Minggu, 16 Januari 2011

SEKILAS SEJARAH BAHASA


Sekilas Sejarah Bahasa
Oleh : Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si




Spekulasi tentang Asal-usul Bahasa

Kendati setiap manusia berbahasa dan melalui bahasa mereka dapat berinteraksi dengan yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya serta bahasalah yang membedakan manusia dengan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, tidak banyak orang memberikan perhatian pada asal usul bahasa. Orang hanya take for granted bahwa bahasa hadir bersamaan dengan kehadiran manusia, sehingga di mana ada manusia, di situ pula ada bahasa. Jadi bahasa adalah given. Orang mulai menanyakan asal mula bahasa ketika ada persoalan mengenai hubungan antara kata dan makna, tanda dan yang ditandai, hakikat makna, dan perbedaan makna kata yang mengakibatkan kesalahpahaman. Para ahli lebih memberikan perhatian pada bentuk bahasa, ragam bahasa, perubahan bahasa, wujud bahasa, struktur bahasa, fungsi bahasa, pengaruh bahasa, perencanaan bahasa, pengajaran bahasa, perolehan bahasa, evaluasi dan sebagainya daripada melacak sejarah kelahirannya. Padahal dengan mengetahui sejarah kelahirannya akan dapat diperoleh pemahaman yang utuh tentang bahasa.

Sebenarnya studi tentang bahasa, termasuk tentang asal usul bahasa atau glottogony sudah lama dilakukan para ilmuwan, seperti sosiolog, psikolog, antropolog, filsuf, bahkan teolog. Tetapi karena pusat perhatian para ilmuwan tersebut berbeda-beda, maka tidak diperoleh pengetahuan yang memadai tentang asal usul bahasa. Yang diperole justru pengetahuan tentang cabang-cabang ilmu bahasa, seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolingusitik, filsafat bahasa dan sebagainya. Seolah tak mau ketinggalan dengan para ahli sebelumnya, belakangan para neurolog dan geolog juga mengkaji bahasa, sehingga muncul ilmu neurolinguistik dan geolinguistik. Belakangan para ahli komunikasi juga menjadikan bahasa sebagai pusat kajian. Secara mikro, lahir ilmu seperti fonologi, morfologi, sintak, semantik, gramatika, semiotika dan sebagainya Tidak mengherankan bahwa bahasa akhirnya menjadi bahan kajian para ilmuwan dari berbagai disiplin. Ini sekaligus membuktikan bahwa bahasa menjadi demikian penting dalam kehidupan manusia. Tidak berlebihan jika seorang filsuf hermeneutika kenamaan Gadamer mengatakan bahwa bahasa adalah pusat memahami dan pemahaman manusia. Sebab, melalui bahasa akan diketahui pola pikir, sistematika berpikir, kekayaan gagasan, kecerdasan, dan kondisi psikologis seseorang.

Namun demikian asal usul bahasa atau sejarah bahasa tetap obscure dan studi tentang asal usul bahasa tidak sesemarak bidang-bidang kebahasaan yang lain. Mengapa? Jawabannya sederhana dan spekulatif. Sebab, karena tidak terdapat bukti yang cukup untuk menyimpulkan kapan sejatinya pertama kali bahasa digunakan oleh manusia, siapa yang memulai dan bagaimana pula memulainya.

Alih-alih menyimpulkan kapan bahasa pertama kali digunakan manusia, para ahli bahasa justru sepakat bahwa tidak seorang pun mengetahui secara persis kapan bahasa awal mula ada, di mana, bagaimana membuatnya dan siapa yang mengawalinya. Ungkapan yang lazim mengatakan bahwa sejarah bahasa dimulai sejak awal keberadaan manusia. Dengan demikian, sejarah bahasa berlangsung sepanjang sejarah manusia. Ada sedikit informasi dari para peneliti sejarah bahasa yang menyimpulkan bahwa bahasa muncul pertama kali kurang lebih 3000 SM. Inipun dianggap kesimpulan yang spekulatif dan tanpa bukti yang kuat.

Karena hasil studi tentang asal usul bahasa dianggap tidak pernah memuaskan, malah ada yang bersifat mitos dan main-main, maka menurut Alwasilah (1990: 1) pada 1866 Masyarakat Linguistik Perancis pernah melarang mendiskusikan asal usul bahasa karena hasilnya tidak pernah jelas dan hanya buang-buang waktu saja. Perhatian dan waktu lebih baik dipusatkan untuk mengkaji bidang-bidang lain yang hasilnya jelas dan tidak spekulatif, seperti bidang kedokteran, biologi, fisika, astronomi dan sebagainya.

Namun demikian, terdapat beberapa teori tentang asal usul bahasa, di antaranya bersifat tradisional dan mistis. Misalnya, ada yang beranggapan bahwa bahasa adalah hadiah para dewa yang diwariskan secara turun temurun kepada manusia, sebuah ungkapan yang sulit diterima kebenarannya secara ilmiah dan nalar logis. Namun menurut Pei (1971: 12) pada kongres linguistik di Turki tahun 1934 muncul pendapat yang menyatakan bahwa bahasa Turki adalah akar dari semua bahasa dunia karena semua kata dalam semua bahasa berasal dari giines, kata Turki yang berarti “matahari”, sebuah planet yang pertama kali menarik perhatian manusia dan menuntut nama. Kendati kebenarannya masih dipertanyakan banyak kalangan, pendapat tersebut tidak berlebihan. Sebab, dari sisi penggunanya bahasa Turki dipakai tidak saja oleh orang Turki, tetapi juga oleh masyarakat di negara-negara bekas Uni Soviet, seperti Tajikistan, Ubekistan, Armenia, Ukraina, dan sebagainya.

Sebuah hipotesis tentang teori bahasa yang didukung oleh Darwin (1809-1882) menyatakan bahwa bahasa hakikatnya lisan dan terjadi secara evolusi, yakni berawal dari pantomime-mulut di mana alat-alat suara seperti lidah, pita suara, larynk, hidung, vocal cord dan sebagainya secara reflek berusaha meniru gerakan-gerakan tangan dan menimbulkan suara. Suara-suara ini kemudian dirangkai untuk menjadi ujaran (speech) yang punya makna. Masih menurut Darwin kualitas bahasa manusia dibanding dengan suara binatang hanya berbeda dalam tingkatannya saja. Artinya, perbedaan antara bahasa manusia dan suara binantang itu sangat tipis, sampai-sampai ada sebagian yang berpendapat bahwa binatang juga berbahasa. “All social animals communicate with each other, from bees and ants to whales and apes, but only humans have developed a language which is more than a set of prearranged signals”. .

Bahasa manusia seperti halnya manusia sendiri yang berasal dari bentuk yang sangat primitif berawal dari bentuk ekspresi emosi saja. Contohnya, perasaan jengkel atau jijik diekspresikan dengan mengeluarkan udara dari hidung dan mulut, sehingga terdengar suara “pooh” atau “pish”. Oleh Max Miller (1823-1900), seorang ahli filologi dari Inggris kelahiran Jerman, teori ini disebut poo-pooh theory, kendati Miller sendiri tidak setuju dengan pendapat Darwin (Alwasilah, 1990: 3).

Sebagian yang lain berpendapat bahwa bahasa awalnya merupakan hasil imajinasi orang dengan melihat cara jenis-jenis hewan atau serangga tertentu berkomunikasi. Misalnya, kumbang menyampaikan maksud kepada sesamanya dengan mengeluarkan bau dan menari-nari di dalam sarangnya. Semut berkomunikasi dengan antenenya.

Ada juga teori “bow-wow” yang mengatakan bahwa bahasa muncul sebagai tiruan bunyi-bunyi yang terdengar di alam, seperti nyanyian burung, suara binatang, suara guruh, hujan, angin, ombak sungai, samudra dan sebagainya, sehingga teori ini disebut echoic theory. Jadi tidak berevolusi sebagaimana aliran teori Darwinian di atas. Menurut teori “bow-wow” ada relasi yang jelas antara suara dan makna, sehingga bahasa tidak bersifat arbitrer. Misalnya, dalam bahasa Indonesia ada kata-kata seperti: menggelegar, bergetar, mendesis, merintih, meraung, berkokok dan sebagainya. Contoh lainnya, misalnya, oleh sebagian masyarakat anjing disebut sebagai “bow-wow” karena ketika menyalak suaranya terdengar “bow-wow”. Dengan berpikir praktis, orang menamai binatang yang menyalak itu sebagai “bow-wow”.

Mirip teori “bow-wow”, ada juga teori “ding-dong” atau disebut nativistic theory, yang dikenalkan oleh Muller, yang mengatakan bahwa bahasa lahir secara alamiah. Teori ini sama dengan pendapat Socrates bahwa bahasa lahir secara alamiah. Menurut teori ini manusia memiliki kemampuan insting yang sangat istimewa dan tidak tidak dimiliki oleh makhuk yang lain, yakni insting untuk mengeluarkan ekspresi ujaran ketika melihat sesuatu melalui indranya. Kesan yang diterima lewat bel bagaikan pukulan pada bel hingga melahirkan ucapan yang sesuai. Misalnya, sewaktu manusia primitif dulu melihat serigala, maka secara insting terucap kata “Wolf”.

Ada juga teori “pooh-pooh” yang mengatakan pada awalnya bahasa merupakan ungkapan seruan keheranan, ketakutan, kesenangan, kesakitan dan sebagainya. Ada teori “yo-he-ho” yang mengatakan bahasa pertama timbul dalam suasana kegiatan sosial di mana terjadi deram dan gerak jasmani yang secara spontan diikuti dengan munculnya bahasa. Misalnya, ketika sekelompok orang secara bersama-sama mengangkat kayu atau benda berat, secara spontan mereka akan mengucapkan kata-kata tertentu karena terdorong gerakan otot.

Ada juga teori “seng-song” yang mengatakan bahasa berawal dari nyanyian primitif yang belum terbentuk oleh kelompok masyarakat. Selanjutnya nyanyian tersebut dipakai untuk menyampaikan maksud atau pesan dan membentuk struktur yang teratur walau sangat sederhana. Nenek moyang kita jutaan tahun lalu berbahasa dengan kosa kata dan tatabahasa yang sangat terbatas. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, sistem lambang ini pun berkembang hingga akhirnya lahir bahasa tulis. Lewat bahasa tulis, peradaban manusia berkembang menjadi demikian pesat. Dengan demikian, bahasa terbentuk dan berkembang secara evolutif

Berbeda dengan aliran-aliran primitif tersebut di atas, para filsuf Yunani kuno, seperti Pythagoras, Plato, dan kaum Stoika berpendapat bahwa bahasa muncul karena “keharusan batin” atau karena “hukum alam”. Disebut “keharusan batin”, karena bahasa hakikatnya adalah perwujudan atau ekspresi dunia batin penggunanya. Lihat saja bagaimana bahasa seseorang ketika sedang marah, bahagia, gelisah dan sebagainya. Semuanya tergambar dalam bahasa yang diucapkan. Pendapat yang cukup masuk akal dan menjadi dasar pemahaman orang tentang makna bahasa sampai saat ini muncul dari filsuf seperti Demokritus, Aristoteles, dan kaum Epikureja yang mengatakan bahwa bahasa adalah hasil persetujuan dan perjanjian antar-anggota masyarakat. Sebab, sifat dasar manusia adalah keinginannya berinteraksi dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya. Untuk itu, mereka memerlukan sarana atau alat komunikasi. Tetapi pertanyaannya adalah bagaimana orang melakukan perundingan atau persetujuan atas sesuatu sementara mereka belum memiliki alat untuk itu. Apakah hanya menggunakan isyarat dengan anggota badan? Sayangnya, teori ini berhenti sampai di sini.

Kendati teori tentang asal mula bahasa masih kabur dan demikian beragam, dari yang bersifat mitos, religius, mistis sampai yang agak ilmiah, menurut Hidayat (1996: 29) secara garis besar terdapat tiga perspektif teoretik mengenai asal usul bahasa, yakni teologik, naturalis, dan konvensional. Aliran teologik umumnya menyatakan bahwa kemampuan berbahasa manusia merupakan anugerah Tuhan untuk membedakannya dengan makhluk ciptaanNya yang lain. Dalam al Qur’an (2: 31) Allah dengan tegas memerintahkan Adam untuk memberi nama benda-benda (tidak menghitung benda). Para penganut aliran ini berpendapat kemampuan Adam untuk memberi nama benda disebut tidak saja sebagai peristiwa linguistik pertama kali dalam sejarah manusia, tetapi juga sebuah peristiwa sosial yang membedakan manusia dengan semua makhluk ciptaan Tuhan yang lain. Tak bisa dipungkiri bahasa kemudian menjadi pembeda yang sangat jelas antara manusia (human) dengan makhluk yang bukan manusia (non-human).

Tentu saja pendapat ini bersifat dogmatis dan karenanya tidak perlu dilakukan kajian secara ilmiah dan serius tentang asal usul bahasa. Kehadiran bahasa diterima begitu saja, sama dengan kehadiran manusia yang tidak perlu dipertentangkan. Karena bersifat teologik, maka aliran ini terkait dengan keimanan seseorang. Bagi yang beragama Islam perintah Allah kepada Adam di atas harus diterima sebagai kebenaran, karena tersurat dengan jelas di dalam kitab suci al Qur’an. Sisi positif aliran ini adalah kebenarannya bersifat mutlak dan karenanya tidak perlu diperdebatkan karena berasal dari Allah. Tetapi sisi negatifnya ialah aliran ini menjadikan ilmu pengetahuan tentang bahasa tidak berkembang. Sebab, tidak lagi ada kajian atau penelitian tentang asal usul bahasa. Padahal, penelitian merupakan aktivitas ilmiah yang sangat penting untuk menjelaskan dan mencari jawaban atas berbagai fenomena alam, sosial, dan kemanusiaan termasuk fenomena bahasa. Lebih dari itu, penelitian merupakan aktivitas untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Tidak pernah ada ilmu pengetahuan berkembang tanpa penelitian. Hampir semua ilmu pengetahuan yang berkembang pesat dibarengi dengan kegiatan penelitian secara intensif. Misalnya, ilmu kedokteran, biologi, fisika, astronomi dan sebagainya.Kemajuan pesat pada ilmu-ilmu itu beberapa dasawarsa belakangan ini karena kegiatan penelitian yang begitu intensif di bidang itu.

Sumber http://mudjiarahardjo.com/artikel/160-asal-usul-bahasa-sebuah-tinjauan-filsafat-1.html


Sejarah Kajian Bahasa dan Kelahiran Genolinguistik
Oleh : Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M.Si

Bahasa tidak henti-hentinya menjadi perhatian para ilmuwan sejak dahulu kala. Sebab, bahasa memiliki posisi sentral bagi kehidupan manusia. Melalui bahasa, ilmu pengetahuan berkembang. Bahkan peradaban berkembang juga karena bahasa. Melalui bahasa, manusia tidak saja ingin menyampaikan pemahaman kepada orang lain, tetapi juga ingin dipahami oleh orang lain. Begitu sentralnya posisi bahasa bagi manusia, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahasa adalah pusat memahami dan pemahaman manusia.

Ada pertanyaan mengenai kapan sejatinya bahasa mulai dikaji manusia? Sulit meramal kapan bahasa mulai ada dan dikaji. Tetapi para ahli memperkirakan bahasa mulai ada sekitar 65 000 tahun yang lalu. Orang mengenalnya sebagai bahasa purba. Tetapi bahasa tulis baru dikenal 5000 tahun lalu. Praktis selama 60 000 tahun tidak ada jejak pengetahuan yang bisa direkam karena tidak ada bahasa tulis. Karena itu, bisa dibayangkan selama 60 000 tahun itu pula manusia tidak berbuat apa-apa untuk membawa kemajuan kehidupan.

Seperti disiplin ilmu yang lain, ilmu bahasa juga mengalami pergeseran fokus kajian akibat perkembangan ilmu bahasa itu sendiri dan karena tuntutan dan perkembangan zaman. Sebelum tahun 1900-an, kajian bahasa lebih berpusat pada kajian historis (linguistik historis). Ada yang menyebutnya sebagai linguistik diakronis atau filologi. Kajian demikian begitu dominan hingga abad XIX, yaitu tentang penelitian sejarah bahasa, pencarian tali temali antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, dan bahasa baru yang dihasilkan dari hubungan antar-bahasa yang hasilnya bisa berupa dialek, atau bahkan bahasa baru sama sekali. Asumsinya perubahan budaya, perpindahan penduduk, interaksi busines dan bentuk-bentuk interaksi sosial lainnya berimplikasi terhadap perubahan bahasa.

Tetapi setelah tahun 1900-an kajian bahasa lebih fokus pada analisis bahasa sebagai sistem komunikasi secara utuh yang berlangsung pada masa tertentu tanpa melihat aspek kesejarahannya. Kajian bahasa demikian disebut sebagai kajian bahasa sinkronis atau linguistik sinkronis. Dengan demikian, pada tahun 1900-an telah terjadi pergeseran kajian bahasa dari linguistik diakronis (historis) ke linguistik sinkronis. Tahun 1900-an pun disebut sebagai periode titik tolak kajian linguistik modern.

Sebelum tahun 1900-an, melalui kajian linguistik historis, kerja para ahli sebenarnya lebih pada upaya pemenuhan hasrat pribadi ketimbang pemenuhan hasrat pengembangan teori bahasa secara ilmiah dan universal. Selain itu, mereka juga dipengaruhi oleh keadaan umum ilmu pengetahuan pada saat itu. Sudah menjadi hal yang biasa jika para ahli menggunakan model pencariannya dengan menggunakan model yang sudah ada lebih dahulu. Sebab, ilmu berkembang dengan meneruskan atau mengembangkan ilmu yang telah ada sebelumnya. Ilmu berkembang bukan karena banyaknya pengetahuan di bidang itu, tetapi karena ilmu itu senantiasa direvisi, dikritik, disalahkan (yang menurut Popper disebut falsifikasi) sehingga hanya terdapat sedikit kesalahan. Apa artinya tumpukan ilmu pengetahuan yang campur aduk antara yang benar dan yang salah. .

Sampai akhir 1900-an ilmu pengetahuan didominasi oleh temuan ahli filsafat modern, Thomas Khun, yang menciptakan istilah paradigm (paradigma) untuk menyatakan bagaimana dalam waktu tertentu berpikir tentang suatu masalah banyak dipengaruhi oleh sistem ide koherensi yang bertindak bukan sebagai ajaran teori ilmiah yang disebut secara eksplisit, melainkan sebagai asumsi yang tidak tersurat tentang rentangan hipotesis yang dapat digunakan oleh ilmuwan (Ibrahim, et al, 1985: 12).

Perlu disadari saat itu ilmu pengetahuan dihentakkan dengan temuan-temuan ilmu baru seperti teori informasi, logika matematika, mekanika kwantum, fisika nuklir, kimia nuklir, radiologi, oceanografi, antropologi budaya, psikologi, dsb. Kajian ilmu-ilmu itu lebih terfokus pada kurun waktu tertentu daripada dalam rentangan panjang dalam kurun sejarah. Karena model demikian begitu dominan saat itu, maka wajar jika para pengkaji bahasa menirunya sebagai model kajian kendati wilayah yang dikaji berbeda dengan menitikberatkan fokus perhatian kajian bahasa secara historis.

Ilmu pengetahuan, termasuk bahasa, terus berkembang seiring dengan kemajuan pemikiran manusia. Temuan-temuan baru bermunculan dan ilmu pengetahuan baru diciptakan. Setelah linguistik fungsional dikembangkan para ahli dan hasilnya kajian linguistik menjadi sangat luas dengan kelahiran cabang-cabang baru seperti sosiolinguistik, psikolinguistik, antropolinguistik, neurolinguistik, geolinguistik, politikolinguistik, dan komputasi linguistik, belakangan para pengkaji bahasa menemukan tali temali baru antara genetika dan bahasa, yang mereka sebut dengan genolinguistik.

Genolinguistik merupakan studi interdisiplin antara bahasa dan genetika yang memusatkan perhatian pada pengelompokan populasi manusia, relasi kekerabatan di antara mereka, dan perjalanan historis yang dialami oleh kelompok populasi tersebut melalui pengelompokan dan penelusuran relasi kekerabatan bahasa dan genetika (Mahsun, 2010: 1). Mengutip Olson (2003), Mahsun menyatakan bahwa bahasa dan gen menyebar dari sebuah sumber yang sama. Adalah suatu kemustahilan jika manusia modern yang bermigrasi dari Afrika ke Amerika, misalnya, tanpa membawa sarana komunikasi berupa bahasa sebagai alat komunikasi di tempat baru.

Sangat mustahil pula jika di tempat baru tersebut, mereka langsung berkomunikasi dengan bahasa di tempat baru. Jika kelompok migran baru tersebut tetap berkumpul, hampir dipastikan mereka akan tetap setia menggunakan bahasa asal mereka kendati telah hidup di negara lain. Melalui studi genolinguistik akan bisa dilacak asal usul kelompok manusia dengan melihat bahasa yang dipakai.

Sebagai disiplin baru, wajar jika muncul banyak pendapat mengenai posisinya. Ada yang mengatakan genolinguistik sebagai cabang ilmu genetika, tetapi sebagian yang lain mengatakan sebagai bagian dari ilmu bahasa (linguistik), sebagaimana cabang-cabang ilmu linguistik sebelumnya atau yang sering pula disebut sebagai linguistik makro. Terlepas dari perbedaan posisinya, semua sepakat bahwa genolinguistik merupakan disiplin baru sebagai pertemuan antara genetika dan linguistik.

Studi-studi lintas disiplin seperti genolinguistik tersebut telah membuka peluang kajian bahasa tidak saja menjadi lebih luas, tetapi juga lebih menantang.

Sumber http://mudjiarahardjo.com/artikel/278-sejarah-kajian-bahasa-dan-kelahiran-genolinguistik.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar