Rabu, 04 Agustus 2010

KISAH WANITA BERSEJARAH

Tokoh Protagonis :

(1) RATU BALQIS


Wanita Penguasa Saba' yang beriman setelah bertemu Sulaiman


Ratu Balqis tunduk kepada Sulaiman

Setelah membangunkan Baitul Muqaddis, Nabi Sulaiman menuju ke Yaman. Tiba di sana, disuruhnya burung hud-hud (sejenis pelatuk) mencari sumber air. Tetapi burung berkenaan tiada ketika dipanggil. Ketiadaan burung hud-hud menimbulkan kemarahan Sulaiman. Selepas itu burung hud-hud datang kepada Nabi Sulaiman dan berkata: "Aku telah terbang untuk mengintip dan terjumpa suatu yang sangat penting untuk diketahui oleh tuan..."

Firman Allah, bermaksud: "Maka tidak lama kemudian datanglah hud-hud, lalu ia berkata; aku telah mengetahui sesuatu, yang kamu belum mengetahuinya dan aku bawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini.

"Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah..."

Mendengar berita itu, Nabi Sulaiman mengutuskan surat mengandungi nasihat supaya menyembah Allah kepada Ratu Balqis. Surat itu dibawa burung hud-hud dan diterima sendiri Ratu Balqis. Selepas dibaca surat itu, Ratu Balqis menghantarkan utusan bersama hadiah kepada Sulaiman. Dalam al-Quran diceritakan: "Tatkala utusan itu sampai kepada Nabi Sulaiman, seraya berkata; apakah patut kamu menolong aku dengan harta?

"Sesungguhnya apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikannya kepadamu, tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.

"Kembalilah kepada mereka, sungguh kami akan mendatangi mereka dengan bala tentara yang mereka tidak mampu melawannya dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi tawanan yang tidak berharga."

Utusan itu kembali ke negeri Saba dan menceritakan pengalaman yang dialami di Yaman kepada Ratu Balqis, sehingga dia berhajat untuk berjumpa sendiri dengan Sulaiman. Keinginan Ratu Balqis untuk datang itu diketahui Nabi Sulaiman terlebih dulu. Beliau segera memerintahkan seluruh tentaranya yang terdiri dari manusia, hewan dan jin untuk membuat persiapan bagi menyambut kedatangan Ratu Balqis. Nabi Sulaiman kemudian menitahkan untuk memindahkan singasana Ratu Balqis ke istana beliau. Adalah Ashif bin Barqoyya dari golongan manusia menyanggupi untuk melaksanakan titah tersebut dengan kecepatan angin. Ifrit dari golongan jin, menyanggupi untuk membawa singasana itu bahkan sebelum mata menutup ketika berkejap. Begitulah akhirnya singgasana Ratu Balqis dibawa oleh Ifrit ke dalam istana Nabi Sulaiman lebih cepat dari kejapan mata. Manakala Ratu Balqis tiba, ia ditanya oleh Sulaiman: "Seperti inikah singgahsanamu?" Dengan terperanjat, Ratu Balqis menjawab: "Ya, memang sama apa yang seperti singgahsanaku" Kemudian Ratu Balqis dipersilakan masuk ke istana Nabi Sulaiman. Namun, ketika berjalan di istana itu, sekali lagi Ratu Balqis terpedaya, karena menyangka lantai istana Sulaiman terbuat dari air, sehingga ia menyingkap kainnya.

Firman Allah yang bermaksud: Dikatakan kepadanya; masuklah ke dalam istana. Maka tatkala dia (Ratu Balqis) melihat lantai istana itu, dikiranya air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya.

Berkatalah Sulaiman; "sesungguhnya ia istana licin yang diperbuat daripada kaca". Berkatalah Balqis; "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman dan kepada Allah, Tuhan semesta alam."

Peristiwa itu menyebabkan Ratu Balqis berasa sangat aib dan menyadari kelemahannya, sehingga dia memohon ampun atas kesilapannya selama ini dan akhirnya dia diperisterikan oleh Nabi Sulaiman.


Kerajaan Saba

Kerajaan Saba merupakan salah satu kerajaan kuno terbesar di daerah Yaman yang hadir pada jauh sebelum Masehi dan sebelum Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad S.A.W. Ibu kotanya adalah Ma’rab, sebuah kota di dekat Sana’a. Saking besarnya kekuasaan kerajaan ini, para sejarawan menyimpulkan bahwa luas daerah wilayahnya lebih luas dari wilayah Yaman sekarang. Banyak ahli yang menyebutkan bahwa Habasyah yang sekarang dikenal dengan Etiopia dahulunya masuk ke dalam kawasan kekuasaan kerajaan Saba.

Yang menjadikan kerajaan ini masuk ke dalam catatan sejarah Al-Quran adalah adanya salah satu ratu yang memerintahnya. Walaupun Al-Quran tidak secara pasti menyebutkan siapa nama ratu tersebut, di kalangan sejarawan dan umat Islam pada umumnya dikenal sebuah nama: Balqis. Namun banyak di antara ahli tafsir yang mengatakan bahwa nama tersebut masuk ke kalangan umat Islam dengan media israiliyyaat, dongeng turun temurun orang Israel yang mereka akui bersumber dari kitab Taurat.

Ratu Saba’

Terlepas dari hal itu, Balqis menjadi orang ketujuh-belas yang memerintah kerajaan Saba’. Yang memerintah sebelumnya adalah ayahnya, raja Hadhad bin Syarhabil. Para sejarawan berasumsi bahwa Balqis menaiki tahta menggantikan ayahnya disebabkan tidak adanya anak putra yang dilahirkan untuk menggantikannya.

Dalam masa pemerintahannya sebagai kepala kerajaan, Balqis banyak menerima cobaan dan ujian berat. Semua itu kelak membuktikan kepiawaiannya sebagai ratu yang berhak dan berkompeten untuk memimpin kaum dan rakyatnya. Pada awal diangkatnya sebagai ratu, para ahli dan pembesar kaumnya meingingkari kepemimpinan seorang wanita. Belum lagi hasrat yang dipendam oleh raja-raja di sekitar Saba untuk menaklukkan dan menguasai kerajaan ini. Salah satunya adalah raja ‘Amr bin Abrahah yang dijuluki dengan Dzul Adz’ar.

Maka datanglah Dzul Adz’ar dengan segenap bala tentaranya untuk menaklukkan kerajaan Saba’ dan menawan ratunya. Namun berkat kelihaian dan pengawasan yang tajam yang dimiliki Balqis, dia berhasil lolos dan kabur dengan penyamaran dalam pakaian orang badui. Pada point ini para sejarawan berbeda pendapat mengenai lanjutan kisahnya. Namun mereka semua sepakat bahwa dengan kecerdikan, kematangan jiwa dan ketabahan yang terdapat dalam dirinya, Balqis akhirnya dapat merebut kembali kerajaannya.

Dzul Adz’ar tewas dengan gorokan pisau di lehernya. Dan semenjak itu Balqis memerintah kaumnya dengan penuh hikmah, adil dan bijaksana. Dalam kekuasaannya, Saba meraih kegemilangan. Salah satu capaian yang diukir oleh Balqis adalah direnovasinya bendungan yang terkenal sad Ma’rab. Nama kerajaan ini menjadi terkenal di kawasan Arabia dan sebagian Eropa. Dalam sejarah Yunani kuno disebutkan bahwa pada zamannya terjadi transaksi perdagangan di antara tajir-tajir Saba dan Yunani. Bahkan para pedagang Yunani yang telah mengunjungi kerajaan Saba menyebutkan bahwa masyarakat Saba merupakan masyarakat berperadaban paling maju di era itu.

Ratu Saba dan Nabi Sulaiman

Pada saat kerajaan Saba di bawah pemerintahan ratunya sedang berada dalam puncak kegelimangan, Nabi Sulaiman alaihissalam telah menjadi salah satu raja terkenal di antara bani Israil di kawasan Palestina (Syam). Sulaiman dikaruniai Allah kemampuan untuk berkomunikasi dan menaklukkan golongan hewan dan jin. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dari skala bala tentara, jumlah yang dimiliki Sulaiman lebih besar daripada bala tentara Saba.

Kisah ini tersebut dalam firman Allah surat An-Naml ayat 20-44. Alkisah –dalam sebuah penafsiran- bahwa pada suatu kesempatan Nabi Sulaiman mengutus burung Hudhud untuk mencari sumber air tambahan. Lama tak jua kembali ternyata Hudhud sampai ke daerah Yaman dan menemukan sebuah kaum (rakyat Saba) yang diperintah oleh seorang ratu. Yang menarik perhatian Hudhud adalah ketika dilihatnya kaum ini musyrik dengan menyembah matahari seraya berkorban sesajen kepadanya.

Nabi Sulaiman naik pitam sebab keterlambatan ini dan berjanji akan menghukum Hudhud sesegeranya ia tiba, kecuali Hudhud terlambat dengan alasan yang masuk akal. Maka berkata Hudhud sebagaimana disebutkan dalam Al-Quran:
Maka tidak lama kemudian (datanglah hud-hud), lalu ia berkata: "Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba suatu berita penting yang diyakini” Q.S. An-Naml: 22

Nabi Sulaiman yang terkenal dengan kematangan akal dan hikmahnya tidak merespon kecuali dengan berkata: "Akan kita lihat, apa kamu benar, ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta”. Lalu Nabi Sulaiman mengirimkan sebuah surat kepada Balqis ratu Saba yang berisi ajakan untuk hanya menyembah Allah S.W.T.

Isi surat Nabi Sulaiman ini tertera dalam Quran sebagai berikut: “Dari SuIaiman dan sesungguhnya dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa janganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri"

Balqis dan Musyawarah

Manakala ratu Balqis menerima dan membaca surat dari Sulaiman, segera ia kumpulkan para menteri dan para pembesar di antara kaumnya. Balqis meminta agar mereka memusyawarahkan perihal surat Sulaiman ini. Hal ini diabadikan oleh Al-Quran sebagaimana Balqis berkata: "Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini) aku tidak pernah memutuskan sesuatu persoalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku)"

Saat itu kerajaan Saba telah terkenal di antara raja-raja lainnya sebagai salah satu kerajaan terkuat dengan bala tentaranya yang tangguh. Maka para menteri ketika membaca surat itu menganggap bahwa Sulaiman meremehkan mereka. Maka para menteri itu berkata: "Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan berada ditanganmu. Maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan". Hal ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih memilih perang daripada berserah diri kepada kekuasaan Sulaiman.

Namun ternyata Balqis memiliki pandangan yang lebih jauh ke depan, tatkala dia berkata bahwa raja-raja apabila memasuki suatu negeri niscaya mereka membinasakannya. Dan mereka menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina, dan demikian pulalah yang akan mereka perbuat. Disini letak kepiawaian dan kecerdasan Balqis. Dia lebih menganjurkan untuk terlebih dahulu mengirimkan hadiah kepada Sulaiman, dengan harapan semoga Sulaiman bisa lunak hatinya bahkan berubah pikiran sama sekali. Para pembesar menyetujui usulan Balqis. Maka diutuslah beberapa pembesar untuk menghadap Sulaiman seraya membawa persembahan hadiah.

Sesampainya para utusan di depan Sulaiman, utusan Allah ini berkata: "Apakah patut kamu mengulurkan harta kepadaku? Maka apa yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu. Kembalilah kepada mereka sungguh Kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya”

Maka tatkala Balqis mendengar jawaban yang disampaikan para utusannya, tahulah ia siapa dan betapa kuatnya Sulaiman dan bala tentaranya. Maka dikumpulkannyalah seluruh tentara dan pengawal pribadinya untuk menuju Syam demi menemui Sulaiman.

Sementara itu ketika Sulaiman mengetahui bahwa Balqis akan dating, beliau kumpulkan semua pembesarnya seraya meminta untuk mendatangkan singgasana Balqis ke Syam sebelum mereka datang. Alhasil, seorang pembesar yang memiliki pengetahuan mendalam akan Taurat menyanggupi untuk mendatangkannya sebelum Nabi Sulaiman berkedip. Setelah itu dimintanya agar singgasana itu dirubah sedemikian rupa agar Balqis tidak mengenalinya. Hal ini untuk menguji sejauh mana kecerdikan dan ketajaman Balqis sehingga ia memang patut untuk memerintah kaumnya.

Ketika Balqis dan tentaranya sampai dan telah duduk di singgasananya sendiri, Nabi Sulaiman bertanya: “Seperti inikah singgasanamu?” Maka Balqis menjawab: "Seakan-akan singgasana ini singgasanaku” Dan ini bukti lain dari kecerdikan Balqis, sebab ketika ia menjawab dengan pertanyaan itu sesungguhnya dia tidak yakin bahwa bagaimana mungkin singgasana dapat berpindah tempat dalam waktu yang begitu cepat. Namun dalam keraguan itu dia tidak memungkiri bahwa singgasana itu mirip dengan kepunyaannnya. Dan memang sesungguhnya singgasana adalah miliknya hanya telah dirubah atas perintah Sulaiman.

Pada saat yang sama Balqis segera teringat akan sebuah kenabian yang menyebutkan bahwa akan datang padanya seorang nabi Allah yang sanggup memindahkan singgasananya dalam sekejap mata. Pada saat itulah Balqis segera sadar bahwa dirinya dan kaumnya telah berlaku zalim dengan mempersekutukan Allah. Saat itu pula Balqis menyeru seluruh kaumnya untuk memeluk agama yang dibawa oleh Sulaiman.

Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam"

Pada akhirnya, kisah ratu Saba dan Nabi Sulaiman ini akan selalu abadi di dalam Al-Quran hingga ke akhir zaman. Hal ini tidak lain agar setiap ulil albab yang membacanya bisa mengambil ‘ibrah dan pelajaran-pelajaran berharga.


(2) ASIAH


Wanita Beriman, Permaisuri Fir'aun


Asiyah binti Muzahim merupakan salah satu di antara wanita-wanita pilihan yang pernah terukir dalam bingkai sejarah. Dia istri Fir’aun, seorang raja Mesir di zaman Nabi Musa. Saat bersama Fir’aun, Asiyah tidak dikaruniai seorang anak pun. Fir’aun sangat mencintainya karena kecantikan dan kematangan akhlaknya. Telah berapa banyak cobaan dan tantangan yang harus dihadapinya dengan penuh kesabaran. Bahkan, berbagai kesulitan mampu dirubah menjadi kemudahan, sehingga Asiyah dikenal sebagai rahmat, bagi masyarakat di zaman Fir’aun yang penuh dengan kelicikan dan lalim.

Pada masa yang seperti itulah muncul peristiwa yang akan menentukan sejarah hidup Nabi Musa selanjutnya. Disebutkan dalam sejarah kenabian, ketika Asiyah duduk-duduk di taman yang indah nan luas, dihiasi dengan aliran sungai mempesona. Dia melihat sebuah peti mengambang. Perlahan-lahan peti itu semakin mendekat sehingga Asiyah menyuruh para pembantunya untuk mengambil dan mengeluarkan isi peti tersebut. Ketika dibuka, ternyata di dalamnya terdapat seorang bayi mungil, elok dan rupawan. Maka, muncullah perasaan kasih sayang dalam diri Asiyah. Allah mengaruniakan cinta dan kasih sayang terhadap bayi tersebut melalui Asiyah. Tak pelak lagi, Asiyah memerintahkan agar bayi itu dibawa ke istana dengan bertekad memelihara dan mangasuhnya.

Ketika mendengar berita tersebut, Fir’aun hendak membunuhnya, karena dia melihat mimpi yang selama ini menghantuinya tentang seorang anak yang kelak menghancurkannya. Para dukun dan ahli nujum dihadirkan dari seluruh pelosok negara. Mimpinya pun diceritakan kepada mereka, sehingga ia diperingatkan agar hati-hati dengan kelahiran seorang bayi yang akan menjadi penyebab kehancuran kerajaannya. Akhirnya, semua bayi laki-laki Bani Israel yang lahir diperintahkan agar dibunuh, kecuali bayi yang diasuh Asiyah. Fir’aun pun luluh dengan bujukan Asiyah ketika ia berkata: “Kita tidak mempunyai keturunan anak laki-laki, maka jangan bunuh anak ini. Semoga ada manfaatnya untuk kita atau kita jadikan dia sebagai anak kandung kita”. Fir’aun menyetujui dan menyarankan agar anak itu dididik sedemikian rupa. Asiyah memberi nama Musa terhadap anak tersebut dan mendidiknya hingga dewasa dalam istana Fir’aun. Dan kisah tentang ini tidak asing lagi bagi kita.

Kelak, Asiyah merupakan salah seorang yang mempercayai Musa. Ketika Fir’aun mengetahui hal tersebut, tiba-tiba rasa cintanya berubah menjadi kemarahan dan permusuhan. Asiyah tidak mengindahkannya karena dirinya tahu bahwa kebenaran bersamanya. Dan dia pun tahu bahwa Musa as adalah utusan Allah yang kebenarannya tidak dapat dihalangi oleh tantangan dan ancaman yang datangnnya dari siapa saja. Hingga meninggal dunia, hari-hari akhirnya Asiyah hanya dipenuhi dengan dzikir kepada Allah seraya mengucapkan:

{"Ya Tuhanku, bangunlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam surga dan selamatkanlah aku dari Fir`aun dan perbuatannya"}

Allah telah mengabulkan do’anya, bahkan dalam sebuah hadis Nabi saw disebutkan bahwa Asiyah termasuk diantara wanita-wanita yang mulia, diriwayatkan: [“Sebaik-baik wanita penghuni surga adalah Khadijah, Fatimah, Maryam puteri Imron dan Asiyah istri Fir’aun”].



(3) MASYITHAH


Wanita Beriman, wanginya memenuhi se-antero langit


Di antara contoh teladan dari seorang wanita mukmin terdapat pada Masyithah, seorang pembantu Fir’aun. Dia adalah seorang wanita sederhana yang beriman hanya kepada Swt dan mempercayai kenabian nabi Musa a.s. Pada masanya, Fir’aun memaklumkan dirinya sebagai Tuhan.

Masyithah terpaksa bekerja untuk Fir’aun unutk menghidupi keempat anaknya. Dia bertugas sebagai inang atau sejenis juru rias salah seorang putri Fir’aun. Masyithah menyimpan keyakinan di dalam hati, ia tidak menunjukan keyakinan itu kepada orang lain di sekitarnya. Akan tetapi keyakinan yang tertanam kuat di dalam hati pasti memancarkan pengaruh terhadap segenap anggota badan.

Pada suatu hari, ketika Masyithah sedang menyisir rambut putri Fir’aun, sisir di tangannya jatuh. Dia lalu mengambil sisir itu kembali dengan mambaca “Bismillah” (dengan nama Allah). Mendengar ucapan itu putri Fir’aun (yang merasa asing dengan ucapan itu) bertanya heran, “Apa, ayahku?”. Masyithah menjawab ”Bukan. Tuhanku, Tuhanmu, dan Tuhan ayahmu adalah Allah Swt”. Putri Fir’aun kaget dan mengancam akan memberitahukan kepada ayahnya. Namun dengan tegas dan penuh keteguhan Masyithah mengulangi ucapannya “Tuhanku, Tuhanmu, dan Tuhan ayahmu adalah Allah Swt”.

Subhanallah, sungguh menakjubkan, seorang wanita sederhana yang hanya bekerja sebagai inang, namun memiliki keyakinan yang teguh seteguh gunung yang menancap ke bumi. Putri Fir’aun lalu membawa Masyithah menghadap ayahnya. Fir’aun menginterogasi Masyithah, “Apakah engkau mempunyai Tuhan selain aku?”. Dengan keyakinan yang teguh Masyithah menjawab “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah Swt” Kemudian Fir’aun melakukan berbagai upaya agar Masyithah meninggalkan keyakinan agamanya.

Dia menanyakan kepada orang-orangnya apakah Masyithah memiliki anak, dan dijawab bahwa dia memiliki empat orang anak, salah satunya sedang dalam susuan. Fir’aun memerintahkan untuk menghadirkan keempat anaknya dan mengulangi pertanyaannya, “Apakah engkau mempunyai Tuhan selain aku?”. Masyithah tetap menjawab “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah Swt”. Fir’aun memerintahkan orang-orangnya untuk menyalakan tungku perapian di dalam sebuah lesung besar. Dia memegang anak pertama Masyithah dan bertanya lagi “Apakah engkau mempunyai Tuhan selain aku?”. Masyithah tetap menjawab “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah Swt”. Fir’aun melamparkan anak itu ke tungku perapian. Anak itu menjerit dan menggelepar panas, lalu lenyap di telan api, Fir’aun mengulangi pertanyaan serupa kepada Masyithah namum tetap dijawab “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah Swt”. Anak kedua Masyithah pun dilemparkan ke dalam tungku perapian dan mengalami nasib yang serupa dengan kakaknya. Demikian halnya dengan anak yang ketiga. Namum wanita itu tetap teguh memegang keyakinannya. Dia lebih memilih dipanggang di tungku perapian daripada harus menanggalkan keyakinan agamanya.

Sungguh luar biasa keteguhan wanita ini. Sedangkan kita, Alhamdulillah, anak-anak kita hidup dalam kebaikan. Namun setidaknya, hendaklah kita senantiasa memiliki tanggung jawab terhadap agama; teguh memperjuangkan dan menegakkan Islam di muka bumi ini.

Giliran berikutnya tiba pada anaknya yang keempat yang sedang disusui dalam pangkuannya. Anak itu diambil paksa. Tak dapat dibayangkan, ia kehilangan ketiga anaknya dalam sekejap. Kini anaknya yang terakhir, masih dalam susuan dan pangkuannya. Masyithah berteriak , “Jangan… jangan… anakku… anakku!”. Rasulullah Saw bersabda “ Anak yang masih dalam susuan inilah yang berbicara ketika masih dalam ayunan, seperti nabi Isa a.s. Anak itu berkata “Ibu, teguhkan hatimu! Sesungguhnya engkau berada dalam kebenaran…!”. Anak itu kemudian diambil, lalu dilemparkan kedalam tungku perapian. Ditanyakan lagi kepadanya “Apakah engkau mempunyai Tuhan selain aku?”. Masyithah tetap menjawabnya “Tuhanku dan Tuhanmu adalah Allah Swt”.

Tak pelak, dia pun dilemparkan ke tengah bara api bersama anak-anaknya. Cerita ini tidak berakhir sampai disini. Dalam sebuah hadits shahih, Rasulullah Saw bersabda, “Ketika dalam perjalanan Mi’raj ke langit bersama Jibril, aku mencium wewangian. Kutanyakan kepada Jibril, “Wewangian apa gerangan yang memenuhi seantero langit ini, wahai Jibril?” Jibril menjawab, “Tidaklah engkau telah mengetahuinya, wahai Rasul? Beliau menjawab, “Tidak.” Lalu Jibril menjelaskan bahwa wewangian itu berasal dari Masyithah, seorang inang Fir’aun bersama anak-anaknya.” (HR. Ibnu Majah: 4030) Setelah beribu tahun lamanya, wangi wanita mulia ini tetap memenuhi seantero langit. Teguh berjuang menegakkan agama.

Hal itulah yang ditekankan oleh Al-Qur’an. “Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”(QS. Hud[11]: 112)” Tetaplah Anda dijalan yang benar hingga kematian menjelang. Agama Anda adalah darah daging Anda. Teguh berjuang demi Islam; teguh menyeru manusia kepada agama hingga akhir kehidupan. Dengan demikian kita akan mendulang keridhaan Allah SWT, menjemput kebahagiaan dan rahmat-Nya yang abadi di syurga.

“Ya Allah, jadikanlah kami termasuk pewaris surga. Anugerahkanlah kepada kami keteguhan untuk terus berjuang dan berpegang teguh pada Islam hingga tiba hari perjumpaan dengan-Mu. Ya Allah, Engkaulah yang menggerakan hati, teguhkanlah hati kami untuk memegang agama-Mu, dan melaksanakan segenap perintah-Mu, menyongsong cinta-Mu, dan melaksanakan segenap perintah agama-Mu, wahai Tuhan yang Mahakasih dan Penyayang.” -[Amru Khalid : Bangkitlah]-

(4) MARIYAM


Wanita Beriman yang Melahirkan Nabi Isa


Kisah Bunda Mariam yang mengandung Nabi Isa as dan analoginya dengan kelahiran satrio piningit

Satrio piningit merupakan sosok pemimpin yang mencerminkan sosok imam mahdi dan Nab isa as di masa mendatang. Tidak adanya imam mahdi dan Nabi isa as adalah suatu keniscayaan ketiadaanya sosok satrio piningit. sosok satrio piningit adalah sosok yang dicari-cari oleh seluruh warga Indonesia untuk memimpin bangsa ini keluar dari keterpurukan. Pada kitab injil dapat ditemukan ayat bahwa satrio piningit disebut dengan the comforter. Sosok ini yang memimpin bangsa dengan segala tindak-tanduknya untuk membuat suasana menjadi nyaman dan layak dinikmati sebagai kehidupan yang idealis. pada ayat yang lainnya disebutkan bahwa sosok ini adalah cerminan dari sosok nabi isa as. adanya sosok satrio piningit karena adanya doa yang tulus dari nabi isa untuk dilahirkan disisi Tuhan sebagai tokoh penyelamat atau the chosen one atau sang avatar, sebelum kedatangan yang kedua dari nabi isa.

Kita bisa mengetahui dari sejarah bagaimana perjuangan bunda maria mengandung Nabi isa dalam buaian dan ditempatkan secara terpencil dalam lindungan para malaikat yang diutus Tuhan.


Dan ceritakanlah Maryam di dalam Al Qur’an, yaitu ketika ia menjauhkan diri dari keluarganya ke suatu tempat di sebelah timur (QS Maryam 19:16).

maka ia mengadakan tabir dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya manusia yang sempurna (QS Maryam 19:17).

Maryam berkata: “Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa” (QS Maryam 19:18).

Ia berkata: “Sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhanmu, untuk memberimu seorang anak laki-laki yang suci” (QS Maryam 19:19).

Maryam berkata: “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusiapun menyentuhku dan aku bukan seorang pezina!”(QS Maryam 19:20).

Jibril berkata: “Demikianlah”. Tuhanmu berfirman: “Hal itu adalah mudah bagiKu; dan agar dapat Kami menjadikannya suatu tanda bagi manusia dan sebagai rahmat dari Kami; dan hal itu adalah suatu perkara yang sudah diputuskan” (QS Maryam 19:21).

Maka Maryam mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang jauh (QS Maryam 19:22).

Dari ayat-ayat di atas, nampak nyata bahwa perjuangan Mariam dapat diidentikkan dengan perjuangan seorang akhwat yang akan melahirkan tokoh satrio piningit di Indonesia. Tokoh ini adalah cerminan dari sosok Nabi Isa dengan karakteristiknya menyerupai tokoh Nabi isa. Bunda mariam adalah ibunda bani israel, demikian juga perjuangan seorang akhwat yang tengah mengandung bayi satrio piningit. Akhwat ini tidak mengandung secara fisik, melainkan mengandung secara metafora. Ini adalah hukum sunatullah yang berlaku di Indonesia saat ini. Adanya kehidupan yang penuh kesucian dari Nabi Isa masa lampau, juga dipercaya menjadi cerminan dari kehidupan satrio piningit saat ini. Buah kehidupan israel masa lampau terjadi di Indonesia. Indonesia dijanjikan sebagai buah kehidupan israel saat ini.

Kisah cinta satrio piningit dan akhwat M

Adanya seorang akhwat yang dipercaya cerminan dari bunda mariam, menjadikan dirinya sebagai ibu negara kerajaan israel yang baru yaitu di Indonesia. Kehidupan berbangsa saat ini dipimpin oleh satrio piningit yang sejatinya adalah suami dari akhwat M yang merupakan cerminan dari bunda mariam. Ketika masa perkenalan dengan satrio piningit, akhwat M memencilkan diri ke arah timur kemudian ke arah barat karena memendam rindu kepada satrio piningit, namun akan dikucilkan oleh keluarganya jika jadi menikah dengan satrio piningit. Akhirnya akhwat M membuat tabir dengan adanya halangan pertemuan dengan manusia lain. Akhirnya malaikat melindungi akhwat M ini, demikian pula tokoh satrio piningit dilindungi oleh malaikat. Satrio piningit adalah sosok manusia sempurna layaknya malaikat yang diutus oleh Tuhan. Selain itu satrio piningit adalah sosok laki-laki suci yang dilindungi kesuciannya oleh Allah. Namun karena di dunia ini banyak tersebar tabir-tabir dan jaring-jaring kehidupan yang menghalangi keduanya untuk bertemu dan melangsungkan kehidupan di tahap yang lebih lanjut, akhirnya keduanya hanya bisa bertatap muka secara tidak langsung dan saling berkomunikasi dengan media komunikasi yang tersebar di muka bumi. Akhirnya secara metafora, akhwat ini dikatakan mengandung benih kasih satrio piningit yang dipisahkan oleh tabir-tabir dimuka bumi. Namun cinta mereka berdua tak lekang dimakan zaman, dan akan senantiasa menghiasi kehidupan berbangsa di Indonesia.

Ekonometrik dari akhwat M

Dari sudut pandang kacamata ekonomis, akhwat M ini bernilai begitu tinggi, layaknya seorang ibu negara. Sebut saja ibu negara yang pernah memimpin bangsa yaitu ibu fatmawati, ibu tien soeharto, ibu Megawati Soekarnoputri, dan Ibu Ani Yudhoyono. Bahkan lebih mahal lagi karena diidentikkan dengan bunda mariam yang merupakan ibu dari bangsa israel.
Kita akan menghitung nilai rupiah dari akhwat M ini dan menkonversikannya ke benda-benda di negara Indonesia. Sebut saja sebuah fungsi yang diambil dari ayat-ayat suci di Al-Quran:

Hai saudara perempuan Harun , ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”, (Maryam 19:28)

Dari ayat di atas dapatlah dilihat bahwa ayah dari akhwat M ini bukanlah seorang laki-laki jahat dan dari golongan baik-baik. Misalkan akhwat M menghendaki sebuah mobil Ford, maka negara ini berhutang sebesar mobil ford kepada satrio piningit melalui akhwat M. Mobil ford ini yang akan dimiliki oleh satrio piningit dan menjadi modal bagi perjuangan selanjutnya. Demikian seterusnya sampai harta amanah dikuasai oleh satrio piningit dan keluarganya melalui akhwat M dan dibagikan bagi yang berkenan dan membutuhkan lewat tangan satrio piningit atau imam mahdi Indonesia.

“Salah satu tanda Imam Mahdi ialah dia amat tegas terhadap orang bawahannya, harta bendanya melimpah ruah dan amat pemaaf kepada para hamba (pekerja bawahan).” (perkataan tabiin A. Imam Tawus Ra)

Imam Mahdi memang diutus oleh Allah untuk memberkatkan harta benda sehingga melimpah ruah di sana-sini, akhirnya orang ramai jemu melihat harta benda yang bertimbun-timbun di sana-sini, sedangkan tidak seorang pun yang mahu membawanya pulang atau ambil peduli tentangnya.

Imam Mahdi juga sangat berbelas kasihan kepada golongan hamba, pekerja bawahan dan orang awam. Mereka ini sentiasa mendapat bantuan dan perhatian berat daripada Imam Mahdi sendiri. Mereka selalu dibantu, ditolong, didoakan dan dihiburkan oleh Imam Mahdi dari semasa ke semasa.

Akhirnya setiap orang merasakan mereka sentiasa diambil berat dan diperhatikan oleh Imam Mahdi, pemimpin agung mereka. Semuanya amat berpuas hati dengan pemerintahan Imam Mahdi yang amat adil lagi saksama itu.

Sumber http://satriopinandito.wordpress.com/2010/02/04/kisah-bunda-mariam-yang-mengandung-nabi-isa-as-dan-analoginya-dengan-kelahiran-satrio-piningit/

Wacana Nabi Perempuan dalam Kitab Kuning

http://www.gusdur.net/Opini/Detail/?id=41/hl=id/Wacana_Nabi_Perempuan_Dalam_Kitab_Kuning

Oleh: Nasaruddin Umar

ADA atau tidak adanya nabi perempuan sudah lama menjadi perdebatan dalam kitab-kitab kuning. Pada paruh kedua abad ke-4 H/ke-10 M, Abu Bakar Muhammad bin Mawhab al-Tujibi al-Qabri (wafat 406 H/1015 M), ulama besar di Andalusia, Spanyol, memberi pernyataan kontroversial yang menganggap perempuan boleh menjadi nabi dan bisa mendapat wahyu kenabian dari Allah SWT. Ia menunjuk Maryam, ibu Nabi Isa, sebagai seorang di antara nabi-nabi perempuan itu.

ALASAN yang dikemukakan merujuk pada dalil 'aqly (filosofis) dan dalil naqly (nash Al Quran dan hadis). Secara 'aqly, laki-laki dan perempuan sama-sama hamba dan khalifah sehingga keduanya sama-sama berhak menjadi nabi. Yang paling mulia di sisi-Nya ialah orang paling bertakwa, entah laki-laki atau perempuan (QS Al-Hujurat/49:13).

Secara naqly merujuk sejumlah ayat yang menunjukkan adanya wahyu-prasyarat seseorang dianggap sebagai nabi-diturunkan kepada perempuan salihah, misalnya secara tekstual ibu Nabi Musa mendapat wahyu (wa auhaina ila ummi musa/QS Al-Qashash: 7). Di samping itu, para perempuan tersebut didukung mukjizat yang juga menjadi syarat lain bagi seseorang disebut nabi.

Pendapat tersebut tentu saja menghebohkan kalangan ulama. Ulama besar Abu Muhammad Abdullah bin Ibrahim bin Muhammad bin Abdullah bin Ja’far al-Ashili (wafat 392 H/1001 M) termasuk yang tegas membantah pendapat Abu Bakar al-Qabri itu. Menurut Al-Ashili, kata wahyu dalam QS Al-Qashash: 7 berarti ilham, suatu inspirasi yang Allah berikan kepada manusia utama yang bukan nabi. Agak mirip dengan Tafsir Jalalain yang menyatakan makna wa auhaina dengan wahyu bersifat ilham atau penyampaian dalam bentuk mimpi.

Tafsir Al-Kasysyaf oleh Al-Zamakhsyary juga menyatakan kata auha pada diri Ummi Musa adalah wahyu melalui perantaraan malaikat, tetapi tidak dalam kapasitasnya sebagai nabiyyah; kata auha dalam ayat tersebut lebih tepat disebut penyampaian melalui ilham.

Hal senada juga dinyatakan Fakhr al-Din al-Razi (wafat 606 H/1209 M), yang menganggap perempuan tidak akan pernah menjadi nabi meskipun ada teks yang secara tegas menyatakan adanya pewahyuan terhadap perempuan. Kata auha yang diperuntukkan kepada istri Nabi Musa juga pernah dinyatakan Allah kepada lebah (wa auhaina ila al-nahl/QS Al-Nahl: 68). Dalam hal ini lebah tentu tidak mungkin mengatakannya sebagai nabi.

Dalam hal Maryam yang dianggap nabi karena adanya semacam mukjizat yang dia peroleh, menurut Ibn Katsir dalam tafsirnya, juga bukan nabi, tetapi hanya sebagai shiddiqah sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Maidah: 75, wa ummuhu shiddiqah (dan ibunya seorang yang amat benar).

Ulama yang menolak adanya nabi perempuan juga menjadikan QS Yusuf: 109 dan dengan redaksi mirip di dalam QS Al-Nahl: 43, yang menyatakan, "Kami tidak mengutus sebelum kamu, melainkan orang laki-laki (rijalan) yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri."

Kata rijalan di sini diartikan laki-laki meskipun kata rajul juga bisa berarti simbolik sebagai seseorang yang memiliki keutamaan, entah itu laki-laki atau perempuan. Laki-laki secara genetik disebut al-dzakar. Kata al-rajul sepadan dengan kata men dan al-dzakar dengan male dalam bahasa Inggris.

Kontroversi
Kontroversi ada atau tidaknya nabi perempuan ketika itu diredam Al-Mansur bin Abi Amir, yang secara de facto menjadi penguasa di bawah kontrol Bani Umayyah, dengan tetap membiarkan adanya pendukung kenabian perempuan. Beberapa saat kemudian persoalan kembali hangat dengan munculnya ulama sekaliber Abu Muhammad Ali bin Ahmad bin Hazm al-Andalusy (wafat 456 H/1064 M), yang juga mengakui adanya nabi perempuan, sebagaimana bisa dilihat di dalam karya besarnya, al-Fishash fi al-Milal wa al-Ahwai wa al-Nihal Juz V dalam topik khusus, Kenabian Perempuan (Nubuwwah al-Mar’ah).

Menurut Ibn Hazm, nubuwwah atau nabi perempuan tidak ada yang salah. Ia memulai analisisnya dengan berangkat dari pendekatan semantik kata nabiy yang berasal dari kata inba’, berarti "berita" atau "informasi". Menurut dia, nabi adalah orang yang memperoleh informasi dari Allah. Informasi ini dibedakan dalam beberapa tingkatan, antara lain informasi berupa wahyu kepada para nabi, ilham kepada para wali, ta’lim kepada para awwam, dan thabi’ah berupa informasi kepada segenap makhluk, termasuk binatang, sebagaimana halnya lebah (QS Al-Nahl: 68). Menurut dia, yang dimaksud dengan kedua ayat tersebut (QS Yusuf: 109 dan QS Al-Nahl: 43) ialah kerasulan laki-laki, tidak bisa dihubungkan dengan kenabian perempuan. Bagi Ibn Hazam, nabi tidak identik dengan rasul. Ibn Hazm mengakui tidak ada rasul perempuan, tetapi ia juga mengakui adanya nabi perempuan (Al-Fishal, juz V, h. 119).

Wahyu yang turun kepada perempuan, menurut Ibn Hazm, antara lain:

1. Istri Nabi Ibrahim diberi tahu melalui Jibril bahwa dirinya akan memperoleh anak (QS Hud: 71-73).

2. Ibu Nabi Musa yang diperintah Allah agar meletakkan anaknya di sungai dan diberi tahu anaknya nantinya akan menjadi nabi (QS Al-Qashash: 7 dan QS Thaha: 38).

3. Maryam diberi tahu akan lahirnya seorang bernama Isa dari rahimnya (QS Maryam: 17-19, Al-Maidah: 75, dan Yusuf: 46).

4. Maryam, putra Imran dan ibunda Isa, serta Asia, putra Muzahim yang juga menjadi istri Firaun, diindikasikan pula sebagai nabi mengingat intensifnya pemberitaan Al Quran tentang figur ideal perempuan tersebut (Al-Fishal, Juz V, hal 120-121).

Alasan yang digunakan Ibn Hazm dan kalangan ulama yang mendukung adanya nabi perempuan antara lain:

1. Segala jenis makhluk yang melata di Bumi masing-masing mempunyai nabi, termasuk binatang dan serangga, karena mereka juga adalah ummah, sama dengan manusia. Ia mendasarkan pandangannya pada QS Al-An’am/6: 38 {Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat-umat (juga) seperti kamu}. Demikian pula dalam QS Fathir/35: 24 {Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan (nadzir)}. Al-Nadzir, menurut Ibn Hazm, sama dengan nabi. Dicontohkan binatang yang mempunyai nabi di dalam Al Quran ialah lebah (QS Al-Nahl: 68) dan semut (S Al-Naml: 18) (Al-Fishal, Juz V, hal 149-150).

2. Ciri utama nabi ialah mendapat wahyu dari Allah, sementara beberapa perempuan mendapat wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril, misalnya ibu Nabi Musa (QS Thaha: 38 dan Al-Qashash: 7), Maryam (QS Maryam: 19-21), dan istri Nabi Ibrahim (QS Hud: 71). Ciri lain nabi ialah mendapat mukjizat. Jika yang disebut mukjizat perbuatan luar biasa muncul pada seorang nabi (yang telah mendapatkan wahyu), maka tak dapat disangkal sejumlah perempuan utama dalam Al Quran juga mendapat mukjizat. Antara lain ibu Nabi Musa yang secara luar biasa menyelamatkan anaknya dari tentara Firaun, misalnya menjatuhkan anaknya ke Sungai Nil dalam keadaan selamat (QS Hud: 71-73). Demikian halnya dengan Maryam, sang perawan yang hamil tanpa suami (QS Al-Anbiya’: 91) dan selalu mendapat keajaiban dengan hadirnya berbagai menu makanan di mihrabnya tanpa diketahui asal-usulnya (QS Ali ’Imran: 37). Istri Nabi Ibrahim atau ibu Nabi Ishaq hamil dalam usia menopause (QS Hud: 71-73) (Al-Fishal, Juz V, hal 119-121 dan Tafsir Al-Qurthubi, Juz I, hal 82-83).

3. Pengakuan akan keutamaan beberapa perempuan tadi juga diakui Rasulullah SAW dengan mengemukakan hadis dengan tiga jalur sanad berbeda, yaitu: "Ahli surga paling utama dari perempuan ialah Maryam binti Imran, Asia binti Muzahim, Khadijah binti Hubailid, dan Fathimah binti Muhammad." Atas dasar ayat-ayat yang menyatakan adanya wahyu terhadap perempuan didukung oleh hadis ini, maka dalam kitab tafsir Al-Qurthubi dinyatakan dengan tegas Maryam adalah seorang nabi (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I, hal 83).

4. Kata shiddiqah yang dialamatkan kepada Maryam merupakan kata lain dari nabi, seperti kata itu pernah diperuntukkan kepada Nabi Yusuf: Yusuf ayyuha al-shiddiq… (QS Yusuf: 46) dan Nabi Idris. Menurut Al-Qurthubi, bisa saja di satu sisi sebagai shadiqah, tetapi pada sisi lain juga sebagai nabi seperti Nabi Idris.

Kenabian perempuan
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, terdapat tiga persepsi ulama tentang kenabian perempuan. Pertama, golongan yang tidak mengakui adanya nabi dan rasul dari kalangan perempuan. Pendapat ini dianut jumhur ulama. Kedua, golongan yang mengakui adanya nabi dan rasul dari kalangan perempuan, seperti dikemukakan Abu Bakr Muhammad bin Mawhab al-Tujibi al-Qabri. Ketiga, golongan yang mengakui adanya nabi perempuan dan tidak mengakui adanya rasul perempuan, seperti pendapat Ibn Hazm.

Jika di kemudian hari ada pendapat yang mengakui adanya nabi dan atau rasul dari kalangan perempuan, sesungguhnya bukan pendapat baru. Seperti halnya boleh atau tidak bolehnya perempuan menjadi pemimpin atau imam shalat, wacana kenabian atau kerasulan perempuan sudah lama ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir klasik.

*Penulis adalah Guru Besar Ilmu Tafsir UIN Jakarta dan Rektor Institut Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ), Jakarta.

(Kompas, 6/6/2005)


Adakah Nabi Perempuan?

Sumber http://poetrifithria.multiply.com/journal/item/15/Adakah_Nabi_Perempuan

Assalamu 'alaikum wr. wb

Pertanyaan ini mungkin sepertinya agak nyeleneh, tetapi bukan makud saya untuk jadi orang yang menanyakan hal-hal yang tidak perlu.

Begini pak ustadz, kita sejak kecil diajarkan bahwa yang namanya nabi adalah orang biasa yang mendapatkan wahyu dari Allah. Kalau memang demikian pengertiannya, di dalam Al-Quran saya membaca beberapa kisah tentang para wanita yang mendapatkan wahyu dari Allah, baik langsung atau lewat malaikat.

Misalnya Ibu nabi Musa as, Maryam ibunda nabi Isa as, Asiah isteri Firaun, juga Hawwa isteri nabi Adam dan lainnya, mereka mendapatkan wahyu dari Allah. Apakah mereka ini berstatus sebagai nabi karena menerima wahyu?

Mohon penjelasan kalau pak ustadz berkenan, sebelumnya saya ucapkan jazakumullah khairal jaza',

Wassalamu 'alaikum wr. wb.

Husseini

Jawaban

Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Memang benar apa yang anda sampaikan bahwa beberapa wanita di dalam Al-Quran dikisahkan telah mendapat wahyu dari Allah SWT, baik secara langsung maupun lewat malaikat. Untuk itu mari kita buka satu persatu kisah mereka yang diabadikan di dala Al-Quran dan kita pusatkan perhatian kita kepada bentuk pemberian wahyu.

1. Ibunda Nabi Musa 'alaihissalam Menerima Wahyu

وَأَوْحَيْنَا إِلَى أُمِّ مُوسَى أَنْ أَرْضِعِيهِ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ

Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa; "Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. (QS. Al-Qashash: 7)

Di dalam ayat ini nyata tegas bahwa Allah SWT telah memberikan wahyu kepada Ibunda nabi Musa alaihissalam, yaitu untuk menyusuinya dan kemudia melemparkannya ke sungai Nil. Maka benarlah bahwa beliau telah menerima wahyu, karena Al-Quran memang telah menyebutkanya.

2. Ibunda Nabi Isa 'alaihissalam Maryam Menerima Wahyu

فَاتَّخَذَتْ مِن دُونِهِمْ حِجَابًا فَأَرْسَلْنَا إِلَيْهَا رُوحَنَا فَتَمَثَّلَ لَهَا بَشَرًا سَوِيًّا قَالَتْ إِنِّي أَعُوذُ بِالرَّحْمَن مِنكَ إِن كُنتَ تَقِيًّا

Maka Maryam mengadakan tabir (yang melindunginya) dari mereka; lalu Kami mengutus roh Kami kepadanya, maka ia menjelma di hadapannya (dalam bentuk) manusia yang sempurna.Maryam berkata, "Sesungguhnya aku berlindung dari padamu kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, jika kamu seorang yang bertakwa." (QS. Maryam: 17-18)

Sekali lagi ditegaskan di dalam Al-Quran bahwa Ibunda nabi Isa alaihissalam, Maryam Al-Batul, telah dikirimkan kepadanya seorang malaikat, yaitu Jibril 'alaihissalam dan memberikan wahyu dari Allah.

Maka benarnya bahwa seorang Maryam telah menerima wahyu dari Allah SWT, bahkan terjadi dialog antara dirinya dan malaikat Jibril utusan Allah.

Bahkan Jibril nyata tegas menyebutkan bahwa Allah SWT telah memilihnya, mensucikannya dan memilihnya dari wanita-wanita di seluruh alam.

وَإِذْ قَالَتِ الْمَلاَئِكَةُ يَا مَرْيَمُ إِنَّ اللّهَ اصْطَفَاكِ وَطَهَّرَكِ وَاصْطَفَاكِ عَلَى نِسَاء الْعَالَمِينَ يَا مَرْيَمُ اقْنُتِي لِرَبِّكِ وَاسْجُدِي وَارْكَعِي مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan (ingatlah) ketika Malaikat (Jibril) berkata, "Hai Maryam, sesungguhnya Allah telah memilih kamu, menyucikan kamu dan melebihkan kamu atas segala wanita di dunia (yang semasa dengan kamu).Hai Maryam, taatlah kepada Tuhanmu, sujud dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk. (QS. Ali Imran: 42-43)

Demikian juga dengan kisah para wanita di dalam Al-Quran yang lainnya, seperti Hawwa, Asiyah dan juga Sarah. Mereka memang disebutkan telah menerima wahyu atau diutus kepada mereka malainkat dari Allah SWT.

Namun apakah mereka langsung berstatus sebagai nabi? Dan apakah setiap orang yang didatangi malaikat pembawa wahyu juga otomatis menjadi nabi?

Mari kita cermati masalah ini secara lebih mendalam. Karena kita juga menemukan kisah-kisah lainnya yang secara tegas menggambarkan bahwa Allah SWT berbicara atau menurunkan wahyu kepada mereka, namun mereka tidak disebut sebagai nabi. Dan tidak semua orang yang didatangi Malaikat Jibril adalah Nabi.

1. Tidak Semua Yang Diajak Bicara Oleh Allah Berarti Nabi

Ada orang yang diajak berbicara oleh Allah SWT dan kita baca kisahnya dalam Al-Quran, namun tidak secara otomatis dia menjadi nabi. Misalnya, kisah tentang Dzulqarnain yang amat masyhur dan sudah kita hafal. Di dalam Al-Quran kita membaca bahwa Allah SWT berkata-kata kepadanya.

حَتَّى إِذَا بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَهَا تَغْرُبُ فِي عَيْنٍ حَمِئَةٍ وَوَجَدَ عِندَهَا قَوْمًا قُلْنَا يَا ذَا الْقَرْنَيْنِ إِمَّا أَن تُعَذِّبَ وَإِمَّا أَن تَتَّخِذَ فِيهِمْ حُسْنًا

Hingga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam, dan dia mendapati di situ segolongan umat. Kami (Allah SWT) berkata, "Hai Zulkarnain, kamu boleh menyiksa atau boleh berbuat kebaikan terhadap mereka." (QS. Al-Kahfi: 86)

Tegas dan jelas bahwa Allah berkata-kata kepada Dzulqarnain di dalam ayat ini, namun para ulama umumnya mengatakan bahwa beliau bukanlah seorang nabi. Bahkan dalam dafar 25 nama nabi yang tertera di dalam Al-Quran, beliau pun tidak disebutkan namanya. Itu menunjukkan bahwa seorang Dzulqarnain bukanlah seorang nabi. Meski namanya tertera dengan jelas di dalam Al-Quran.

2. Tidak Semua Yang Diberi Wahyu Berarti Nabi

Di dalam Al-Quran, kita juga menemukan ungkapan di mana Allah SWT memberi wahyu kepada salah satu makhluknya, namun pemberian wahyu itu tidak selalu berarti mengangkatnya menjadi seorang nabi.

Bahkan Allah memberi wahyu kepada lebah untuk membuat sarang. Tentu tidak ada nabi berbentuk lebah, bukan?

Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, "Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia", (QS. An-Nahl: 68)

Allah SWT juga memberi wahyu kepada langit yang tujuh, namun tidak ada nabi dalam bentuk langit.

Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa. Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (QS. Fushshilat: 12)

Allah SWT juga menurunkan wahyu kepada bumi dan tidak ada nabi berbentuk bumi.

Apabila bumi diguncangkan dengan guncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung) nya, dan manusia bertanya, "Mengapa bumi (jadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Tuhanmu telah mewahyukankepadanya. (QS. Az-Zalzalah: 1-5)

3. Tidak Semua 'Yang Dipilih' Berarti Nabi

Demikian juga tentang istilah: 'Allah telah memilih' seseorang, tidak selalu 'orang yang dipilih' otomatis menjadi nabi. Ada orang-orang tertentu yang disebutkan telah 'dipilih, namun mereka tidak digolongkan sebagai nabi.

Misalnya keluarga Imran, nyata dan tegas disebutkan bahwa keluarga ini telah 'dipilih', namun tidak semua keluarga Imran itu menjadi nabi. Ada sebagian yang jadi nabi namun Imrannya sendiri malah bukan nabi.

إِنَّ اللّهَ اصْطَفَى آدَمَ وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيمَ وَآلَ عِمْرَانَ عَلَى الْعَالَمِينَ

Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (di masa mereka masing-masing), (QS. Ali Imran: 33)

4. Tidak Semua Yang Didatangi Malaikat (Jibril) Berarti Nabi

Demikian juga dengan didatanginya beberapa orang oleh seorang malaikat, bukan selalu secara otomatis mereka yang didatanginya itu seorang nabi.

Para shahabat Rasulullah SAW pernah didatangi oleh malaikat Jibril yang menyerupai manusia, dengan ciri pakaiannya sangat putih, rambutnya sangat hitam, tidak seorang pun yang mengenalnya dan tidak ada bekas tanda datang dari perjalanan yang jauh.

Lalu Jibril berbicara dengan nabi Muhammad SAW dengan bahasa arab yang fasih hingga semua yang hadir dapat mendengar dan paham betul apa yang sedang dibicarakan. Dan setelahnya, Rasulullah SAW menegaskan bahwa yang datang tadi itu adalah Jibril untuk memberikan pelajaran agama kepada para shahabat.

Semua shahabat yang hadir di sana tentu mendengar bagaimana Jibril menyampaikan isi ajaran dar langit. Namun tidak satu pun dari shahabat itu yang diangkat menjadi nabi.

Pendapat Yang Mengatakan Adanya Nabi Perempuan

Namun kita tidak menutup-nutupi bahwa memang benar ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa ada nabi perempuan. Dengan menggunakan dalil di atas, yakni ada di antara mereka yang didatangi malaikat, atau dipilih atau mendapat wahyu.

Di antara mereka yang berpendapat demikian adalah Ibnu Hazam, Al-Qurthubi dan Abul Hasan Al-Asy'ari. Lihat kitab Fathul Bari jilid 6 halaman 447 dan 448. Kita juga bisa merujuk tentang hal ini pada kitab Lawami'ul Anwar Al-Bahiyah jilid 2 halaman 66.

Namun pendapat mereka ini tidak bisa dianggap mewakili pendapat umumnya para ulama, sebab Al-Qadhi Iyyadh menukil bahwa jumhur ulama sepakat bahwa tidak ada nabi perempuan.

Bahkan di dalam Al-Majmu' Syarah Al-Muhazab, Al-Imam An-Nawawi mengatakan bahwaMaryam bukan seorang nabitidaklah sekedar pendapat mayoritas ulama, namun telah sampai kepada ijma'.

Dan Al-Hasan Al-Bashri di dalam Fathul Bari jilid 6 halaman 471 mengatakan bahwa tidak ada nabi dari kalangan perempuan dan dari kalangan jin.

Wallahu a'lam bishshawab, wassalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,


Ahmad Sarwat, Lc


(5) UMMUL MUKMININ

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Ummu al-Mu'minin (Arab: أمهات المؤمنين, Ibu orang-orang Beriman) adalah istilah dalam bahasa Arab yang digunakan dalam syariat Islam, merupakan penyebutan kehormatan bagi istri-istri dari Muhammad. Muslim menggunakan istilah tersebut sebelum atau sesudah nama istri beliau. Istilah ini diambil dari ayat Quran, yang berbunyi:

Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka...( Al-Ahzab ayat 6)
Nabi Muhammad seringkali disebutkan menikah dengan 11 orang perempuan. Terdapat anggapan bahwa ia menikah dengan dua orang perempuan lainnya, tetapi diceraikannya sebelum mereka sempat bersama-sama.

1) Khadijah binti Khuwailid

Ia merupakan isteri Nabi Muhammad yang pertama. Sebelum menikah dengan Nabi, ia pernah menjadi isteri dari Atiq bin Abid dan Abu Halah bin Malik dan telah melahirkan empat orang anak, dua dengan suaminya yang bernama Atiq, yaitu Abdullah dan Jariyah, dan dua dengan suaminya Abu Halah yaitu Hindun dan Zainab.

Berbagai riwayat memaparkan bahwa saat Muhammad s.a.w. menikah dengan Khadijah, umur Khadijah berusia 40 tahun sedangkan Nabi hanya berumur 25 tahun. Tetapi menurut Ibnu Katsir, seorang tokoh dalam bidang tafsir, hadis dan sejarah, mereka menikah dalam usia yang sebaya. Nabi Muhammad s.a.w. bersama dengannya sebagai suami isteri selama 25 tahun yaitu 15 tahun sebelum menerima wahyu pertama dan 10 tahun setelahnya hingga wafatnya Khadijah, kira-kira 3 tahun sebelum hijrah ke Madinah. Khadijah wafat saat ia berusia 50 tahun.

Ia merupakan isteri nabi Muhammad s.a.w. yang tidak pernah dimadu, karena semua isterinya yang dimadu dinikahi setelah wafatnya Khadijah. Di samping itu, semua anak Nabi kecuali Ibrahim adalah anak kandung Khadijah.

Maskawin dari nabi Muhammad s.a.w. sebanyak 20 bakrah dan upacara perkawinan diadakan oleh ayahnya Khuwailid. Riwayat lain menyatakan, upacara itu dilakukan oleh saudaranya Amr bin Khuwailid.

Pernikahannya dengan Khadijah menghasilkan keturunan hanya enam orang, yaitu: Al Qasim, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, Fatimah, dan Abdullah.

Al Qosim mendapat julukan Abul Qosim, sedangkan Abdullah mempunyai julukan at Thoyib at Thohir yang berarti "Yang Bagus dan Lagi Suci".


2) Sawdah binti Zam'ah

Nabi menikah dengan Sawdah setelah wafatnya Khadijah dalam bulan itu juga. Sawdah adalah seorang janda tua. Suami pertamanya ialah al-Sakran bin Amr. Sawdah dan suaminya al-Sakran adalah di antara mereka yang pernah berhijrah ke Habsyah. Saat suaminya meninggal dunia setelah pulang dari Habsyah, maka Rasulullah telah mengambilnya menjadi isteri untuk memberi perlindungan kepadanya dan memberi penghargaan yang tinggi kepada suaminya.

Acara pernikahan dilakukan oleh Salit bin Amr. Riwayat lain menyatakan upacara dilakukan oleh Abu Hatib bin Amr. Maskawinnya ialah 400 dirham.


3) Aisyah binti Abu Bakar

Akad nikah diadakan di Mekkah sebelum Hijrah, tetapi setelah wafatnya Khadijah dan setelah nabi Muhammad menikah dengan Saudah. Ketika itu Aisyah berumur 6 tahun. Rasulullah tidak bersama dengannya sebagai suami isteri melainkan setelah berhijrah ke Madinah. Ketika itu, Aisyah berumur 9 tahun sementara nabi Muhammad berumur 53 tahun.

Aisyah adalah satu-satunya isteri rasulullah yang masih gadis pada saat dinikahi. Saat itu Aisyah berumur 9. Upacara dilakukan oleh ayahnya Abu Bakar dengan maskawin 400 dirham. Hadits mengenai umur St ‘Aisyah RA tatkala dinikahkan adalah problematis, alias dhaif. Beberapa riwayat yang termaktub dalam buku-buku Hadits berasal hanya satu-satunya dari Hisyam ibn ‘Urwah yang didengarnya sendiri dari ayahnya. Mengherankan mengapa Hisyam saja satu-satunya yang pernah menyuarakan tentang umur pernikahan St ‘Aisyah RA tersebut. Bahkan tidak oleh Abu Hurairah ataupun Malik ibn Anas. Itupun baru diutarkan Hisyam tatkala telah bermukim di Iraq. Hisyam pindah bermukim ke negeri itu dalam umur 71 tahun. Mengenai Hisyam ini Ya’qub ibn Syaibah berkata: “Yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpecaya, kecuali yang disebutkannya tatkala ia sudah pindah ke Iraq.” Syaibah menambahkan, bahwa Malik ibn Anas menolak penuturan Hisyam yang dilaporkan oleh penduduk Iraq (Tahzib alTahzib, Ibn Hajar alAsqalani, Dar Ihya alTurath alIslami, jilid II, hal.50). Termaktub pula dalam buku tentang sketsa kehidupan para perawi Hadits, bahwa tatkala Hisyam berusia lanjut ingatannya sangat menurun (alMaktabah alAthriyyah, Jilid 4, hal.301). Alhasil, riwayat umur pernikahan St ‘Aisyah RA yang bersumber dari Hisyam ibn ‘Urwah, tertolak. Untuk selanjutnya terlebih dahulu dikemukakan peristiwa secara khronologis: - pre 610 Miladiyah (M): zaman Jahiliyah - 610 M: Permulaan wahyu turun - 610 M: Abu Bakr RA masuk Islam - 613 M: Nabi Muhammad SAW mulai menyiarkan Islam secara terbuka - 615 M: Ummat Islam Hijrah I ke Habasyah - 616 M: Umar bin al Khattab masuk Islam - 620 M: St ‘Aisyah RA dinikahkan - 622 M: Hijrah ke Madinah - 623/624 M: St ‘Aisyah serumah sebagai suami isteri dengan Nabi Muhammad SAW Menurut Tabari: Keempat anak Abu Bakr RA dilahirkan oleh isterinya pada zaman Jahiliyah, artinya pre-610 M. (Tarikh alMamluk, alTabari, Jilid 4, hal.50). Tabari meninggal 922 M. Jika St ‘Aisyah dinikahkan dalam umur 6 tahun berarti St ‘Aisyah lahir tahun 613 M. Padahal manurut Tabari semua keempat anak Abu Bakr RA lahir pada zaman Jahiliyah, yaitu pada tahun sebelum 610 M. Alhasil berdasar atas Tabari, St ‘Aisyah RA tidak dilahirkan 613 M melainkan sebelum 610. Jadi kalau St ‘Aisyah RA dinikahkan sebelum 620 M, maka beliau dinikahkan pada umur di atas 10 tahun dan hidup sebagai suami isteri dengan Nabi Muhammad SAW dalam umur di atas 13 tahun. Jadi kalau di atas 13 tahun, dalam umur berapa? Untuk itu marilah kita menengok kepada kakak perempuan St ‘Aisyah RA, yaitu Asmah. Menurut Abd alRahman ibn abi Zannad: “Asmah 10 tahun lebih tua dari St ‘Aisyah RA (alZahabi, Muassasah alRisalah, Jilid 2, hal.289). Menurut Ibn Hajar alAsqalani: Asmah hidup hingga usia 100 tahun dan meninggal tahun 73 atau 74 Hijriyah (Taqrib al Tahzib, Al-Asqalani, hal.654). Alhasil, apabila Asmah meninggal dalam usia 100 tahun dan meninggal dalam tahun 73 atau 74 Hijriyah, maka Asma berumur 27 atau 28 tahun pada waktu Hijrah, sehingga St ‘Aisyah berumur (27 atau 28) - 10 = 17 atau 18 tahun pada waktu Hijrah, dan itu berarti St ‘Aisyah mulai hidup berumah tangga dengan Nabi Muhammad SAW pada waktu berumur 19 atau 20 tahun. WaLlahu a’lamu bishshawab.


4) Hafshah binti Umar bin al-Khattab

Hafsah seorang janda. Suami pertamanya Khunais bin Hudhafah al-Sahmiy yang meninggal dunia saat Perang Badar. Ayahnya Umar meminta Abu Bakar menikah dengan Hafsah, tetapi Abu Bakar tidak menyatakan persetujuan apapun dan Umar mengadu kepada nabi Muhammad. Kemudian rasulullah mengambil Hafsah sebagai isteri. Hafsah Binti Umar (wafat 45 H)

Hafshah binti Umar bin Khaththab adalah putri seorang laki-laki yang terbaik dan mengetahui hak-hak Allah dan kaum muslimin. Umar bin Khaththab adalah seorang penguasa yang adil dan memiliki hati yang sangat khusyuk. Pernikahan Rasulullah . dengan Hafshah merupakan bukti cinta kasih beliau kepada mukminah yang telah menjanda setelah ditinggalkan suaminya, Khunais bin Hudzafah as-Sahami, yang berjihad di jalan Allah, pernah berhijrah ke Habasyah, kemudian ke Madinah, dan gugur dalam Perang Badar. Setelah suami anaknya meninggal, dengan perasaan sedih, Urnar menghadap Rasulullah untuk mengabarkan nasib anaknya yang menjanda. Ketika itu Hafshah berusia delapan belas tahun. Mendengar penuturan Umar, Rasulullah memberinya kabar gembira dengan mengatakan bahwa beliau bersedia menikahi Hafshah.

Jika kita menyebut nama Hafshah, ingatan kita akan tertuju pada jasa-jasanya yang besar terhadap kaum muslimin saat itu. Dialah istri Nabi yang pertama kali menyimpan Al-Qur’an dalam bentuk tulisan pada kulit, tulang, dan pelepah kurma, hingga kemudian menjadi sebuah kitab yang sangat agung.


5) Hindun binti Abi Umayyah (Ummu Salamah)

Salamah seorang janda tua mempunyai 4 anak dengan suami pertama yang bernama Abdullah bin Abd al-Asad. Suaminya syahid dalam Perang Uhud dan saudara sepupunya turut syahid pula dalam perang itu lalu nabi Muhammad melamarnya. Mulanya lamaran ditolak karena menyadari usia tuanya. Alasan umur turut digunakannya ketika menolak lamaran Abu Bakar dan Umar al Khattab.

Lamaran kali kedua nabi Muhammad diterimanya dengan maskawin sebuah tilam, mangkuk dari sebuah pengisar tepung.


6) Ramlah binti Abu Sufyan (Ummu Habibah)

Dalam perjalanan hidupnya, Ummu Habibah banyak mengalami penderitaan dan cobaan yang berat. Setelah memeluk Islam, dia bersama suaminya hijrah ke Habasyah. Di sana, ternyata suaminya murtad dari agama Islam dan beralih memeluk Nasrani. Suaminya kecanduan minuman keras, dan meninggal tidak dalam agama Islam. Dalam kesunyian hidupnya, Ummu Habibah selalu diliputi kesedihan dan kebimbangan karena dia tidak dapat berkumpul dengan keluarganya sendiri di Mekah maupun keluarga suaminya karena mereka sudah menjauhkannya. Apakah dia harus tinggal dan hidup di negeri asing sampai wafat?

Allah tidak akan membiarkan hamba-Nya dalam kesedihan terus-menerus. Ketika mendengar penderitaan Ummu Habibah, hati Rasulullah sangat tergerak sehingga beliau rnenikahinya dan Ummu Habibah tidak lagi berada dalam kesedihan yang berkepanjangan. Hal itu sesuai dengan firman Allah bahwa: Nabi itu lebih utama daripada orang lain yang beriman, dan istri-istri beliau adalah ibu bagi orang yang beriman.

Keistimewaan Ummu Habibah di antara istri-istri Nabi lainnya adalah kedudukannya sebagai putri seorang pemimpin kaum musyrik Mekah yang memelopori perientangan terhadap dakwah Rasulullah dan kaum muslimin, yaitu Abu Sufyan.

A. Masa Kecil dan Nasab Pertumbuhannya

Ummu Habibah dilahirkan tiga belas tahun sebelum kerasulan Muhammad Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. dengan nama Ramlah binti Shakhar bin Harb bin Uinayyah bin Abdi Syams. Ayahnya dikenal dengan sebutan Abu Sufyan. Ibunya bernama Shafiyyah binti Abil Ashi bin Umayyah bin Abdi Syams, yang merupakan bibi sahabat Rasulullah, yaitu Utsman bin Affan r.a.. Sejak kecil Ummu Habibah terkenal memiliki kepribadian yang kuat, kefasihan dalam berbicara, sangat cerdas, dan sangat cantik.

B. Pernikahan, Hijrah, dan Penderitaannya

Ketika usia Ramlah sudah cukup untuk menikah, Ubaidillah bin Jahsy mempersunting- nya, dan Abu Sufyan pun menikahkan mereka. Ubaidillah terkenal sebagai pemuda yang teguh memegang agama Ibrahirn a.s.. Dia berusaha menjauhi minuman keras dan judi, serta berjanji untuk memerangi agama berhala. Ramlah sadar bahwa dirinya telah menikah dengan seseorang yang bukan penyembah berhala, tidak seperti kaumnya yang membuat dan menyembah patung-patung. Di dalarn hatinya terbersit keinginan untuk mengikuti suaminya memeluk agama Ibrahim a.s.

Sementara itu, di Mekah mulai tersebar berita bahwa Muhammad datang membawa agama baru, yaitu agama Samawi yang berbeda dengan agama orang Quraisy pada umumnya. Mendengar kabar itu, hati Ubaidillah tergugah, kemudian menyatakan dirinya memeluk agama baru itu. Dia pun mengajak istrinya, Ramlah, untuk memeluk Islam bersamanya.

Mendengar misi Muhammad berhasil dan maju pesat, orang-orang Quraisy menyatakan perang terhadap kaum muslimin sehingga Rasulullah memerintahkan kaum muslimin untuk berhijrah ke Habasyah. Di antara mereka terdapat Ramlah dan suaminya, Ubaidillah bin Jahsy. Setelah beberapa lama mereka menanggung penderitaan berupa penganiayaan, pengasingan, bahkan pengusiran dan keluarga yang terus mendesak agar mereka kembali kepada agama nenek moyang. Ketika itu Ramlah tengah mengandung bayinya yang pertama. Setibanya di Habasyah, bayi Ramlah lahir yang kemudian diberi nama Habibah. Dari nama bayi inilah kemudian nama Ramlah berubah menjadi Ummu Habibah.

Selama mereka di Habasyah terdengar kabar bahwa kaum muslimin di Mekah semakin kuat dan jumlahnya bertambah sehingga mereka menetapkan untuk kembali ke negeri asal mereka. Sementara itu, Ummu Habibah dan suaminya memilih untuk menetap di Habasyah. Di tengah perjalanan, rombongan kaum muslimin yang akan kembali ke Mekah mendengar kabar bahwa keadaan di Mekah masih gawat dan orang-orang musyrik semakin meningkatkan tekanan dan boikot terhadap kaum muslimin. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke Habasyah.

Beberapa tahun tinggal di Habasyah, kaum muslimin sangat mengharapkan kesedihan akan cepat berlalu dan barisan kaum muslimin menjadi kuat, namun kesedihan belum habis. Kondisi itulah yang menyebabkan Ubaidillah memiliki keyakinan bahwa kaum muslimin tidak akan pernah kuat. Tampaknya dia sudah putus asa sehingga sedikit demi sedikit hatinya mulai condong pada agama Nasrani, agama orang Habasyah.

Ummu Habibah mengatakan bahwa dia memimpikan sesuatu, “Aku melihat suamiku berubah menjadi manusia paling jelek bentuknya. Aku terkejut dan berkata, ‘Demi Allah, keadaannya telah berubah.’ Pagi harinya Ubaidillah berkata, ‘Wahai Ummu Habibah, aku melihat tidak ada agama yang lebih baik daripada agama Nasrani, dan aku telah menyatakan diri untuk memeluknya. Setelah aku memeluk agama Muhammad, aku akan memeluk agama Nasrani.’ Aku berkata, ‘Sungguhkah hal itu baik bagimu?’ Kemudian aku ceritakan kepadanya tentang mimpi yang aku lihat, namun dia tidak mempedulikannya. Akhirnya dia terus-menerus meminum minuman keras sehingga merenggut nyawanya.”

Demikianlah, Ubaidillah keluar dan agama Islam yang telah dia pertaruhkan dengan hijrah ke Habasyah, dengan menanggung derita, meninggalkan kampung halaman bersama istri dan anaknya yang masih kecil. Ubaidillah pun berusaha mengajak istrinya untuk keluar dari Islam, namun usahanya sia-sia karena Ummu Habibah tetap kokoh dalam Islam dan memertahankannya hingga suaminya meninggal. Ummu Habibah merasa terasing di tengah kaum muslimin karena merasa malu atas kernurtadan suaminya. Baginya tidak ada pilihan lain kecuali kembali ke Mekah, padahal orang tuanya, Abu Sufyan, sedang gencar menyerang Nabi dan kaurn muslimin. Dalam keadaan seperti itu, Ummu Habibah merasa rumahnya tidak aman lagi baginya, sementara keluarga suarninya telah meeninggalkan rumah mereka karena telah bergabung dengan Rasulullah. Akhirnya, dia kembali ke Habasyah dengan tanggungan derita yang berkepanjangan dan menanti takdir dari Allah.

C. Menjadi Ummul-Mukminin

Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. selalu memantau keadaan umat Islam, tidak saja yang berada di Mekah dan Madinah, tetapi juga yang di Habasyah. Ketika memantau Habasyahlah beliau mendengar kisah tentang Ummu Habibah yang ditinggalkan Ubaidillah dengan derita yang ditanggungnya selama ini. Hati beliau terketuk dan berniat menikahinya.

Ummu Habibah menceritakan mimpi dan kehidupannya yang suram. Dia berkata, “Dalam tidurku aku melihat seseorang menjumpaiku dan memanggilku dengan sebutan Ummul-Mukminin. Aku terkejut. Kemudian aku mentakwilkan bahwa Rasulullah akan menikahiku.” Dia melanjutkan, “Hal itu aku lihat setelah masa iddahku habis. Tanpa aku sadari seorang utusan Najasyi mendatangiku dan meminta izin, dia adalah Abrahah, seorang budak wanita yang bertugas mencuci dan memberi harum-haruman pada pakaian raja. Dia berkata, ‘Raja berkata kepadamu, ‘Rasulullah mengirimku surat agar aku mengawinkan kamu dengan beliau.” Aku menjawab, ‘Allah memberimu kabar gembira dengan membawa kebaikan.’ Dia berkata lagi, ‘Raja menyuruhmu menunjuk seorang wali yang hendak rnengawinkanmu’. Aku menunjuk Khalid bin Said bin Ash sebagai waliku, kemudian aku memberi Abrahah dua gelang perak, gelang kaki yang ada di kakiku, dan cincin perak yang ada di jari kakiku atas kegembiraanku karena kabar yang dibawanya.” Ummu Habibah kembali dan Habasyah bersarna Syarahbil bin Hasanah dengan membawa hadiah-hadiah dari Najasyi, Raja Habasyah.

Berita pernikahan Ummu Habibah dengan Rasulullah merupakan pukulan keras bagi Abu Sufyan. Tentang hal itu, Ibnu Abbas meriwayatkan firman Allah, “Mudah-mudahan Allah menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orangorang yang kamu musuhi di antara mereka. …“ (QS. Al-Mumtahanah: 7). Ayat ini turun ketika Nabi Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. menikahi Ummu Habibah binti Abi Sufyan.

D. Hidup bersama Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.

Rasululullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. mengutus Amru bin Umayyah ke Habasyah dengan membawa dua tugas, yaitu mengabari kaum Muhajirin untuk kembali ke negeri mereka (Madinah) karena posisi kaum muslimin sudah kuat serta untuk meminang Ummu Habibah untuk Rasulullah. Di tengah perjalanan kembali ke Madinah mereka mendengar berita kernenangan kaum muslimin atas kaum Yahudi di Khaibar. Kegembiraan itu pun mereka rasakan di Madinah karena saudara mereka telah kembali dan Habasyah. Rasulullah menyambut mereka yang kembali dengan suka cita, terlebih dengan kedatangan Ummu Habibah. Beliau mengajak Ummu Habibah ke dalarn rumah, yang ketika itu bersarnaan juga dengan pernikahan beliau dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhtab, putri salah seorang pimpinan Yahudi Khaibar yang ditawan tentara Islam. Ketika itu Nabi mernbebaskan dan menikahinya. Istri-istri Rasulullah lainnya menyambut kedatangan Ummu Habibah dengan hangat dan rasa hormat, berbeda dengan penyambutan mereka terhadap Shafiyyah.

Perjalanan hidup Ummu Habibah di tengah keluarga Rasulullah tidak banyak menimbulkan konflik antar istri atau mengundang amarah beliau. Selain itu, belum juga ada riwayat yang mengisahkan tingkah laku Ummu Habibah yang menunjukkan rasa cemburu.

E. Posisi yang Sulit

Telah kita sebutkan di atas tentang posisi Ummu Habibah yang istimewa di antara istri-istri Rasulullah. Ayahnya adalah seorang pemimpin kaum musyrik ketika Ummu Habibah mendapat cahaya keimanan, dan dia menghadapi kesulitan ketika harus menjelaskan keyakinan itu kepada orang tuanya.

Orang-orang Quraisy mengingkari perjanjian yang telah mereka tanda-tangani di Hudaibiyah bersama Rasulullah. Mereka menyerang dan membantai Bani Qazaah yang telah terikat perjanjian perlindungan dengan kaum muslimin. Untuk mengantisipasi hal itu, Rasulullah berinisiatif menyerbu Mekah yang di dalamnya tinggal Abu Sufyan dan keluarga Ummu Habibah. Orang-orang Quraisy Mekah sudah mengira bahwa kaum muslimin akan menyerang mereka sebagai balasan atas pembantaian atas Bani Qazaah yang mereka lakukan. Mereka sudah mengetahui kekuatan pasukan kaum muslimin sehingga mereka memilih jalan damai. Diutuslah Abu Sufyan yang dikenal dengan kemampuan dan kepintarannya dalam berdiplomasi untuk berdamai dengan Rasulullah.

Sesampainya di Madinah, Abu Sufyan tidak langsung menemui Rasulullah, tetapi terlebih dahulu rnenemui Ummu Habibah dan berusaha rnemperalat putrinya itu untuk kepentingannya. Betapa terkejutnya Ummu Habibah ketika melibat ayahnya berada di dekatnya setelah sekian tahun tidak berjumpa karena dia hijrah ke Habasyah. Di sinilah tampak keteguhan iman dan cinta Ummu Habibah kepada Rasulullah. Abu Sufyan menyadari keheranan dan kebingungan putrinya, sehingga dia tidak berbicara. Akhirnya Abu Sufyan masuk ke kamar dan duduk di atas tikar. Melihat itu, Ummu Habibah segera melipat tikar (kasur) sehingga tidak diduduki oleh Abu Sufyan. Abu Sufyan sangat kecewa melihat sikap putrinya, kemudian berkata, “Apakah kau melipat tikar itu agar aku tidak duduk di atasnya atau rnenyingkirkannya dariku?” Ummu Habibah menjawab, “Tikar ini adalah alas duduk Rasulullah, sedangkan engkau adalah orang musyrik yang najis. Aku tidak suka engkau duduk di atasnya.” Setelah itu Abu Sufyan pulang dengan merasakan pukulan berat yang tidak diduga dari putrinya. Dia merasa bahwa usahanya untuk menggagalkan serangan kaum muslimin ke Mekah telah gagal. Ummu Habibah telah menyadari apa yang akan terjadi. Dia yakin akan tiba saatnya pasukan muslim menyerbu Mekah yang di dalarnnya terdapat keluarganya, namun yang dia ingat hanya Rasulullah. Dia mendoakan kaum muslimin agar rnemperoleh kemenangan.

Allah mengizinkan kaum muslimin untuk mernbebaskan Mekah. Rasulullah bersama ribuan tentara Islam memasuki Mekah. Abu Sufyan merasa dirinya sudah terkepung puluhan ribu tentara. Dia merasa bahwa telah tiba saatnya kaum muslimin membalas sikapnya yang selama ini menganiaya dan menindas mereka. Rasulullah sangat kasihan dan mengajaknya memeluk Islam. Abu Sufyan menerrna ajakan tersebut dan menyatakan keislamannya dengan kerendahan diri. Abbas, paman Rasulullah, meminta beliau menghormati Abu Sufyan agar dirinya merasa tersanjung atas kebesarannya. Abbas berkata, “Sesungguhnya Abu Sufyan itu seorang yang sangat suka disanjung.” Di sini tampaklah kepandaian dan kebijakan Rasulullah. Beliau menjawab, “Barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, dia akan selamat. Barang siapa yang menutup pintu rumahnya, dia pun akan selamat. Dan barang siapa yang memasuki Masjidil Haram, dia akan selamat.” Begitulah Rasulullah menghormati kebesaran seseorang, dan Allah telah memberi jalan keluar yang baik untuk menghilangkan kesedihan Ummu Habibah dengan keislaman ayahnya.

F. Akhir sebuah Perjalanan

Setelah Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam. wafat, Ummu Habibah hidup menyendiri di rumahnya hanya untuk beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kejadian fitnah besar atas kematian Utsman bin Affan, dia tidak berpihak kepada siapa pun. Bahkan ketika saudaranya, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, berkuasa, sedikit pun dia tidak berusaha mengambil kesempatan untuk menduduki posisi tertentu. Dia juga tidak pernah menyindir Ali bin Abi Thalib lewat sepatah kata pun ketika bermusuhan dengan saudaranya itu. Dia pun banyak meriwayatkan hadits Nabi yang kemudian diriwayatkan kembali oleh para sahabat. Di antara hadits yang diriwayatkannya adalah: “Aku mendengar Rasulullah bersabda,

“Barang siapa yang shalat sebanyak dua belas rakaat sehari semalam, niscaya Allah akan membangun baginya rumah di surga.’ Ummu Habibah berkata, “Sungguh aku tidakpernah meninggalkannya setelab aku mendengar dari Rasulullah Shalalahu ‘Alaihi Wassalam.” (HR. Muslim)

Ummu Habibah wafat pada tahun ke-44 hijrah dalarn usia tujuh puluh tahun. Jenazahnya dikuburkan di Baqi’ bersama istri-istri Rasulullah yang lain. Semoga Allah memberinya kehormatan di sisi-Nya dan menempatkannya di tempat yang layak penuh berkah. Amin.

Sumber: Buku Dzaujatur-Rasulullah, karya Amru Yusuf, Penerbit Darus-Sa’abu, Riyadh

Diambil dari : http://ahlulhadist.wordpress.com/2007/10/04/ummu-habibah-binti-abu-sufyan-wafat-44-h664-m/


7) Juwayriyah (Barrah) binti Harits

Ayah Juwairiyah ialah ketua kelompok Bani Mustaliq yang telah mengumpulkan bala tentaranya untuk memerangi nabi Muhammad dalam Perang al-Muraisi'.

Setelah Bani al-Mustaliq tewas dan Barrah ditawan oleh Tsabit bin Qais bin al-Syammas al-Ansariy. Tsabit hendak dimukatabah dengan 9 tahil emas, dan Barrah pun mengadu kepada nabi.

Rasulullah bersedia membayar mukatabah tersebut, kemudian menikahinya.


8) Shafiyah binti Huyay

Shafiyah anak dari Huyay, ketua suku Bani Nadhir, yaitu salah satu Bani Israel yang berdiam di sekitar Madinah. Dalam Perang Khaibar, Shafiyah dan suaminya Kinanah bin al-Rabi telah tertawan. Dalam satu perundingan setelah dibebaskan, Safiyah memilih untuk menjadi isteri

nabi Muhamad. Sofiah binti Huyai bin Akhtab (wafat 50 H).

Shafiyah memiliki kulit yang sangat putih dan memiliki paras cantik, menurut Ummu Sinan Al-Aslamiyah, sehingga membuat cemburu istri-istri Muhammad yang lain. Bahkan ada istri Muhammad dengan nada mengejek, mereka mengatakan bahwa mereka adalah wanita-wanita Quraisy, wanita-wanita Arab sedangkan dirinya adalah wanita asing (Yahudi). Bahkan suatu ketika Hafshah sampai mengeluarkan lisan kata-kata, ”Anak seorang Yahudi” hingga menyebabkan Shafiyah menangis. Muhammad kemudian bersabda, “Sesungguhnya engkau adalah seorang putri seorang nabi dan pamanmu adalah seorang nabi, suamimu pun juga seorang nabi lantas dengan alasan apa dia mengejekmu?” Kemudian Muhammad bersabda kepada Hafshah, “Bertakwalah kepada Allah wahai Hafshah!” Selanjutnya manakala dia mendengar ejekan dari istri-istri nabi yang lain maka diapun berkata, “Bagaimana bisa kalian lebih baik dariku, padahal suamiku adalah Muhammad, ayahku (leluhur) adalah Harun dan pamanku adalah Musa?”[1] Shafiyah wafat tatkala berumur sekitar 50 tahun, ketika masa pemerintahan Mu'awiyah.


9) Zaynab binti Jahsy

Zaynab merupakan isteri Zaid bin Haritsah, yang pernah menjadi budak dan kemudian menjadi anak angkat nabi Muhammad s.a.w. setelah dia dimerdekakan.

Hubungan suami isteri antara Zainah dan Zaid tidak bahagia karena Zainab dari keturunan mulia, tidak mudah patuh dan tidak setaraf dengan Zaid. Zaid telah menceraikannya walaupun telah dinasihati oleh nabi Muhammad s.a.w..

Upacara pernikahan dilakukan oleh Abbas bin Abdul-Muththalib dengan maskawin 400 dirham, dibayar bagi pihak nabi Muhammad s.a.w.


10) Zaynab binti Khuzaymah[2]

Zaynab putri Khuzaymah bin al-Harits bin Abdullah bin Amr bin Abdu Manaf bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’a bin Muawiyah. Dijuluki “Ibu orang-orang miskin” karena kedermawanannya terhadap orang-orang miskin. Sebelumnya menikah dengan Muhammad, ia adalah istri dari Abdullah bin Jahsy. Ada riwayat yang mengatakan ia istri Abdu Thufail bin al-Harits, tetapi pendapat pertama adalah yang sahih. Ia dinikahi oleh Muhammad pada tahun ke 3 H dan hidup bersamanya selama hanya dua atau tiga bulan., karena Zainab binti Khuzaimah meninggal dunia sewaktu Muhammad masih hidup.

11) Maymunah binti al-Harits[3]

Maymunah binti al-Harits bin Hazn bin Bujair bin al-Harm bin Ruwaibah bin Abdullah bin Hilal bin Amir bin Sha’sha’a bin Muawiyah bibi dari Khalid bin Walid dab Abdullah bin Abbas. Rasulullah saw menikahinya di tempat yang bernama Sarif suatu tempat mata air yang berada sembilan mil dari kota Mekah. Ia adalah wanita terakhir yang dinikahi oleh Muhammad. Wafat di Sarif pada tahun 63 H.

12) Maria al-Qabtiyya[4]

Mariah al-Qibthiyah ialah satu-satunya istri Nabi yang berasal dari Mesir. Ia seorang mantan budak Nabi yang telah dinikahi dan satu-satunya pula yang dengannya Nabi memperoleh anak selain Khadijah yakni Ibrahim namun meninggal dalam usia 4 tahun. Mariyah al-Qibtiyah wafat pada 16H/637 M.

Seorang wanita asal Mesir yang dihadiahkan oleh Muqauqis, penguasa Mesir kepada Rasulullah tahun 7 H. Setelah dimerdekakan lalu dinikahi oleh Rasulullah dan mendapat seorang putra bernama Ibrahim. Sepeninggal Rasulullah dia dibiayai oleh Abu Bakar kemudian Umar dan meninggal pada masa kekhalifahan Umar.

Seperti halnya Sayyidah Raihanah binti Zaid, Mariyah al-Qibtiyah adalah budak Rasulullah yang kemudian beliau bebaskan dan beliau nikahi. Rasulullah memperlakukan Mariyah sebagaimana beliau memperlakukan istri-istri beliau yang lainnya. Abu Bakar dan Umar pun memperlakukan Mariyah layaknya seorang Ummul-Mukminin. Dia adalah istri Rasulullah satu-satunya yang melahirkan seorang putra, Ibrahirn, setelah Khadijah.

Allah menghendaki Mariyah al-Qibtiyah melahirkan seorang putra Rasulullah setelah Khadijah. Betapa gembiranya Rasulullah mendengar berita kehamilan Mariyah, terlebih setelah putra-putrinya, yaitu Abdullah, Qasim, dan Ruqayah meninggal dunia.

Mariyah mengandung setelah setahun tiba di Madinah. Kehamilannya membuat istri-istri Rasul cemburu karena telah beberapa tahun mereka menikah, namun tidak kunjung dikaruniai seorang anak pun. Rasulullah menjaga kandungan istrinya dengan sangat hati-hati. Pada bulan Dzulhijjah tahun kedelapan hijrah, Mariyah melahirkan bayinya yang kemudian Rasulullah memberinya nama Ibrahim demi mengharap berkah dari nama bapak para nabi, Ibrahim. Lalu beliau memerdekakan Mariyah sepenuhnya.




(6) Khaulah binti Tsa'labah


Wanita yang aduannya didengar Allah SWT


Nama lengkap tokoh perempuan ini adalah Khaulah binti Tsa’labah bin Ashram bin Fahar bin Tsa’labah Ghanam bin Auf. Suaminya adalah saudara dari Ubadah bin Shamit, yaitu Aus bin Shamit bin Qais. Aus bin Shamit bin Qais termasuk sahabat Rasulullah yang selalu mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan, termasuk perang Badar dan perang Uhud. Anak mereka bernama Rabi’.

Suatu hari, Khaulah binti Tsa’labah mendapati suaminya sedang menghadapi suatu masalah. Masalah tersebut kemudian memicu kemarahannya terhadap Khaulah, sehingga dari mulut Aus terucap perkataan, “Bagiku, engkau ini seperti punggung ibuku.” Kemudian Aus keluar dan duduk-duduk bersama orang-orang. Beberapa lama kemudian Aus masuk rumah dan ‘menginginkan’ Khaulah. Akan tetapi kesadaran hati dan kehalusan perasaan Khaulah membuatnya menolak hingga jelas hukum Allah terhadap kejadian yang baru pertama kali terjadi dalam sejarah islam (yaitu dhihaar). Khaulah berkata, “Tidak… jangan! Demi yang jiwa Khaulah berada di tangan-Nya, engkau tidak boleh menjamahku karena engkau telah mengatakan sesuatu yang telah engkau ucapkan terhadapku sampai Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita.”

Kemudian Khaulah keluar menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta fatwa dan berdialog tentang peristiwa tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kami belum pernah mendapatkan perintah berkenaan dengan urusanmu tersebut… aku tidak melihat melainkan engkau sudah haram baginya.” Sesudah itu Khaulah senantiasa mengangkat kedua tangannya ke langit sedangkan di hatinya tersimpan kesedihan dan kesusahan. Beliau berdo’a, “Ya Allah sesungguhnya aku mengadu tentang peristiwa yang menimpa diriku.” Tiada henti-hentinya wanita ini ini berdo’a hingga suatu ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pingsan sebagaimana biasanya beliau pingsan tatkala menerima wahyu. Kemudian setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sadar, beliau bersabda, “Wahai Khaulah, sungguh Allah telah menurunkan ayat Al-Qur’an tentang dirimu dan suamimu.” kemudian beliau membaca firman Allah yang artinya, “Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat…..” sampai firman Allah: “Dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang pedih.” (QS. Al-Mujadalah:1-4)

Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarah dhihaar, yaitu memerdekakan budak, jika tidak mampu memerdekakan budak maka berpuasa dua bulan berturut-turut atau jika masih tidak mampu berpuasa maka memberi makan sebanyak enam puluh orang miskin.

Inilah wanita mukminah yang dididik oleh islam, wanita yang telah menghentikan khalifah Umar bin Khaththab saat berjalan untuk memberikan wejangan dan nasehat kepadanya. Dalam sebuah riwayat, Umar berkata, “Demi Allah seandainya beliau tidak menyudahi nasehatnya kepadaku hingga malam hari maka aku tidak akan menyudahinya sehingga beliau selesaikan apa yang dia kehendaki, kecuali jika telah datang waktu shalat maka saya akan mengerjakan shalat kemudian kembali untuk mendengarkannya hingga selesai keperluannya.”

Alangkah bagusnya akhlaq Khaulah, beliau berdiri di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berdialog untuk meminta fatwa, adapun istighatsah dan mengadu tidak ditujukan melainkan hanya kepada Allah Ta’ala. Beliau berdo’a tak henti-hentinya dengan penuh harap, penuh dengan kesedihan dan kesusahan serta penyesalan yang mendalam. Sehingga do’anya didengar Allah dari langit ketujuh.

Allah berfirman yang artinya, “Berdo’alah kepada-Ku, niscaya akan Ku-perkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari beribadah (berdo’a) kepada–Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Al-Mu’min: 60)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda yang artinya, “Sesungguhnya Rabb kalian Yang Maha Suci lagi Maha Tinggi itu Maha Malu lagi Maha Mulia, Dia malu terhadap hamba-Nya jika hamba-Nya mengangkat kedua tangannya kepada-Nya untuk mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong (tidak dikabulkan).” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Hikmah

Tidak setiap do’a langsung dikabulkan oleh Allah. Ada faktor-faktor yang menyebabkan do’a dikabulkan serta adab-adab dalam berdo’a, diantaranya:

  1. Ikhlash karena Allah semata adalah syarat yang paling utama dan pertama, sebagaimana firman Allah yang artinya, “Maka sembahlah Allah dengan memurnikan ibadah kepada-Nya, meskipun orang-orang kafir tidak menyukai(nya).” (QS. Al-Mu’min: 14)
  2. Mengawali do’a dengan pujian dan sanjungan kepada Allah, diikuti dengan bacaan shalawat atas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan diakhiri dengan shalawat lalu tahmid.
  3. Bersungguh-sungguh dalam memanjatkan do’a serta yakin akan dikabulkan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khaulah binti Tsa’labah radhiyallahu ‘anha.
  4. Mendesak dengan penuh kerendahan dalam berdo’a, tidak terburu-buru serta khusyu’ dalam berdo’a.
  5. Tidak boleh berdo’a dan memohon sesuatu kecuali hanya kepada Allah semata.
  6. Serta hal-hal lain yang sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain hal-hal di atas, agar do’a kita terkabul maka hendaknya kita perhatikan waktu, keadaan, dan tempat ketika kita berdo’a. Disyari’atkan untuk berdo’a pada waktu, keadaan dan tempat yang mustajab untuk berdo’a. Ketiga hal tersebut merupakan faktor yang penting bagi terkabulnya do’a. Diantara waktu-waktu yang mustajab tersebut adalah:

  1. Malam Lailatul qadar.
  2. Pertengahan malam terakhir, ketika tinggal sepertiga malam yang akhir.
  3. Akhir setiap shalat wajib sebelum salam.
  4. Waktu di antara adzan dan iqomah.
  5. Pada saat turun hujan.
  6. Serta waktu, keadaan, dan tempat lainnya yang telah diberitakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Semoga Allah memberikan kita taufiq agar kita semakin bersemangat dan memperbanyak do’a kepada Allah atas segala hajat dan masalah kita. Saudariku, jangan sekali pun kita berdo’a kepada selain-Nya karena tiada Dzat yang berhak untuk diibadahi selain Allah Subhanahu wa Ta’ala dan janganlah kita berputus asa ketika do’a kita belum dikabulkan oleh Allah. Wallahu Ta’ala a’lam.

Maraji’:

  1. Wanita-wanita Teladan di Masa Rasulullah (Pustaka At-Tibyan)
  2. Do’a dan Wirid (Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawaz – Pustaka Imam Syafi’i)

***

Artikel www.muslimah.or.id


(7) Ummu Sulaim


Wanita Teladan, Maharnya Paling Mulia

Penyusun: Ummu Ishaq

Sejarah telah berbicara tentang berbagai kisah yang bisa kita jadikan pelajaran dalam menapaki kehidupan. Sejarah pun mencatat perjalanan hidup para wanita muslimah yang teguh dan setia di atas keislamannya. Mereka adalah wanita yang kisahnya terukir di hati orang-orang beriman yang keterikatan hati mereka kepada Islam lebih kuat daripada keterikatan hatinya terhadap kenikmatan dunia. Salah satu diantara mereka adalah Rumaisha’ Ummu Sulaim binti Malhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir bin Ghanam bin Adi bin Najar Al-Anshariyah Al-Khazrajiyah. Beliau dikenal dengan nama Ummu Sulaim.

Siapakah Ummu Sulaim ?

Ummu Sulaim adalah ibunda Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, salah seorang sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terkenal keilmuannya dalam masalah agama. Selain itu, Ummu Sulaim adalah salah seorang wanita muslimah yang dikabarkan masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau termasuk golongan pertama yang masuk Islam dari kalangan Anshar yang telah teruji keimanannya dan konsistensinya di dalam Islam. Kemarahan suaminya yang masih kafir tidak menjadikannya gentar dalam mempertahankan aqidahnya. Keteguhannya di atas kebenaran menghasilkan kepergian suaminya dari sisinya. Namun, kesendiriannya mempertahankan keimanan bersama seorang putranya justru berbuah kesabaran sehingga keduanya menjadi bahan pembicaraan orang yang takjub dan bangga dengan ketabahannya.

Dan, apakah kalian tahu wahai saudariku???

Kesabaran dan ketabahan Ummu Sulaim telah menyemikan perasaan cinta di hati Abu Thalhah yang saat itu masih kafir. Abu Thalhah memberanikan diri untuk melamar beliau dengan tawaran mahar yang tinggi. Namun, Ummu Sulaim menyatakan ketidaktertarikannya terhadap gemerlapnya pesona dunia yang ditawarkan kehadapannya. Di dalam sebuah riwayat yang sanadnya shahih dan memiliki banyak jalan, terdapat pernyataan beliau bahwa ketika itu beliau berkata, “Demi Allah, orang seperti anda tidak layak untuk ditolak, hanya saja engkau adalah orang kafir, sedangkan aku adalah seorang muslimah sehingga tidak halal untuk menikah denganmu. Jika kamu mau masuk Islam maka itulah mahar bagiku dan aku tidak meminta selain dari itu.” (HR. An-Nasa’i VI/114, Al Ishabah VIII/243 dan Al-Hilyah II/59 dan 60). Akhirnya menikahlah Ummu Sulaim dengan Abu Thalhah dengan mahar yang teramat mulia, yaitu Islam.

Kisah ini menjadi pelajaran bahwa mahar sebagai pemberian yang diberikan kepada istri berupa harta atau selainnya dengan sebab pernikahan tidak selalu identik dengan uang, emas, atau segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Namun, mahar bisa berupa apapun yang bernilai dan diridhai istri selama bukan perkara yang dibenci oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sesuatu yang perlu kalian tahu wahai saudariku, berdasarkan hadits dari Anas yang diriwayatkan oleh Tsabit bahwa Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Aku belum pernah mendengar seorang wanita pun yang lebih mulia maharnya dari Ummu Sulaim karena maharnya adalah Islam.” (Sunan Nasa’i VI/114).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melarang kita untuk bermahal-mahal dalam mahar, diantaranya dalam sabda beliau adalah: “Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR. Ahmad) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Abu Dawud)

Demikianlah saudariku muslimah…
Semoga kisah ini menjadi sesuatu yang berarti dalam kehidupan kita dan menjadi jalan untuk meluruskan pandangan kita yang mungkin keliru dalam memaknai mahar. Selain itu, semoga kisah ini menjadi salah satu motivator kita untuk lebih konsisten dengan keislaman kita. Wallahu Waliyyuttaufiq.

Maraji:

  1. Panduan Lengkap Nikah dari “A” sampai “Z” (Abu Hafsh Usamah bin Kamal bin ‘Abdir Razzaq),
  2. Wanita-wanita Teladan Di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (Mahmud Mahdi Al Istanbuli dan Musthafa Abu An Nashr Asy Syalabi)

(8) Shofiyah binti Abdul Muthalib


Wanita yang pintar dan perkasa


Beliau adalah Bibi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Nama beliau adalah Shafiyyah binti Abdul Muththalib bin Hisyam bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab Al Qurasyiyah Al Hasyimiyah. Selain bibi dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau adalah saudari dari singa Allah Hamzah Bin Abdul Muththalib serta ia adalah ibu dari sahabat yang agung Zubeir bin Awwam.

Shafiyyah fasih dalam lisannya dan beliau juga ahli bahasa. Tidak hanya itu saja Shafiyyah sosok ibu yang tangguh, beliau merawat dan membesarkan putranya sendiri semenjak suaminya wafat. Ia tak pernah gentar, ia adalah wanita yang memiliki tekad besar yang teguh dan memiliki berbagai prinsip luar biasa.

Tak hanya itu saja, bahkan beliau ikut dalam perang Uhud. Shafiyyah ikut mengobati tentara yang terluka dan memberi minum kepada mereka yang kehausan. Ketika kekalahan dan musibah menimpa kaum muslimin, mereka berhamburan dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan serangan secara terbuka dari kaum musyrikin. Pada saat seperti itu Shafiyyah bangkit dengan kemarahannya dan ditangannya tergenggam sebuah tombak lalu ia berdiri di hadapan kaum muslimin yang kalah dan ia berteriak kepada mereka,

“Kalian lari meninggalkan Rasulullah.”

Tragedi tersebut amat berat bagi kaum muslimin terutama sangat menyayat hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena banyak para shahabat yang wafat syahid dipotong-potong tubuhnya oleh para musyrikin. Salah satunya Hamzah paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tak lain adalah saudara Shafiyyah. Dengan kesabaran, ketabahan dan ketegaran beliau melihat jasad saudaranya yang dipotong-potong dan mengucapkan kalimat istirja’ — inna lillahi wa inna ilaihi raji’un– dan memohon ampun untuknya, yang semula putranya menghalang-halanginya karena takut beliau tidak kuat melihat musibah tersebut, namun ternyata beliau sesosok wanita yang sangat tegar. Beliau hanya berharap pahala di sisi Allah serta rela terhadap takdir Allah.

Akhir Hidupnya

Shafiyyah hidup dalam usia yang panjang lebih dari 70 tahun. Ia meninggal pada tahun 20 H pada masa Khalifah Umar bin Khaththab.

Wahai hamba Allah itulah madrasah Shafiyyah, belajarlah darinya, kekuatan tekad dalam menghadapi persoalan, keteguhan dalam menghadapi musibah dan kesabaran dalam menghadapi berbagai peristiwa yang terjadi.

Semoga Allah meridhai Shafiyyah binti Abdul Muththalib dan mensejajarkannya dengan orang terdahulu yang terbaik.

Penyusun: Ummu Hamzah Galuh Pramita Sari
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar

Maraji:
Mereka adalah Shahabiyah Penerbit At Tibyan
14 Wanita Mulia Penerbit Darul Haq



Tokoh Antagonis :

(1) Istri Nabi Nuh


Wanita yang tidak beriman tenggelam ditelan banjir


Setelah pengaduan Nabi Nuh diterima Allah SWT, Allah pun memberikan berita kepada Nabi Nuh, kelak kaumnya yang kafir itu akan ditenggelamkan. Allah memerintahkan kepada Nabi Nuh agar tidak lagi membicarakan mereka. Jangan lagi berdialog dengan mereka, jangan pula menengahi urusan mereka, sebagai balasannya, kelak mereka akan ditenggelamkan, apapun kedudukan mereka dan apapun kedekatan mereka dengan Nabi Nuh (QS. Hud: 37).

Nabi Nuh pun akhirnya menerima perintah Allah SWT untuk membuat perahu dengan petunjuk dan pengawasan-Nya. Maka mulailah Nabi Nuh menanam pohon untuk membuat perahu darinya. Ia menunggu beberapa tahun. Ibnu Katsir menerangkan, Nabi Muhammad SAW menjelaskan, Nabi Nuh menanam sebatang pohon selama 1000 tahun, hingga pohon itu tumbuh besar dan bercabang dimana-mana.

Setelah itu ia memotongnya, dan kemudian mulailah Nabi Nuh membuat perahu, lalu kaumnya yang berjalan melewatinya saat Nabi Nuh sedang serius membuat perahu mengejeknya. “Kau membuat perahu di daratan, bagaimana ia akan bisa berlayar? Sungguh Nuh telah gila!, maka Nuh pun menjawab, Kelak kalian akan mengetahui.”

Dengan kesabaran dan ketabahan luar biasa, ditengah-tengah ejekan dan cacian itu, akhirnya jadilah perahu yang besar, tinggi dan kuat. Lalu Nabi Nuh duduk menunggu perintah Allah SWT. Maka Allah mewahyukan kepada Nabi Nuh, jika ada yang mempunyai dapur (At-Tannur), ini sebagai tanda dimulainya angin topan.

Dijelaskan yang dimaksud dengan At-Tannur sebenarnya adalah alat untuk memanggang roti yang ada di dalam rumah Nabi Nuh. Jika keluar darinya air dan ia lari, itu merupakan perintah atau tanda bagi Nabi Nuh untuk bergerak.

Pada suatu hari, Tannur itu mulai menunjukkan tanda-tandanya, maka Nabi Nuh segera membuka perahunya dan mengajak orang-orang Mukimin untuk menaikinya, Jibril turun ke Bumi. Menggiring setiap binatang yang berpasangan agar setiap species binatang tidak punah dari muka bumi, sebab badai dan angin topan akan menenggelamkan semuanya. Nabi Nuh membawa burung, binatang buas, binatang yang berpasang-pasangan, sapi, gajah, semut dan lain-lain. Dalam perahu itu Nabi Nuh telah membuat kandang binatang buas.

Istri Nabi Nuh pun Tenggelam

Istri Nabi Nuh tidak beriman kepadanya, sehingga ia tidak ikut menaiki perahu. Salah seorang anaknya yang menyembunyikan kekafirannya, dengan menampakkan keimanan di depan Nabi Nuh pun tidak ikut dalam perahu itu. Mayoritas kaum Nabi Nuh waktu itu tidak beriman, sehingga mereka tidak ikut serta. Ibnu Abbas berkata, “Hanya 80 orang dari kaum Nabi Nuh yang beriman kepadanya.”

Air mulai meninggi, keluar dari celah-celah bumi. Sementara dari langit turunlah hujan yang sangat deras. Hujan semacam ini belum pernah turun sebelumnya, bahkan tidak akan pernah turun lagi sesudahnya. Maka laut pun bergolak, ombaknya menerpa apa saja dan menyapu isi bumi.

Banjir bandang terjadi dimana-mana, airpun meninggi di atas kepala manusia, melampaui ketinggian pohon yang paling tinggi, bahkan puncak gunung pun akhirnya tenggelam. Akhirnya seluruh permukaan bumi diselimuti oleh air, tak ada satupun yang selamat, kecuali yang ikut berlayar bersama perahu Nabi Nuh.

Demikianlah Allah azza wajalla menurunkan azabnya ke muka bumi. Azab itu diturunkan lantaran semua umat manusia telah berpaling dari Tuhannya.

Topan yang dialami Nabi Nuh terus berlanjut dalam beberapa zaman, kita tidak dapat mengetahui batasnya. Kemudian datanglah perintah Allah, agar langit menghentikan hujannya dan bumi tetap tenang hingga dapat menelan air bah itu.

Dan difirmankan, “Hai bumi, telanlah airmu, dan hai langit (hujan), berhentilah.” Dan airpun disurutkan, perintah pun diselesaikan, dan bahtera itu pun berlabuh di atas bukit Judi. Dan dikatakan, binasalah orang-orang yang zalim (QS. Hud: 44), yakni kehancuran bagi kaum Nabi Nuh yang ingkar terhadap firman Allah. Dengan begitu bumi telah dibersihkan dari mereka.

Disebutkan oleh pengarang kitab Ambiya Allah, hari berlabuhnya perahu Nabi Nuh di atas bukit Judi terjadi pada Asyura (hari ke 10 bulan Muharram).

Putra Nabi Nuh Ikut Tenggelam

Ketika air bah dan banjir bandang kian kencang, Nabi Nuh menyuruh kaumnya yang beriman, “Naiklah kamu sekalian ke dalam bahtera dengan menyebut nama Allah di waktu berlayar dan berlabuhnya.” (QS. Hud: 41). Sementara itu sebagian besar kaum Nabi Nuh yang tidak beriman mencari selamat dengan mendaki gunung yang paling tinggi.

Di antara kaumnya itu, di tempat terpencil dan jauh, Nabi Nuh melihat anak kesayangannya. Nabi Nuh tidak mengetahui, saat itu putranya menjadi kafir. Ia benar-benar tidak mengetahui seberapa jauh bagian keimanan yang ada pada anaknya.

Lalu tergeraklah naluri kasih sayang seorang ayah. Maka Nabi Nuh pun berseru kepada Tuhannya. “Ya Tuhanku, sesungguhnya anakku termasuk keluargaku, dan sesungguhnya janji Engkau itulah yang benar, dan Engkaulah hakim yang seadil-adilnya.” (QS. Hud: 45)

Dan Nabi Nuh pun menyeru kepada anaknya. “Hai anakku, naiklah (ke Perahu) bersama kami, dan janganlah kamu berada bersama orang-orang kafir.” Mendengar ajakan ayahnya, anaknya pun menjawab. “Aku akan mencari perlindungan ke atas Gunung yang dapat memeliharaku dari air bah.” Namun, Nabi Nuh berkata, “Tidak ada yang bisa melindungi hari ini dari azab Allah selain Allah (saja) yang maha Penyayang.” (QS. Hud: 43). Tiba-tiba gelombang menggulung dan menjadi penghalang percakapan diantara keduanya. Maka jadilah anak Nabi Nuh termasuk orang yang ditenggelamkan.

Nabi Nuh AS ingin berkata kepada Allah SWT, anaknya termasuk dalam keluarganya yang beriman, sedangkan Allah telah berjanji akan menyelamatkan keluarganya yang beriman. Tetapi Allah berkata dan menjelaskan kepada Nabi Nuh keadaan yang sebenarnya. Anak Nabi Nuh hanya berpura-pura beriman di hadapan ayahnya.

“Hai Nuh, sesungguhnya dia tidak termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan diselamatkan). Sesungguhnya perbuatannya tidak baik. Sebab itu, janganlah engkau memohon kepadaku, sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakikatnya). Aku peringatkan kepadamu, janganlah kamu termasuk orang-orang yanag tidak berpengetahuan.” (QS. Hud: 46).

Di sini terdapat pelajaran penting yang terkandung dalam ayat-ayat yang mulia itu. Allah ingin berkata Nabi nya yang mulia itu, anaknya tidak termasuk dalam keluarganya karena ia tidak beriman kepada Allah SWT. Hubungan darah bukanlah hubungan hakiki di antara manusia, sebab anak seorang Nabi pada hakikatnya adalah yang meyakini akidah, yaitu yang mengikuti Allah SWT dan Nabi-Nya, bukan yang menghindar, bukan pula yang menentangnya.


(2) Istri Nabi Luth


Wanita yang tidak beriman tertimpa azab gempa

Permisalan Istri yang Buruk dalam Al-Qur`an

sumber http://blog.re.or.id/permisalan-istri-yang-buruk-dalam-al-quran.htm

penulis Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Sakinah Mengayuh Biduk 30 - Januari - 2006 23:21:09

Di akhirat kelak tiap manusia akan menuai apa yg ia tanam di dunia. Begitu juga seorang istri. Ia akan menerima balasan sesuai dengan amalan di dunia. Sebagus apapun suami itu tidak akan memperingan dari adzab Allah.

Setiap muslimah tentu mendambakan diri dapat menjadi istri yang baik istri yang shalihah yang dipuji sebagai sebaik-baik perhiasan dunia oleh Ar-Rasul :

اَلدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ

“Dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.”1)

Sehingga seorang muslimah dituntut utk senantiasa bersungguh-sungguh menjaga diri agar tdk terpuruk dlm kejelekan dan keburukan yg berakibat kehinaan bagi dirinya. Karena ia semesti berusaha mengambil ibrah dari peristiwa atau kisah yang ada baik yang telah lampau maupun yg belakangan. I‘tibar seperti ini merupakan tuntunan dari Rabbul ‘Izzah Allah sebagaimana firman-Nya:

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي اْلأَبْصَارِ

“Maka ambillah sebagai pelajaran bagi kalian wahai orang2 yg mempunyai pandangan.”

Di dalam Al-Qur`an yang mulia Allah banyak membuat permisalan/perumpamaan untuk hamba-hamba-Nya agar mereka mau merenungkan dan memikirkannya.

وَتِلْكَ اْلأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat utk manusia agar mereka berpikir.”

Di antara gambaran istri yang buruk disebutkan dalam ayat berikut ini:

ضَرَبَ اللهُ مَثَلاَ لِلَّذِيْنَ كَفَرُوا امْرَأَةَ نُوْحٍ وَامْرَأَةَ لُوْطٍ كَانَتَا تَحْتَ عَبْدَيْنِ مِنْ عِبَادِنَا الصَّالِحِيْنَ فَخَانَتَاهُمَا فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا وَقِيْلَ ادْخُلاَ النَّارَ مَعَ الدَّاخِلِيْنَ

“Allah membuat istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir. Kedua berada di bawah ikatan pernikahan dengan dua orang hamba yang shalih di antara hamba-hamba Kami. Lalu kedua istri itu berkhianat2) kepada kedua suami mereka maka kedua suami mereka itu tidak dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah dan dikatakan kepada keduanya: ‘Masuklah kalian berdua ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk neraka’.”

Istri Nabi Nuh dan istri Nabi Luth Termasuk orang-orang Kafir, Nabi Nuh dan Nabi Luth merupakan dua insan yang Allah pilih untuk menerima risalah dan menyampaikan kepada kaum mereka. Kedua rasul yang mulia ini pun mengemban risalah dengan sebaik-baik mengajak kaum mereka yang durhaka agar kembali kepada Allah dengan mentauhidkan-Nya dan meninggalkan peribadatan kepada selain-Nya.

Namun dengan kemahaadilan-Nya Allah menakdirkan istri kedua nabi yang mulia ini justru tidak menerima dakwah suami mereka. Padahal keduanya adalah teman kala siang dan malam yang mendampingi ketika makan dan tidur selalu menyertai dan menemani. Kedua istri ini mengkhianati suami mereka dalam perkara agama karena keduanya beragama selain agama yang diserukan oleh suami mereka. Keduanya enggan menerima ajakan kepada keimanan bahkan tidak membenarkan risalah yang dibawa suami mereka.3)

Disebutkan oleh Ibnu Abbas bahwa istri Nabi Nuh berkata kepada orang-orang, “Nuh itu gila”. Bila ada seseorang yang beriman kepada Nabi Nuh ia pun mengabarkan kepada kaum yang dzalim lagi melampaui batas.4) Sementara istri Nabi Luth mengabarkan kedatangan tamu Nabi Luth kepada kaumnya.5) Padahal Nabi Luth merahasiakan kedatangan tamu karena khawatir diganggu oleh kaumnya.6)

Inilah pengkhianatan mereka kepada suami mereka. Hubungan mereka berdua dengan suami yang shalih dan kedekatan mereka tidak bermanfaat sama sekali disebabkan kekufuran mereka.7) Sehingga kelak di hari akhirat dikatakan kepada kedua istri tersebut: “Masuklah kalian berdua ke dalam neraka.”

Kedekatan Suami-Istri tanpa Disertai Keimanan Tidaklah Bermanfaat di Sisi Allah Kelak, Asy-Syaikh ‘Athiyyah Salim menyatakan: “Dalam firman Allah :

فَلَمْ يُغْنِيَا عَنْهُمَا مِنَ اللهِ شَيْئًا

“Maka kedua suami mereka itu tdk dapat membantu mereka sedikitpun dari siksa Allah.”

Ada penjelasan bahwa pertalian suami istri tidak bermanfaat sama sekali dengan adanya kekufuran dari salah satu pihak. Allah telah menerangkan apa yang lebih penting daripada hal itu pada seluruh hubungan kekerabatan seperti firman-Nya:

يَوْمَ لاَ يَنْفَعُ مَالٌ وَلاَ بَنُوْنَ

“Pada hari di mana tdk bermanfaat harta dan anak-anak.”

Dan firman-Nya:

يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيْهِ. وَأُمِّهِ وَأَبِيْهِ. وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيْهِ

“Pada hari di mana seseorang lari dari saudara dari ibu dan bapak dari istri dan anak-anaknya.”

Allah menjadikan dua wanita ini sebagai perumpamaan bagi orang-orang kafir dan ini mencakup seluruh kerabat sebagaimana yg telah kami sebutkan.

Aku pernah mendengar Asy-Syaikh -– semoga Allah merahmati kami dan beliau –- dalam muhadharah pernah membahas permasalahan ini. Beliau pun menyebutkan kisah dua wanita tersebut demikian pula kisah Nabi Ibrahim bersama ayahnya juga Nabi Nuh bersama anaknya. maka sempurnalah seluruh sisi kekerabatan: ada istri bersama suami anak bersama bapak dan bapak bersama anaknya. Beliau juga menyebutkan hadits Rasulullah :

يَا فَاطِمَةُ اعْمَلِي فَإِنِّي لاَ أُغْنِي عَنْكِ مِنَ اللهِ شَيْئًا

“Wahai Fathimah beramallah engkau karena aku tidak bisa mencukupimu dari Allah sedikitpun.”

Kemudian beliau berkata: “Hendaklah seorang muslim mengetahui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa memberikan kemanfaatan kepada orang lain pada hari kiamat kelak walaupun kerabat yang paling dekat kecuali dengan perantara keimanan pada Allah dan dengan syafaat yang diizinkan-Nya kepada hamba yang dimuliakan-Nya sebagaimana dlm firman Allah :

وَالَّذِيْنَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَتَهُمْ بِإِيْمَانٍ أَلْحَقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَتَهُمْ

“Dan orang-orang yang beriman dan diikuti oleh anak-anak turunan mereka dalam keimanan maka akan Kami gabungkan mereka itu dengan anak-anak turunan mereka.”

Al-Imam Ibnul Qayyim berkata: “Ayat-ayat ini mengandung tiga permisalan satu untuk orang-orang kafir dan dua permisalan lagi untuk kaum mukminin. Kandungan permisalan untuk orang-orang kafir yaitu bahwa orang kafir akan disiksa karena kekufuran dan permusuhan terhadap Allah dan rasul-Nya dserta para wali-Nya. Dengan kekufuran tersebut hubungan nasab tidak bermanfaat begitu juga periparan atau hubungan lain di antara sekian hubungan dengan kaum mukminin. Karena seluruh hubungan itu akan terputus pada hari kiamat kecuali pertalian yang bersambung dgn Allah saja lewat bimbingan tangan para rasul. Seandai hubungan kekerabatan periparan atau pernikahan itu bemanfaat walau tanpa disertai keimanan niscaya hubungan Nuh dgn istri dan Luth dengan istri akan bermanfaat. Namun ternyata keduanya tidak dapat menolong istri mereka dari adzab Allah sedikit pun. Bahkan dikatakan kepada istri-istri mereka: “Masuklah kalian ke dalam neraka bersama orang-orang yang masuk”.

Ayat ini memutus keinginan dan harapan orang yang berbuat maksiat kepada Allah dan menyelisihi perintah-Nya untuk mendapat kemanfaatan dari kebaikan orang lain baik dari kalangan kerabat atau orang asing sekalipun ketika di dunia hubungan antara keduanya sangatlah erat. Tidak ada hubungan yang paling dekat daripada hubungan ayah anak dan suami istri. Namun lihatlah Nabi Nuh tidak dapat menolong anak Nabi Ibrahim tidak dapat menolong ayah Nabi Nuh dan Luth tidak dapat menolong istri dari adzab Allah sedikit pun. Allah berfirman:

لَنْ تَنْفَعَكُمْ أَرْحَامُكُمْ وَلاَ أَوْلاَدُكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَفْصِلُ بَيْنَكُمْ

“Karib kerabat dan anak-anak kalian sekali-kali tidak akan bermanfaat bagi kalian pada hari kiamat. Dia akan memisahkan antara kalian.”

يَوْمَ لاَ تَمْلِكُ نَفْسٌ لِنَفْسٍ شَيْئًا

“ hari seseorang tdk berdaya sedikitpun utk menolong orang lain.”

وَاتَّقُوا يَوْمًا لاَ تَجْزِي نَفْسٌ عَنْ نَفْسٍ شَيْئًا

“Dan jagalah diri kalian dari adzab hari kiamat yang pada hari itu seseorang tidak dapat membela orang lain walau sedikitpun.”

وَاخْشَوا يَوْمًا لاَ يَجْزِي وَالِدٌ عَنْ وَلَدِهِ وَلاَ مَوْلُوْدٌ هُوَ جَازٍ عَنْ وَالِدِهِ شَيْئًا

“Takutlah kalian dengan suatu hari yang pada hari itu seorang bapak tidak dapat menolong anak dan seorang anak tidak dapat menolong bapak sedikitpun.” (I‘lamul Muwaqqi‘in 1/188 sebagaimana dinukil oleh Al-Imam Al-Qasimi dlm tafsir Mahasin At-Ta`wil 9/183-184)

Pelajaran yang bisa dipetik hubungan dan kedekatan seorang istri dengan suami yang shalih berilmu dan berakhlak mulia tidak bermanfaat sama sekali di hadapan Allah kelak bila si istri tetap berkubang dlm kejelekan dan dosa.

Adzab Allah hanya bisa dihindari dengan ketaatan bukan dengan wasilah sehingga seorang istri yang durhaka namun ia memiliki suami yang shalihah tidak akan bisa menghindar dari adzab Allah dengan perantara kedekatan dgn sang suami.

Dengan ada perintah agar istri Nuh dan istri Luth masuk ke dalam neraka Allah hendak memutus harapan tiap orang yang berbuat maksiat dari mendapatkan kemanfaatan dari keshalihan orang lain.

Seorang istri tidak pantas berkhianat kepada suami dalam kehormatan maupun dalam agamanya. Bahkan ia harus menyepakati suami dalam kebaikan dan ketaatan. Terlebih bila suami adalah seorang da‘i dia mesti menjadi orang pertama yang mengikuti dakwah suami dan mendukung dakwah sebagaimana yang dilakukan Khadijah dengan suami yang mulia Rasulullah.

Masing-masing orang harus beramal agar selamat di akhirat karena mendapatkan rahmat Allah dan tidak mengandalkan amal orang lain. Termasuk pula seorang istri ia harus bertakwa kepada Allah menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Janganlah ia tertipu dengan keberadaan suami bagaimanapun keshalihan keilmuan yang tinggi dan kedudukan yang mulia dalam agama di hadapan mad‘u- dan masyarakatnya. Jangan ia merasa cukup dengan bersuamikan seorang ustadz atau seorang syaikh sekalipun lalu ia merasa aman merasa pasti masuk surga karena kedudukan suaminya. Sehingga ia pun duduk berpangku tangan enggan untuk belajar agama Allah guna menghilangkan kejahilan dan malas pula beramal shalih. 9) Kita katakan pada orang seperti ini: Ambillah pelajaran wahai ukhti dari kisah istri dua nabi yang mulia Nuh dan Luth .

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 HR. Muslim no. 1467 kitab Ar-Radha’ bab Khairu Mata’id Du Al-Mar`atush Shalihah
2 Berkhianat di sini bukan maksud mereka berdua menyeleweng/selingkuh dgn lelaki lain yg bukan suami mereka dgn melakukan zina atau perbuatan fahisyah/keji lainnya. Karena para istri nabi terjaga dari berbuat fahisyah disebabkan kehormatan/ kemuliaan para nabi tersebut. Dengan demikian Allah k
tak mungkin memasangkan nabi dgn seorang istri yg suka melacurkan diri . Para mufassirin sepakat tdk ada seorang pun dari istri nabi yg berzina
3 Al-Mishbahul Munir fi Tahdzib Tafsir Ibni Katsir hal. 1423 Taisir Al-Karimir Rahman hal. 874
4 Ma‘alimut Tanzil/ Tafsir Al-Baghawi 4/338 Ahkamul Qur’an Al-Jashshash 4/624
5 Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dlm tafsir no. 34461 34462
6 Karena kaum Nabi Luth p
punya kebiasaan keji mereka senang melakukan hubungan dgn sesama jenis . Bila melihat seorang lelaki yg tampan mereka sangat bernafsu utk mengumbar syahwat binatang mereka. Nabi Luth p
pernah kedatangan tamu yg terdiri dari para malaikat dgn rupa lelaki yg rupawan. Allah k
kisahkan dlm Al-Qur`an:

وَلَمَّا جَاءَتْ رُسُلُنَا لُوْطًا سِيْءَ بِهِمْ وَضَاقَ بِهِمْ ذَرْعًا وَقَالَ هَذَا يَوْمٌ عَصِيْبٌ. وَجَاءَهُ قَوْمُهُ يُهْرَعُوْنَ إِلَيْهِ وَمِنْ قَبْلُ كَانُوا يَعْمَلُوْنَ السَّيِّئَاتِ قَالَ يَاقَوْمِ هَؤُلاَءِ بَنَاتِي هُنَّ أَطْهَرُ لَكُمْ فَاتَّقُوا اللهَ وَلاَ تُخْزُوْنِ فِي ضَيْفِي أَلَيْسَ مِنْكُمْ رَجُلٌ رَشِيْدٌ. قَالُوا لَقَدْ عَلِمْتَ مَا لَنَا فِي بَنَاتِكَ مِنْ حَقٍّ وَإِنَّكَ لَتَعْلَمُ مَا نُرِيْدُ. قَالَ لَوْ أَنَّ لِي بِكُمْ قُوَّةً أَوْ آوِي إِلَى رُكْنٍ شَدِيْدٍ قَالُوا يَالُوْطُ إِنَّا رُسُلُ رَبِّكَ لَنْ يَصِلُوا إِلَيْكَ فَأَسْرِ بِأَهْلِكَ بِقِطْعٍ مِنَ اللَّيْلِ وَلاَ يَلْتَفِتْ مِنْكُمْ أَحَدٌ إِلاَّ امْرَأَتَكَ إِنَّهُ مُصِيْبُهَا مَا أَصَابَهُمْ..

“Dan tatkala datang utusan-utusan Kami itu kepada Luth ia merasa susah dan merasa sempit dada krn kedatangan mereka dan ia berkata: “Ini adl hari yg amat sulit”. Akhir datanglah kaum kepada dgn bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yg keji. Luth berkata: “Wahai kaumku inilah putri-putriku mereka lbh suci bagi kalian mk bertakwalah kepada Allah dan janganlah kalian mencemarkan namaku di hadapan tamuku ini. Tidak adakah di antara kalian seorang yg berakal?” Mereka menjawab: “Sesungguh kamu telah tahu bahwa kami tdk mempunyai keinginan terhadap putri-putrimu dan sungguh kamu tentu mengetahui apa yg sebenar kami kehendaki”. Luth berkata: “Seandai aku memiliki kekuatan utk menghadapi kalian atau jika aku dapat berlindung kepada keluarga yg kuat tentu akan aku lakukan”. Para utusan itu berkata: “Wahai Luth sesungguh kami adl utusan-utusan Rabbmu sekali-kali mereka tdk akan dapat mengganggumu. Karena itu pergilah dgn membawa keluarga dan pengikut-pengikutmu di akhir malam jangan ada seorang pun di antara kalian yg tertinggal kecuali istrimu sungguh dia akan ditimpa adzab seperti yg menimpa mereka…”
7 Tafsir Abdurrazzaq Ash-Shan‘ani 3/324 Jami’ul Bayan fi Ta`wilil Qur`an/Tafsir At-Thabari 12/160-161 Taisir Al-Karimir Rahman hal. 874 Adhwa`ul Bayan 8/381
8 Seperti disebutkan dlm kelanjutan ayat di atas :

وَضَرَبَ اللهُ مَثَلاً لِلَّذِيْنَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْنَ. وَمَرْيَمَ ابْنَتَ عِمْرَانَ الَّتِي أَحْصَنَتْ فَرْجَهَا فَنَفَخْنَا فِيْهِ مِنْ رُوْحِنَا وَصَدَّقَتْ بِكَلِمَاتِ رَبِّهَا وَكُتُبِهِ وَكَانَتْ مِنَ الْقَانِتِيْنَ

“Dan Allah membuat istri Fir’aun sebagai perumpamaan bagi orang2 yg beriman ketika ia berdoa: ‘Ya Rabbku bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dlm jannah dan selamatkanlah aku dari Fir’aun dan perbuatan dan selamatkanlah aku dari kaum yg dzalim.’ Dan Maryam putri Imran yg memelihara kehormatan mk Kami tiupkan ke dlm rahim sebagian ruh Kami dan Maryam membenarkan kalimat-kalimat Rabb dan kitab-kitab-Nya. Adalah dia termasuk orang2 yg taat.”
9 Namun bagaimana ia bisa beramal dgn benar dan tepat bila tdk belajar? Bukankah al ilmu qablal qauli wal ‘amali seperti ucapan Al-Imam Al-Bukhari ketika memberi judul bab dlm Shahih.

Sumber: www.asysyariah.com


Tidak ada komentar:

Posting Komentar