan contoh pertama literatur Arab, dengan ungkapan yang sepenuhnya bersifat Arab, baru ditemukan dua abad kemudian, pada saat Sirat Nabi, yaitu Biografi Kehidupan Muhammad, sebagaimana yang ditulis oleh Ibn Hisyam, yang meninggal pada 828. Dengan demikian kita dapat menetapkan bahwa literatur Arab pasca-Qur'an dikembangkan secara bertahap pada periode setelah karya al-Khalil bin Ahmad, pendiri leksikografi Arab yang meninggal pada tahun 786, (Kitab al-ain), dan Sibawayh, yang meninggal di 796, kepada siapa tata Bahasa Arab klasik berhutang budi.

Sekarang, jika kita berasumsi bahwa komposisi Qur'an berakhir pada tahun wafatnya Muhammad, 632 M, maka kita menemukan selang waktu 150 tahun, dimana tidak ada jejak literatur Arab tercatat [3].

Pada saat itu, tidak ada sekolah Arab, kecuali, mungkin, untuk pusat Kristen Al-Anbar dan al-Hira, di selatan Mesopotamia, atau apa yang sekarang Irak. Orang Arab daerah itu telah dikristenkan dan diperintah oleh orang-orang Kristen Suriah. Bahasa liturgi mereka Siro-Aramik. Dan ini adalah wahana budaya mereka, dan pada umumnya dipakai sebagai bahasa komunikasi tertulis. [3]

Mulai abad ketiga, orang-orang Kristen Syria tidak membatasi diri membawa misi Kristen mereka ke wilayah-wilayah terdekat, seperti Armenia atau Persia. Mereka menekan sampai ke wilayah terjauh, sampai ke perbatasan Cina dan pantai barat India, di samping seluruh semenanjung Arab sampai ke Yaman dan Ethiopia. Dengan demikian lebih memungkin bahwa, dalam rangka untuk memberitakan pesan Kristiani kepada orang-orang Arab, mereka menggunakan, antara lain, bahasa dari suku Badui, atau Arab. Dalam rangka untuk menyebarkan Injil, mereka harus membuat penggunaan bahasa campuran. Namun dalam era di mana bahasa Arab hanya sebuah kumpulan dialek dan tidak memiliki bentuk tertulis, para misionaris tidak punya pilihan lain kecuali menggunakan bahasa sastra dan budaya mereka sendiri, yaitu, untuk Siro-Aram. Hasilnya adalah bahwa bahasa Quran lahir sebagai bahasa Arab tertulis, tetapi juga memiliki akar bahasa dari Arab-Aram [3].

Nama Samaran

Christoph Luxenberg adalah nama samaran, yang mungkin diambil dari nama Georg Christoph Lichtenberg, seorang pendobrak mitos,[4] sejbab kata ‘lux’ (Latin) diterjemahkan sebagai Licht (Jerman) [4]. Luxenberg sendiri mengklaim telah memilih nama samaran "atas nasihat teman-teman Arab, yang akrab dengan tesis saya," [4] untuk melindungi diri terhadap dampak kekerasan yang mungkin terjadi [5].

Identitas sebenarnya dari orang di belakang nama samaran tetap tidak diketahui. Versi yang paling banyak beredar [4] [6] [7] menyatakan bahwa ia adalah seorang sarjana Jerman bahasa Semit. Di blog internet [8] dan di tempat lain, [9] Namun, ia dituduh secara beragam, mulai dari seorang Lebanon, tidak tahu bahasa Arab, bukan sarjana, bahkan pula misionaris Kristen. [rujukan]

Respons

Richard Kroes menggambarkan buku Luxenberg di sebuah artikel sebagai "hampir tidak terbaca, tentunya bagi orang awam. Seseorang perlu memahami pengetahuan delapan bahasa (Jerman, Inggris, Perancis, Latin, Yunani, Ibrani, Arab dan Siria) dan lima alphabet berbeda (Latin, Yunani, Ibrani, Arab, Estrangelo) untuk memahami buku ini sepenuhnya. Sebuah pengetahuan yang baik dari Jerman, Arab dan Syriac sangat diperlukan untuk dapat menilai buku ini. Masalah utama Luxenberg adalah bahwa garis penalaran tidak mengikuti metode yang sederhana dan ketat seperti yang ia tetapkan di awal bukunya." [10]

Sebagai kesimpulan dari komentar tentang buku ini, ia nyatakan sebagai" tentu tidak semuanya tulisan Luxenberg omong kosong atau terlalu dibuat-buat, tetapi cukup beberapa teori-teorinya diragukan dan terlalu banyak termotivasi oleh agenda apologetik Kristen Bahkan kritikus terbesar mengakui bahwa Luxenber telah menyentuh bidang penelitian yang belum tersentuh secara dalam oleh orang lain sebelumnya, dan karyanya pantas diberi perhatian lebih. Namun, ini perlu dilakukan dengan pendekatan ilmiah yang ketat Bahkan,. penyelidikan harus dilakukan lagi, dengan mempertimbangkan semua pekerjaan ilmiah yang tampaknya Luxenberg tidak tahu.” [10]

Sebuah artikel New York Times edisi Maret 2002 menjelaskan penelitian Luxenberg itu:

Luxenberg, seorang sarjana bahasa Semit kuno, berpendapat bahwa Quran telah salah dibaca dan diterjemahkan selama berabad-abad. Karyanya, berdasarkan salinan paling awal dari Quran, menyatakan bahwa bagian dari kitab suci Islam berasal dari teks-teks Kristen berbahasa Aram yang ada sebelum Islam, dan disalahartikan oleh para sarjana Islam di kemudian hari yang menyiapkan edisi Quran yang ada saat ini. Jadi, misalnya, para bidadari yang konon menunggu syuhada Islam yang saleh sebagai hadiah mereka di surga, sebenarnya hanya berarti "kismis putih" - sejelas kristal – bukannya gadis perawan berdada montok. Bagian yang terkenal tentang perawan didasarkan pada kata “hur”, yang merupakan kata sifat dalam arti jamak feminin hanya "putih." Tradisi Islam menegaskan ‘huur’ istilah singkatan dari ‘houri’ yang berarti "perawan," tapi Luxenberg bersikeras bahwa ini adalah pembacaan teks yang dipaksakan. Baik dalam bahasa Aram kuno maupun kamus Bahasa Arab Awal yang dipercayai akurasinya, “hur” berarti "kismis putih " [11]

Pada tahun 2002 surat kabar The Guardian menerbitkan sebuah artikel yang menyatakan:

Luxenberg berusaha menunjukkan bahwa banyak ketidakjelasan Qur'an akan sirna apabila kita membaca kata-kata tertentu dalam makna bahasa Syria dan bukan Arab. Kita tidak bisa masuk ke rincian teknis metodologi, tetapi temuan Luxenberg, bisa jadi kengerian bagi para laki-laki muslim yang memimpikan kebahagiaan seksual di akhirat nanti, yaitu untuk berasyik-masyuk dengan para bidadari bermata lebar seperti yang dijanjikan kepada para lelaki saleh dalam :

QS 44: 54:

“Dan Kami berikan kepada mereka bidadari.”

QS 52:19, 20,

(Dikatakan kepada mereka): "Makan dan minumlah dengan enak sebagai balasan dari apa yang telah kamu kerjakan. “ Mereka bertelekan di atas dipan-dipan berderetan dan Kami kawinkan mereka dengan bidadari-bidadari yang cantik bermata jeli.

QS 55: 72,

(Bidadari-bidadari) yang jelita, putih bersih, dipingit dalam rumah.

dan

QS 56: 22,23,24:

Dan ada bidadari-bidadari bermata jeli,

laksana mutiara yang tersimpan baik.

Sebagai balasan bagi apa yang telah mereka kerjakan.

Analisa terbaru dari Luxenberg bersandar pada Himne Efrem seorang Suriah "kismis putih" hasil dari "hidup suci" daripada perawat bermata jeli yang selalu bersedia menawarkan hasrat seksual anda. Luxenberg menyatakan bahwa konteks membuatnya jelas bahwa adalah makanan dan minuman, dan bukan gadis-gadis atau bidadari berdada montok yang ditawarkan di sana [12].

Pada tahun 2003 pemerintah Pakistan melarang majalah Newsweek Internasional terbitan 2003 yang membahas tesis Luxenberg dengan alasan bahwa itu menyinggung Islam. [13]

Sumber-sumber Muslim telah menuduh Luxenberg berpartisipasi dalam sebuah "serangan diskursif tentang Islam," [14] tapi ia juga telah disebut sebagai orang yang memampukan adanya dialog antar agama; [4] seorang "penggemar"; [8] dan penulis " buku tentang Quran yang paling penting [15].

1. The Virgins and the Grapes: the Christian Origins of the Koran

2. Giving the Koran a history: Holy Book under scrutiny / Critical readings of the Muslim scripture offer alternative interpretations of well-known passages, Lebanon Daily Star (July 12, 2003): "Luxenberg asserts that Koranic Arabic is not Arabic at all, at least not in the sense assumed by the classical commentators. It is written, rather, in the dialect of the Prophet's tribe, the Meccan Quraysh, and heavily influenced by Aramaic. Luxenberg's premise is that the Aramaic language—the lingua franca of the Prophet Mohammed, the language of culture and Christian liturgy—had a profound influence on the Koran. Extensive borrowing was necessary simply because at the time of the Prophet, Arabic was not yet sophisticated enough for scriptural composition."

3. 3.0 3.1 3.2 ,The Virgins and the Grapes: the Christian Origins of the Koran

4. 4.0 4.1 4.2 4.3 4.4 "Keine Huris im Paradies". Die Zeit. 2003-05-15. http://www.zeit.de/2003/21/Koran?page=all. (German)

5. "Low profile for German Koran challenger". Reuters. 2004-11-11. http://www.tiscali.co.uk/cgi-bin/news/newswire.cgi/news/reuters/2004/11/11/world/lowprofileforgermankoranchallenger.html&template=/news/templates/newswire/news_story_reuters.html.

6. "Radical New Views of Islam and the Origins of the Koran". New York Times (mirrored at rim.org [1]). 2002-02-02. http://www.nytimes.com/2002/03/02/arts/02ISLA.html?ex=1016124921&ei=1&en=18c2f5f1d443caef. [dead link]

7. "The Koran As Philological Quarry". Goethe Institute. http://www.goethe.de/mmo/priv/1224381-STANDARD.pdf.

8. 8.0 8.1 Richard Kroes. "Missionary, dilettante or visionary?". Livius - Articles on Ancient History. http://www.livius.org/opinion/Luxenberg.htm.

9. François de Blois. "Review of "Die syro-aramäische Lesart..."". Journal of Qur'anic Studies, Vol. V, Issue 1, 2003, pp. 92-97 (mirrored at Aismika Allahuma - Muslim responses to Anti-Islam-Polemics). http://www.bismikaallahuma.org/archives/2005/review-of-christoph-luxenberg-die-syro-aramaische-lesart-des-koran-ein-beitrag-zur-entschlusselung-der-koransprache/.

10. 10.0 10.1 [2]

11. Historians argue Koran has been mistranslated

12. Virgins? What virgins?

13. CBS News What Does The Quran Really Say?

14. Abid Ullah Jan (2003-07-01). "Newsweek is spreading hatred". ICSSA. http://icssa.org/article_detail_parse.php?a_id=284&rel=&pg=&m_link=0&slink=6&m_id=10.

15..Warraq, Ibn (2002-01-12). "Virgins? What virgins?". London: The Guardian. http://www.guardian.co.uk/saturday_review/story/0,,631332,00.html.


NASKAH QURAN KUNO SANA’A DAN RUNTUHNYA KLAIM KEILAHIAN QURAN

oleh Badra Naya pada 01 Juli 2011 jam 23:21

oleh : Sujit Das

" Penghormatan yang tulus terhadap iman para pengikut agama tidak berarti kita mengijinkan segala penyelidikan dari sejarahwan harus diblokir, dihentikan atau dibelokkan ... Kita harus membela hak-hak dasar metodologi sejarah". Maxime Rodhinson, 1981; hal 57

Sumber Foto: Wikipedia, 2009. Foto dari Gerd R Puin, salah satu perkamen Sana’a yang menunjukkan revisi, penghapusan dan penimpahan berlapis untuk Al-Qur'an yang mengakibatkan perbedaan pembacaan yang signifikan dalam arti dan makna.

Muslim sering mengatakan bahwa baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru telah mengalami perubahan yang serius. Mereka mengatakan bahwa agar Kitab Suci tetap otoritatif, kitab itu harus dipertahankan tanpa perubahan sama sekali, dan menunjukan bahwa Al Qur'an, dengan klaim bahwa Allah telah mengungkapkan kata demi kata dan huruf demi huruf kepada Muhammad. Quran mengklaim, “Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”(QS 10:64) dan, “Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-kalimat (janji-janji) Allah” ( QS 6:34).

Tapi kemudian sejarah Quran memperlihatkan sisi konyolnya dengan doktrin abrogasi atau pembatalan, dimana Allah membatalkan wahyu yang sebelumnya, seperti dalam QS (2:106) yang menegaskan, 'wahyu ... Kami batalkan atau menyebabkan untuk dilupakan'. Juga, sebuah hadis dari Sahih Bukhari (6:558) membenarkan bahwa Muhammad lupa banyak ayat. Sekali lagi Sunaan ibn Majah, (3: 1944) mencatat bahwa setelah kematian Muhammad beberapa wahyu dimakan oleh seekor kambing. Bagaimana kata-kata ilahi dapat dimakan, diubah, dibatalkan atau dihapuskan, meskipun konon ada klaim khusus Allah di QS 10:64 & 6:34? Kalau begitu Allah telah kalah dengan kambing dan sifat lupa manusia !

Tidakkah semua klaim Allah ini mengandung kontradiksi dalam dirinya sendiri? Tapi luar biasa; fakta yang meluluh-lantakkan ini sama sekali tidak mengganggu Muslim sama sekali. Mungkin, jika kita dapat menghadirkan Quran lain yang "otentik" yang berbeda dari bentuk standar yang ada, Muslim akan mulai berpikir logis.

Fakta kebenaran yang meluluhlantakkan itu adalah ditemukannya sejumlah besar naskah Quran kuno dari abad pertama Hijrah, yang ditemukan di Masjid Agung Sana'a (Yaman) yang secara signifikan berbeda dari Quran Standar saat ini. Sistem Penanggalan Karbon menegaskan bahwa naskah Qur'an ini bukan hasil pemaksaan otoritas-otoritas agama yang saling bersaing saat itu, yaitu Kilafah Usman dkk. Apalagi naskah Qur'an ini ditemukan oleh para pekerja bangunan yang beragama Islam. Jadi tidak perlu ada kecurigaan bahwa ini adalah suatu konspirasi dll.

Mungkin ini adalah peristiwa paling memalukan dalam sejarah Islam dalam 14 abad ini.

Masjid Agung Sana'a adalah salah satu Mesjid tertua dalam sejarah Islam. Tanggal pembangunannya bisa dilacak sampai ke tahun 6 Hijrah ketika, menurut Tradisi Muslim, salah seorang Sahabat Muhammad dipercayakan untuk membangun Masjid di Yaman, yang kemudian diperpanjang dan diperbesar oleh penguasa Islam dari waktu ke waktu.

Pada tahun 1972, selama restorasi ini Masjid Agung (hujan deras menyebabkan dinding barat Masjid runtuh), buruh yang bekerja di ruang mahkota antara struktur atap dalam dan luar, terantuk ke sebuah gundukan seperti kuburan. Karena ketidaktahuan, selama ini mereka tidak menyadari. Masjid biasanya tidak mengakomodasi kuburan, dan situs ini tidak mengandung batu nisan, tidak ada sisa-sisa manusia dan tidak ada peninggalan pemakaman. Ternyata isinya tidak lebih dari segunung perkamen dan kertas-kertas tua tidak menarik, buku-buku rusak dan halaman-halaman lepas teks-teks bahasa Arab, menyatu bersama-sama oleh hujan dan kelembaban selama lebih dari seribu tahun.

Sumber Foto: Dreibholz, 1999, hal 23. Beberapa fragmen perkamen Al-Qur'an dalam kondisi di mana mereka ditemukan.

Para buruh yang tidak mengerti kemudian mengumpulkan naskah-naskah itu dan mem-press-kannya dengan ceroboh ke dalam 20 karung kentang, dan meletakkannya ke sebelah tangga di salah satu menara Masjid. Manuskrip itu tadinya akan sama sekali terlupakan kalau bukan Qadhi Isma'il al-Akwa, yang nantinya menjadi Presiden Yaman Antiquities Authority, menyadari pentingnya naskah-naskah tersebut. Al-Akwa kemudian mencari bantuan internasional untuk memeriksa dan melestarikan fragmen-fragmen tersebut, karena tidak ada sarjana di negaranya mampu mengolah data pada temuan besar ini. Pada tahun 1977, ia berhasil menarik seorang sarjana non-Muslim mengunjungi Jerman, yang pada gilirannya membujuk pemerintah Jerman untuk mengatur dan menemukan sebuah proyek restorasi.

Segera setelah proyek dimulai, menjadi jelaslah bahwa "kuburan kertas" tersebut adalah adalah tempat peristirahatan bagi, antara lain, puluhan ribu fragmen dari hampir seribu naskah kuno yang berbeda dari Al Qur'an, kitab suci umat Islam. Otoritas Muslim selama hari-hari awal menghargai keyakinan bahwa salinan aus dan rusak Alquran harus dihapus dari peredaran hanya menyisakan edisi yang tak bercacat dari kitab suci untuk digunakan. Juga tempat yang aman seperti itu dibutuhkan untuk melindungi buku dari penjarahan atau kerusakan jika penyerbu datang. Dari sinilah ide dari kuburan di Masjid Agung di Sana'a, yang merupakan tempat belajar dan penyebaran Alquran yang berasal dari abad pertama Hijriah tersebut.

Restorasi naskah diorganisir dan disupervisi oleh Gerd R. Puin dari Saarland University, Jerman. Puin adalah spesialis kaligrafi Arab dan paleografi Alquran yang sangat terkenal (studi tentang tulisan kuno dan dokumen). Selama sepuluh tahun ia secara ekstensif memeriksa fragmen-fragmen perkamen berharga tersebut. Pada tahun 1985, rekannya HC Graf V. Bothmer bergabung dengannya.

Untuk usia bahasa perkamennya sendiri, pengujian Karbon-14 menanggalkan usia perkamen tesebut antara tahun 645 sampai 690 M. Namun usia sebenarnya mungkin agak lebih muda dari itu (di atas tahun 690), sebab C-14 memperkirakan tahun kematian dari suatu organisme (perkamen adalah kulit binatang), dan tidak diketahui berapa lama berselang antara proses dari pembuatan perkamen sampai saat penulisan akhir.

Namun dari gaya kaligrafi naskah itu menunjuk penanggalan antara tahun 710 s/d 715 M. Beberapa halaman perkamen tampaknya ditulis di abad ketujuh dan kedelapan, atau abad pertama dan kedua Islam. Mungkin ini adalah Al-Qur'an tertua yang kita miliki.

Pada tahun 1984, Dar al Makhtutat, atau Rumah Naskah, didirikan dekat dengan Masjid Agung, sebagai bagian dari proyek kerjasama antara otoritas Yaman dan Jerman. Sebuah usaha besar dimulai untuk merestorasi fragmen – fragmen Alquran. Antara 1983 dan 1996, sekitar 15.000 (dari 40.000 halaman) telah dipulihkan, khususnya 12.000 fragmen perkamen dan naskah berasal dari abad ketujuh dan kedelapan.

(Sumber foto : Dreibholz, 1999. h. 22. Dar al-Makhtutat Perpustakaan di mana manuskrip yang baru didapat kembali itu disimpan dan dikategorikan).

Sampai sekarang, hanya ada tiga salinan kuno Qur'an yang ditemukan. Yang disimpan di Perpustakaan Inggris di London, dengan penanggalan abad ke tujuh akhir dan dianggap yang tertua. Tapi manuskrip Sana'a bahkan lebih tua. Selain itu, manuskrip ini ditulis dalam naskah yang berasal dari Hijaz - wilayah Arab di mana Nabi Muhammad tinggal, yang membuat manuskrip ini tidak hanya yang paling tua yang bisa selamat, tapi salah satu salinan otentik awal Al-Qur'an yang pernah ada. Hijazi Arab adalah naskah (Mekah atau Madinah) di mana Al Qur'an yang paling awal ditulis. Meskipun potongan-potongan ini dari Al-Qur'an yang paling awal yang bisa ketahui , namun mereka juga hanyalah palimpsests (manuskrip di mana tulisan asli telah dihapus, dikupas, ditulis ulang dan ditimpa, tapi masih bisa digunakan kembali).

Gaya tulisan tangan yang halus dan langka serta artistik telah mempesona baik Puin dan temannya Bothmer, tetapi kejutan yang lebih besar menanti mereka. Ketika Qur'an kuno ini dibandingkan dengan standar yang ada pada saat ini, keduanya tertegun. Teks-teks kuno yang ditemukan ternyata bertentangan dengan bentuk Quran yang ada sekarang. Ada penyusunan ayat-ayat yang tidak sama, variasi tekstual yang kecil tapi sangat signifikan berbeda, ortografi (ejaan) yang berbeda dan hiasan artistik yang berbeda.

Tersebar dalam keyakinan Muslim ortodoks bahwa Al-Qur'an seperti yang telah sampai kepada kita hari ini benar-benar "Firman yang sempurna, abadi, dan tidak berubah Allah". Namun penemuan Quran kuno di Sana’a dan perbedaannya yang mencolok dengan Quran yang ada pada kita sekarang membuktikan bahwa Al-Qur'an telah diselewengkan, menyimpang, direvisi, dimodifikasi dan dikoreksi, dan perubahan tekstual telah terjadi selama bertahun-tahun murni oleh tangan manusia.

Aura suci di sekitar Kitab Suci Islam ini, yang katanya tetap utuh selama lebih dari 14 abad hilang dengan adanya penemuan yang menakjubkan ini. Dan keyakinan inti semiliar lebih Muslim bahwa Quran adalah firman Allah yang kekal dan tidak berubah Allah sekarang jelas terlihat sebagai besar pelebih-lebihan, tipuan dan kebohongan . Tidak hanya itu, klaim Al-Qur'an yang adalah kata-kata Allah yang tidak dapat berubah juga palsu. Al-Qur'an seharusnya, jika kita meminjam kata-kata dari Guillaume (1978, hal 74), "Ruang Maha Kudus, yaitu tempat dimana Tuhan “bertahta” tidak pernah harus berada di bawah buku-buku, tetapi selalu di atasnya nya. Orang tidak boleh minum atau merokok ketika sedang membacanya, dan firman itu sejatinya idengarkan dalam keheningan. Inilah ‘jimat’ yang melawan penyakit dan bencana".

Muslim menyebut Quran sebagai 'Induk segala Kitab' dan percaya tidak ada buku lain atau wahyu lain yang dapat menandinginya (Caner & Caner, 2002. P.84). Namun semua klaim itu berlalu sekarang. Hasil akhir dari seluruh perjuangan Islam selama empat belas abad adalah nol besar.

Seakan tidak cukup, banyak manuskrip yang menunjukkan tanda palimpsests, yaitu, versi timpahan dari versi sebelumnya. Versi yang lama, yang telah dicuci kemudian ditimpa lagi, tentu saja sulit untuk dibaca dengan mata telanjang. namun alat-alat modern seperti fotografi ultraviolet dapat menyorot mereka. Ini menunjukkan bahwa naskah-naskah Sana'a bukan varian saja, tetapi, bahkan sebelum itu, teks Al-Quran telah diubah dan ditulis ulang pada kertas yang sama. Ini berarti, klaim Allah (QS 56: 77-78; 85:21-22) bahwa teks asli yang diawetkan dalam surga di dalam tablet emas, yang tidak dapat menyentuh kecuali para malaikat – juga nyata-nyata adalah mitos belaka.

Setelah mempelajari naskah-naskah itu secara ekstensif , puin sampai pada kesimpulan bahwa teks-teks Quran sebenarnya merupakan teks yang ber-evolusi atau berkembang, bukan firman Allah sebagaimana konon dinyatakan secara lengkap, menyeluruh dan final kepada Muhammad seorang diri saja (Warraq, 2002, hal 109). Dia tertegun, "Begitu banyak Muslim yang berkeyakinan bahwa segala sesuatu yang tertulis di antara cover depan dan cover belakang Al Qur'an adalah firman Allah belaka yang tidak berubah. Mereka suka sekali mengutip karya-karya teologis tekstual yang menunjukkan bahwa Alkitab memiliki sejarah dan tidak jatuh langsung dari langit, tetapi mereka sendiri menjauhkan Alquran dari penyelidikan yang serupa. Satu-satunya cara untuk menerobos dinding ini adalah untuk membuktikan bahwa Al Qur'an memiliki sejarah juga. Fragmen Sana'a akan membantu kita untuk melakukan hal ini".

Puin bahkan menyimpulkan (dikutip oleh Taher, 2000), "Quran bukanlah karya tunggal yang telah bertahan dan tak berubah selama berabad-abad. Quran mungkin terdiri dari kisah-kisah yang telah ditulis oleh orang-orang di jaman sebelum nabi Muhammad memulai pelayanannya dan yang kemudian ditulis ulang ".


Gerd R Puin ketika masih meneliti naskah-naskah Quran di Yaman.

Selama penelitian mereka, sebagaimana Puin mengingatkan (Lester, 1999), "Mereka [pihak berwenang Yaman] ingin menjaga hal ini secara rendah hati, seperti yang kita ingin lakukan juga, meskipun untuk alasan yang berbeda. Mereka tidak ingin menarik dunia bahwa pada kenyataannya ada orang-orang Jerman dan lain-lain yang bekerja dalam menganalisa naskah-naskah Qur'an ini. Mereka tidak ingin membuat pekerjaan ini tersebar kepada publik bahwa ada pekerjaan yang dilakukan sama sekali, karena posisi Islam selama ini bahwa segala sesuatu yang perlu dikatakan tentang sejarah Al-Qur'an telah dikatakan secara cukup seribu tahun lalu. "

Teori radikal lainnya dari Puin adalah bahwa sumber-sumber pra-Islam telah dimasukan ke dalam Qur'an. Dia berpendapat bahwa dua suku: As-Sahab-ar-Rass (sahabat Sumur) dan As-Sahab-al-Aiqa (sahabat Semak Berduri) yang bukan bagian dari tradisi Arab, dan orang-orang Muhammad pada waktu itu tentu tidak mengetahui apa-apa tentang kedua kaum ini. Dia juga tidak setuju jika Al-Qur'an ditulis dalam bahasa Arab murni. Kata ‘Al-Qur'an’ itu sendiri berasal dari asing. Berlawanan dengan kepercayaan Islam populer, arti dari "Al Qur'an" bukanlah “bacaan”. Kata ini sebenarnya berasal dari sebuah kata bahasa Aram, 'Qariyun', yang berarti leksionari, yaitu bagian-bagian kitab suci yang ditunjuk untuk dibaca pada waktu ibadah. Al Qur'an berisi sebagian dari cerita-cerita Alkitab tetapi dalam bentuk yang lebih pendek dan merupakan "ringkasan dari Alkitab untuk dibaca dalam kebaktian".

Puin tertarik untuk menulis buku tentang hal ini di masa depan. Ia sendiri sudah menulis beberapa esai pendek tentang temuan mereka dalam berbagai majalah ilmu pengetahuan, di mana dia menunjukkan beberapa penyimpangan antara Qur'an kuno dan Quran standar (dikutip Warraq, 2002. hlm 739-44). Untuk menyanggah kesucian Al Qur'an, Puin menuliskan, “Menurut saya Quran adalah koktail teks , naskah campur aduk, yang tidak dipahami bahkan pada jaman Muhammad sendiri. Beberapa bagian dari quran mungkin berusia ratusan tahun telah ada sebelum jaman Islam. Bahkan dalam tradisi Islam terdapat begitu banyak informasi yang kontradiktif, termasuk cuplikan naskah Kristen yang signifikan. Seseorang bisa mendapatkan sejarah yang anti Islam secara keseluruhan darinya jika ia menginginkannya. Quran diklaim bersifat mu’bin, atau jelas dengan sendirinya, namun jika anda memeriksannya, anda akan melihat bahwa setiap kira-kira lima kalimat dibaca kita akan mendapati klaim tersebut tak masuk akal. Muslim akan bersikeras sebaliknya, tentu saja. Namun fakta bahwa seperlima bagian dari teks Quran tidak bisa dipahami. Hal ini yang telah menyebabkan tradisi kebingungan dalam penerjemahan. Jika Quran tidak bisa dipahami, jika ia bahkan tidak bisa dimengerti oleh orang Arab, maka ia tidak bisa diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Inilah yang muslim takutkan. Sebab Quran terus diklaim sebagai telah jelas namun kenyataannya tidak – terdapat kontradiksi yang jelas dan serius di sini. Suatu hal lain pasti telah terjadi.”

Penemuan luar biasa dari Puin ini telah mempesona Andrew Rippin, seorang Profesor studi agama dan seorang ahli terkemuka pada studi Alquran. Rippin (dikutip Warraq, 2002. Hal.110) menyimpulkan, "Dampak dari manuskrip Yaman masih terasa sampai sekarang. Varian cara baca Quran dan penyusunan ayat-ayatnya, semuanya sangat signifikan. Semua orang setuju akan hal ini. Naskah ini menyatakan bahwa sejarah awal teks-teks Al-Quran lebih dari sebuah pertanyaan terbuka yang banyak mengundang kecurigaan. Teks-teks Quran ternyata kurang stabil dan karena itu memiliki otoritas yang sedikit daripada apa yang selalu diklaim selama ini".

Warraq (1998, h. 14) memiliki pandangan yang sama dengan Rippin, "sarjana Muslim dari tahun-tahun awal Islam jauh lebih fleksibel dalam posisi mereka, menyadari bahwa bagian dari Al-Qur'an telah hilang, diselewengkan dan bahwa ada banyak ribuan varian yang membuat mustahil untuk berbicara tentang "'Al-Qur'an".

Ada bukti lain bahwa Al Qur'an adalah pesan terdistorsi pada hari-hari awal Islam dan tidak ada yang di sebut “Alquran” lagi sekarang. Inskripsi dari ayat-ayat Al-Quran yang tertulis di Kubah Batu Yerusalem (Dome of The Rock), yang paling mungkin adalah monumen Islam pertama dimaksudkan untuk menjadi prestasi artistik utama, dibangun pada 691 M (Whelan, 1998, pp 1-14). Inskripsi di Dome of The Rock ini secara signifikan berbeda dari teks standar Quran saat ini (Warraq, 2000, hal 34).

Mingana (dikutip Warraq, 1998. P.80) menyesalkan, "Pertanyaan yang paling penting dalam studi Alquran adalah otoritas yang tak tertandingi". Inilah satu-satunya alasan; kenapa penyelidikan kritis atas teks Al-Quran masih menjadi studi immature – tidak dewasa. Sebagaimana Rippin (1991, hal ix) menyesalkan, "Saya sering bertemu orang yang datang untuk mempelajari Islam dengan latar belakang dalam studi sejarah Alkitab Ibrani atau Kekristenan awal, dan yang mengungkapkan keterkejutan atas kurangnya pemikiran kritis yang muncul dalam buku teks pengantar Islam. Gagasan bahwa "Islam lahir dalam sejarah yang terang benderang' nampaknya masih diasumsikan oleh banyak penulis besar teks-teks tersebut."

Cook dan Crone (1977, p. 18) menyimpulkan, "[Qur'an] benar-benar mencolok kekurangannya dalam struktur keseluruhan, sering tidak jelas dan ngawur baik dalam bahasa dan konten yang asal-asalan yang menyukai bahan ngawur yang berbeda dan tersebar dalam pengulangan seluruh kisah dalam versi yang berbeda-beda. Atas dasar ini, dapat dikatakan bahwa buku ini adalah produk dari editing yang terlambat dan tidak sempurna dari pluralitas tradisi"Crone (dikutip Warraq, 1998, hal 33) di tempat lain menulis," Qur'an telah menghasilkan. banyak informasi palsu ".Kritik pihak Muslim atas Al Qur'an sangat-sangat langka dan hampir tidak ada sama sekali, sebagaiman Sina (2008, hal 6) keluhkan, "Umat Muslim sangat benar-benar tidak mampu mempertanyakan Islam." Baru-baru ini website ex-Muslim tengah melakukan beberapa pekerjaan yang luar biasa ini. Pada akhirnya, orang-orang tercerahkan ini akan berhasil membebaskan saudara-saudari Muslim mereka dari penjara Islam. Jika tidak maka semua kritik kritik apapun pada Al-Qur'an selama ini hanya dilakukan oleh kalangan non-muslim saja, dalam hal ini kebanyakan adalah sarjana Kristen. Tapi Muslim tidak boleh menganggap bahwa kritik dari sarjana Kristen sebagai tanda penyerangan kepada agma mereka. Cendikiawan Kristen telah melakukan kritik lebih banyak atasa kekristenan sendiri dibandingkan atas Islam (Sproul & Saleeb, 2003 hlm 17;. Spencer, 2007, hal 1).

Tapi manuskrip Sana'a juga akan memprovokasi pertanyaan lain. Jika Qur'an adalah sebuah kebohongan, bagaimana kebohongan ini bisa bertahan selama berabad-abad? Alasannya adalah bahwa “sifat keilahian yang melekat pada Al Qur'an” bukan sebuah Kebohongan Kecil, tapi Kebohongan Besar. . Kebohongan Besar sangat kuat, dan selalu memiliki efek psikologis terhadap para pendengarnya. Semakin besar kebohongannya, semakin dipercaya itu. Adolf Hitler menulis di Mein Kamph (1925), "Massa yang luas dari suatu bangsa akan mudah menjadi korban kebohongan besar , bukan kebohongan kecil." Kebohongan Besar nampak sangat meyakinkan karena melampaui skala akal sehat pendengarnya, seperti Sina (2008 , hal. 179) menjelaskan, orang biasa tidak akan berani untuk menceritakan sebuah kebohongan besar dan berpikir bahwa hal itu tidak akan dipercayai dan ia akan ditertawakan. Karena tidak ada orang yang tidak pernah berbohong dalam hidupnya, kebohongan kecil sering terdeteksi cepat atau lambat. Tapi kebohongan besar sangat aneh sehingga dapat mempesona pendengarnya. Ketika kebohongan itu seukuran raksasa, rata-rata orang dibuat tidak berani bertanya-tanya bagaimana orang dapat memiliki keberanian, kelancangan untuk mengatakan hal seperti itu.

Kebohongan Besar selalu bekerja secara luar biasa dalam politik. Sebagaimana George Orwell (dikutip Sina, 2008, hal 179) berkata, "Politik bahasa ... dirancang untuk membuat kebohongan terdengar benar, dan pembunuhan terlihat terhormat, dan memberikan penampilan solid sebagai angin sorga". Hari ini ketika klaim keilahian Qur'an dihancurkan oleh penemuan manuskrip Sana'a, sifat spiritual Islam juga terkena. Islam hanyalah sebuah gerakan politik murni Arab. ketika Arab mulai menaklukkan bangsa-bangsa sekitarnya dan Islam yang dikenakan pada mereka dengan kekerasan dan dibuat percaya dengan klaim “Keilahian yang melekat pada Al Qur'an”.

Bangsa Arab tidak hanya memaksakan Islam pada orang lain tetapi juga menanamkan kepercayaan irasional akan keilahian Al-Quran dalam pikiran korban mereka, sehingga sekali orang-orang Arab itu pergi, mereka yang ditaklukkan tidak bisa keluar dari perbudakan mental dan kembali ke iman asli mereka. Ini adalah keterampilan politik langka. Banyak sahabat Muhammad jelas tahu bahwa Al Qur'an itu palsu, tetapi mereka tetap dengan nabi mereka untuk berbagi rampasan dan untuk menikmati wanita. Kita semua tahu, setelah kematian Muhammad, beberapa suku Arab kembali kembali ke kepercayaan asli mereka dan penyembahan berhala berkembang lagi.

Bagai terpaan badai bagi umat Islam; studi psikologi modern menyingkapkan kebenaran bahwa Muhammad (kalaupun orang ini pernah ada) adalah seorang penipu, orang yang menderita Narcissistic Personality Disorder. Narsisis adalah seorang pembohong patologis yang asik menikmati dirinya sendiri. Ini berarti, entah mereka tidak menyadari kebohongan mereka atau mereka merasa benar-benar dibenarkan dan mudah dalam berbohong kepada orang lain. Kondisi mental mereka sedemikian rupa sehingga mereka memiliki kemampuan langka untuk percaya kebohongan mereka sendiri (Vaknin, 1999, hal 24).

Dan, ya, Adolf Hitler, yang mengetahui kekuatan dari Kebohongan Besar dan jutaan rakyat Jerman yang juga disesatkan, juga diakui sebagai seorang narsisis. Hari ini Hitler adalah figur sejarah yang paling dibenci di Jerman. Seperti kepastian matematis Muhammad akan mendapatkan nasib yang sama. Tapi kita benar-benar tidak tahu, berapa juta orang akan meninggal sebelum kita dapat menempatkan Muhammad di tempat sampah dengan, Allah-nya Al Qur'an dan Islam sama sekali. Bagi Hitler itu Sosialisme Nasional (nama lain dari Nazisme) dan Muhammad itu Islam, namun jauh di lubuk hati, keduanya dua sisi dari koin yang sama - seorang manipulator yang sukses.Sina (2008, p. iv, 260) berkomentar, "Islam bagaikan rumah kartu, ditopang oleh kebohongan. Yang dibutuhkan untuk menghancurkannya adalah menantang satu saja dari kebohongan-kebohongan yang selama ini menopangnya bersama-sama. Ini adalah sebuah bangunan tinggi, yang berdiri di atas pasir; setelah Anda mengekspos fondasinya, pasir akan luruh dan struktur bangunan ini akan runtuh karena beratnya sendiri. “ Dan perkatan Sina lainnya ," Islam berdiri di tanah yang sangat rapuh. Ia tidak bersandar pada apapun kecuali kebohongan. Yang harus kita lakukan untuk menghancurkannya cuma mengekspos kebohongan-kebohongannya, dan bangunan raksasa teror dan penipuan ini akan runtuh".

Mari kita lihat, sekali aura suci Al-Qur'an hilang, apa saja hal lainnya yang akan terkena.

Pertama, jika ada dua atau lebih versi Qur'an, maka Quran yang satu berbicara begini, sedang Quran yang satu lagi berbicara begitu, dan dua-duanya mengklaim kebenaran yang mutlak, maka logikanya ada lebih dari satu Allah yang memberi firman. (Mungkin asumsi logis ini tampak goyah, namun kita lihat poin logis selanjutnya).

Kedua, jika kita masih percaya bahwa satu Qur'an adalah otentik, maka bagaimana Allah mengizinkan versi lain bisa bertahan?

Ketiga, Jika QS 10:64 mengatakan kata-kata Allah tidak berubah, ternyata berubah juga, dengan demikian klaim-klaim Quran sama sekali tidak bisa dipercaya dengan sendirinya? Jika muslim masih ngotot dengan klaim keilahian Quran yang katanya tidak bisa berubah ,lalu kenapa ada lebih dari satu veris Quran? Bagaimana wahyu palsu itu tercatat dalam Al Qur'an? Apakah Setan meletakkannya?

Terakhir; Bukhari (4.52.233) mencatat "orang-orang kafir tidak akan pernah memahami tanda-tanda dan wahyu." Tapi kita lihat, untuk memahami Al Qur'an Sana'a, pemerintah Yaman mengundang para sarjana Jerman, karena tak ada seorang pun di Yaman, bahkan di dunia Islam, yang mampu mengerjakan temuan yang melimpah ini.

Tidak heran bila Sina (2008) menyimpulkan, "Tidak peduli bagaimana Anda melihat Islam, tetap saja Islam agama konyol."

Muslim telah menjual jiwa mereka kepada Muhammad. Bisakah mereka secara logis menghapus keraguan di atas? Episode Sana'a telah menempatkan mereka dalam posisi yang sedemikian gamang, bahwa circular reasoning atau logka yang absurd-pun tidak akan membantu mereka dari kebingungan ini. Bukankah sudah waktunya bagi Muslim untuk bijaksana mempertimbangkan sehat tidaknya agama mereka sebenarnya?

Untuk melindungi Qur'an dari penghinaan lagi, otoritas Yaman telah menghalangi Puin dan Bothmer untuk meneliti lebih lanjut naskah-naskah tersebut. Bahkan, sekarang mereka tidak mengizinkan siapa pun melihat naskah-naskah itu lagi kecuali beberapa perkamen non-Qur'an yang telah sangat hati-hati dipilih, yang di dipajang di lantai dasar dari Perpustakaan Dar al-Makhtutat. Tapi ini tidak akan membantu. Burungnya sudah keluar dari kandang dan tidak ada gunanya menutup pintu sekarang. Lebih dari tiga puluh lima ribu mikrofilm yang berisikan teks-teks itu telah berada di luar Yaman sebelum pihak otoritas mengetahui, dan beberapa duplikat sudah dibuat. Penulis saat ini yakin bahwa pada saat ini, di beberapa lokasi yang tidak diketahui di Jerman, sekelompok ahli tanpa henti bekerja pada mikrofilm tersebut dan Puin sedang membakar minyak di tengah malam cukup untuk menyelesaikan bukunya, yang, setelah diterbitkan, akan memalu paku lainnya pada peti mati Islam. Islam sedang dalam bahaya nyata sekarang.

Jelas, dengan menyadari klaim-klaim keilahian Quran akan gugur tak lama lagi, banyak muslim yang terganggu dan tersinggung. Para fundamentalis tidak akan menerima karya Puin dan Bothmer sebagai hasil karya yang telah dilakukan secara obyektif akademik, tetapi melihatnya sebagai serangan yang disengaja terhadap integritas teks-teks Quran (Taher, 2000). Tentu, dua sarjana Jerman akan berada di garis depan dalam kemarahan mereka. Puin takut reaksi kekerasan dari Muslim ortodoks karena "hujatan" teorinya, dia katakana tidak bisa dipandang ringan. Mengingat kasus yang terjadi pada Salman Rushdie, Puin menulis, "Kesimpulan saya telah menyulut reaksi marah dari Muslim ortodoks. Mereka bilang saya tidak benar-benar cendekiawan untuk membuat komentar pada naskah ini ". Jika pandangan Puin adalah diambil dan diberitakan di media, dan jika tidak ada banyak umat Islam yang rasional tentang hal itu, maka hal mengerikan akan terjadi. Akan ada beberapa respon yang bersikap memusuhi dan kerusuhan yang menyebabkan banyak kematian dan kehancuran, mungkin adalah fatwa lain dari Khomeini, dan tentu beberapa ancaman Al Qaeda dan dan saudara-saudara ideologisnya. Tapi bisakah mereka menghentikan kebenaran?

UNESCO telah memperlihatkan minat yang tulus terhadap manuskrip Sana'a sejak Program Memori Dunia dimulai. Pada tahun 1995, Organisasi ini juga memproduksi CD-ROM dalam bahasa Arab, Inggris dan Perancis yang menggambarkan sejarah pengumpulan material baik yang quranik maupun non-quranik. CD-ROM menawarkan 651 gambar dari 302 fragmen Al-Quran, diindeks berdasarkan script, frame, dll, pengenalan umum untuk koleksi manuskrip Yaman dan deskripsi singkat tentang evolusi kaligrafi Arab (Abid, 1997).

Ursula Dreibholz, seorang ahli pelestarian yang bekerja pada proyek Sana'a selama delapan tahun sebagai konservator utama, banyak mengalami frustrasi dengan melihat kurangnya perhatian pemerintah Yaman untuk melindungi naskah-naskah dengan menggunakan teknologi modern (1983, hlm 30-8) . perangkat keamanan tidak benar, tidak pula ada perhatian yang memadai yang diberikan kepada naskah-naskah untuk menghindari kerusakan lebih lanjut (1996, pp 131-45). Bahkan, Dreibholz (1999, pp 21-5) mengatakan kepeduliannya terbesarnya untuk menciptakan sistem penyimpanan yang aman, handal dan permanen bagi fragmen-fragmen yang telah dipulihkan ini. Juga, masalah miskinnya sistem penyimpanan. Hampir tidak ada perlindungan dari serangga dan air. Yang paling penting, masalah sebenarnya adalah kurangnya pencegahan kebakaran atau sistem deteksi, mengingat kebakaran yang benar-benar bencana yang telah menghancurkan perpustakaan penting dan karya seni di seluruh dunia sepanjang sejarah. Pihak berwenang Yaman mengatakan mereka tidak punya uang atau sarana untuk menginstal sistem proteksi kebakaran tersebut. Dia tidak mengerti alasan asli di balik sikap apatis otoritas Yaman.

Sekarang fundamentalis muslim dapat melihat masa depannya yang nyata. Tidak ada yang tahu kapan api yang menghancurkan akan dimulai 'sengaja' dan menghancurkan semua naskah Al-Quran, yang benar-benar menyebabkan ‘panas’. Akhirnya, untuk menyelamatkan Islam, Qur'an harus disimpan oleh Muslim kemanapun. Jika perlu mereka akan membakar Qur'an untuk menyelamatkannya dari analisa logis. Pengabdian mereka kepada kebodohan memang sangat tinggi. Mungkin, keengganan otoritas Yaman untuk menginstal sistem proteksi kebakaran tersebut merupakan persiapan awal untuk sebuah tindakan di masa depan. Jangan pernah meremehkan kemampuan merusak dari para fanatik tak berotak.

Referensi

Journal:

  1. Abid, Abdelaziz (1997); “Memory of the World”: Preserving Our Documentary Heritage. Museum International, Vol. 49, No. 1, January 1997 issue. Blackwell Publishers, Oxford.
  2. Dreibholz, Ursula (1983); A treasure of early Islamic manuscripts on parchment. Significance of the find and its conservation treatment. AIC Preprints of papers presented at the 11th annual meeting in Baltimore, Maryland, 25-29 May 1983. Washington, DC.
  3. Dreibholz, Ursula (1996); The Treatment of Early Islamic Manuscript Fragments on Parchment in The Conservation and Preservation of Islamic Manuscripts, Al-Furqan Islamic Heritage Foundation, London
  4. Dreibholz, Ursula (1999); Preserving a treasure: the Sana’a manuscripts. Museum International. Islamic collections. Vol. LI, No. 3, July 1999 issue. Blackwell Publishers. Oxford.
  5. Whelan, Estelle (1998); Forgotten Witness: Evidence for the Early Codification of the Qur’an. Published in The Journal of America Oriental Society. January to March Issue, 1998. University of Michigan. USA.

Buku:

  1. Ali, Daniel & Spencer, Robert (2003); Inside Islam: A guide for Catholics. Ascension Press. Pennsylvania.
  2. Caner E. M; Caner E.F (2002); Unveiling Islam. Kregel Publications. Grand Rapids. U.S.A
  3. Cook, Michael; Crone, Patricia (1977); Hagarism: The making of the Islamic world. Cambridge.
  4. (Dr) Vaknin, Sam (1999); Malignant Self Love: Narcissism Revisited. Narcissus Publications, Skopje. Czech Republic.
  5. (Ed.) Warraq, Ibn (1998); The origins of the Koran: Classic Essays on Islam’s holy book. Prometheus Books. NY.
  6. (Ed.) Warraq, Ibn (2000); The Quest for Historical Muhammad. Prometheus books. NY.
  7. (Ed.) Warraq, Ibn (2002); What the Koran really says – Language, Text and Commentary. Prometheus books. NY.
  8. Guillaume, Alfred (1978); Islam. Harmondsworth.
  9. Mein Kampf; a 1939 English translation by Houghton Mifflin and edited of verbosity. Reynal & Hitchcock
  10. Ohmyrus (2006); The Left and Islam: Tweedledum and Tweedledee in Beyond Jihad: Critical voices from the inside by Shienbaum, Kim and Hasan, Jamal. Academia Press, LLC, Bethesda.
  11. Peters, F.E (1986); Jerusalem and Mecca: The topology of the Holy City in the near east. NY.
  12. Rippin, Andrew (1991): Muslims: their religious beliefs and practices. London.
  13. Rodhinson, Maxime (1980); Muhammad (Original in French, translated to English by Anne Carter). The New Press. NY
  14. Rodhinson, Maxime (1981); A Critical Survey of Modern Studies on Muhammad in Studies on Islam ed. M. Swartz. Oxford University Press, USA
  15. Sagan, Karl (1997); The Demon-Haunted World. Science as a Candle in the Dark. Ballantine Books. The Random House Publishing group. NY.
  16. Sina, Ali (2008); Understanding Muhammad, A Psychobiography. Felibri.com
  17. Spencer, Robert (2002); Islam Unveiled: Disturbing questions about the world’s fastest growing faith. Encounter Books. San Francisco.
  18. Spencer, Robert (2007); Religion of Peace? Why Christianity is and Islam isn’t. Regnery Publishing, Inc. Washington DC.
  19. Sproul R. C & Saleeb, Abdul (2003); The dark side of Islam. Crossway Books (a division of Good News Publishers). Wheaton. Illinois.

Sumber-sumber Internet:

  1. Taher, Abul (2000): Querying the Koran. The Guardian. Guardian News and Media Limited. Published on 8th August, 2000. URL: http://www.guardian.co.uk/Archive/Article/0,4273,4048586,00.html (Last accessed 3rd June / 2009)
  2. Sina, Ali (2008): Probing Islam. An internet based debate between J. A Ghamidi, K. Zaheer and Ali Sina, FFI. URL: http://www.news.faithfreedom.org/downloads/probing-islam.pdf (Last accessed 7th February / 2008).
  3. Lester, Toby (1999); What Is the Koran? Atlantic Monthly January 1999 issue. URL: http://www.theatlantic.com/doc/199901/koran (Last accessed 3rd June / 2009).
  4. Wikipedia (2009); Gerd R. Puin, URL: http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Special:Cite&page=Gerd_R._Puin&id=287605376