“Beriman Butuh Takut, Bermaksiat Perlu Malu”
SAYA tergelitik tulisan Ilham Khoiri di Kompas berjudul, “Irshad Manji yang Saya Tahu” (Kompas.com, Senin, 7 Mei 2012)
Tulisan serupa dengan nada “membela” juga pernah ditulis di media yang sama dengan judul “Berpikir Kritis Irshad Manji”, Minggu, 4 Mei 2008.
Dengan sangat menarik, Ilham Khoiri memperkenalkan penulis buku, "The Trouble with Islam Today: A Wake-Up Call for Honesty and Change" yang ditertibkan dengan judul, "Beriman Tanpa Rasa Takut” ini sebagai seorang wanita yang pernah trauma sekolah di madrasah. Ilham Khoiri bahkan menjelaskan, Irshad pernah memilih keluar dari madrasah, dan meneruskan berlajar tentang Islam dari berbagai sumber, terutama perpustakaan. Irshad juga mendatangkan guru bahasa Arab, yang membantu dia memahami Al-Quran dalam bahasa aslinya.
"Saya memilih tetap menjadi Muslim dan menjalani ajaran Islam," paparnya menirukan Irshad.
Catatan lain dari Ilham Khoiri mengatakan, “Irshad berterus terang, tujuan hidupnya adalah meyakinkan umat Islam, terutama kaum muda, bahwa kita bisa berpikir sekaligus beriman.”
Dalam pujian lain pada Irshad Manji, penulis Kompas ini juga mengatakan, “Dia bercerita dengan jernih, jujur, dan terkadang diselipi humor. Kami berbincang banyak soal selama sekitar dua jam: Soal Islam, iman, tradisi konservatif kaum muslim, pentingnya ijtihad, kebebasan berpikir, juga tentang demokrasi.
Iman dan Rasa Takut
Umumnya para pembela Irshad Manji dan kaum liberal bertumpu pada pernghargaan terhadap kebebasan berpikir, perbedaan berpendapat, dan menumbuhkan sikap dialog. Dan itulah bahasa-bahasa umum yang dikembangkan di kalangan Barat, yang menjadikan demokrasi sebagai “agama” mereka.
“Mempertemukan iman kepada Allah, cinta, dan kebebasan berpikir”, begitulah kiria-kira harapan penulis yang juga pegiat lesbian yang hari-hari ini begitu dibela media massa nasional dan TV swasta kita.
Baik, mari kita jawab harapan Irshad itu.
Dalam Islam dikenal rukun Iman. Dan Iman kepada Allah merupakan suatu keyakinan yang sangat mendasar. Tanpa adanya iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala, seorang tidak akan beriman kepada yang lain, seperti beriman kepada malaikat, kitab-kitab, rasul-rasul Allah dan hari kiamat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا بَعِيدًا (١٣٦
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab Allah yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab Allah yang diturunkan sebelumnya, Barangsiapa yang kafir kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya,Rasul-rasul-Nya, dan hari kemudian maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya." (QS: An Nisa : 136)
Pertanyaannya, dalam Al-Quran Surat Al-A’raf:80-84, juga Surat Hud ayat 82, Allah Subhanahu Wata’ala dengan tegas melarang perbuatan kaum Luth (homoseksual atau lesbian). Tapi bagaimana mungkin seseorang mengaku pegian lesbian, masih menyebut diri beriman? Sementara ia masih melakukan perbuatan-perbuatan yang paling dibenci Allah SWT?
Dalam Islam juga dikenal istilah khauf (rasa takut kepada Allah Subhanahu Wata’ala) untuk menggiring hamba-hambaNya menuju ilmu dan amal agar mereka mendapatkan kedekatan dengan Allah. Khauf (rasa takut) inilah yang mencegah diri dari perbuatan maksiat dan mengikatnya dengan bentuk-bentuk ketaatan.
Rasa takut kepada Allah SWT yang tertanam dalam diri setiap hamba Dalam proses menuju keimanan, ada tiga pokok ibadah yang tidak boleh lepas dan ditinggalkan oleh manusia. Pertama hati selalu berzikir, kedua, lidah yang selalu menyampaikan nasihat dan kebenaran, ketiga, tubuh sebagai pelaksana dari amal-amal shalih untuk mencapai keridhaan dan menghadirkan cinta-Nya.
Selain itu, menurut bahasa, Iman artinya percaya (yakin) terhadap sesuatu. Iman menurut istilah adalah pengakuan di dalam hati, diucapkan dengan lisan dan dikerjakan dengan anggota badan. Sebagaimana hadits Nabi,
لايمان معرفة بالقلب و قول باللسا ن و عمل بالاركان (رواه الطبران
Artinya : “Iman adalah pengakuan dengan hati, pengucapan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan.” (HR Thabrani)
Sedang iman kepada Allah Subhanahu Wata’ala membutuhkan tiga unsur anggota badan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya; hati, lisan dan anggota badan. Oleh karena itu, apabila ada seseorang yang mengaku beriman kepada Allah Subhanahu Wata’a hanya dalam hati, lisan, hati dan lisan atau anggota badan saja, maka orang tersebut belum bisa dikatakan orang yang beriman alias batal keimanannya.
Pertanyaanya, apakah layak disebut beriman, seseorang yang lisannya mengaku beriman kepada Allah Subhanahu Wata’ala, sedang tubuhnya memilih melanggar dan tidak mau berhenti pada kemaksiatan?
Dalam banyak bukunya, Irshad Manji mengaku tetap beriman, namun perbuatannya tetap lebih memilih bermaksiat dengan menuruti hawa nafsunya dalam memilih sebagai seorang lesbian. Iman apa sesungguhnya yang ia pakai?
Dalam al-Quran, Allah berfirman dengan tegas;
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا آمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ
وَالْكِتَابِ الَّذِي نَزَّلَ عَلَى رَسُولِهِ وَالْكِتَابِ الَّذِي
أَنْزَلَ مِنْ قَبْلُ وَمَنْ يَكْفُرْ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ
وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
الْآخِرِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا
“Wahai orang-orang yang beriman, berimanlah kepada Allah, Rasul-Nya, dan kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, serta kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Barangsiapa yang kufur (mengingkari) Allah, Malaikat, Kitab-kitab, Rasul-rasul, dan hari akhir, maka ia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.” (QS: anNisaa’: 136).
Karenanya, jika ada orang mengaku beriman, sedang perbuatannya tak mencirikan bagimana layaknya orang beriman, sesungguhnya semua amal-amalnya tertolak.
قُلْ إِن كُنتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ
اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَّحِيمٌ
“Katakanlah (wahai Muhammad) jika kalian mencintai Allah maka ikutilah Aku niscaya Allah akan mencintai dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS: Ali ‘Imron:31)
Irshad Manji berkeliling dunia seolah ingin mengajarkan pada banyak orang, bahwa menjadi lesbian, di saat yang sama bisa disebut beriman. Apa landasan yang ia pakai dan dia gunakan?
Rosulullah bersabda: “Barangsiapa mengamalkan suatu amalan tanpa petunjuk kami maka amalan tersebut tertolak.” (HR: Muslim)
Empat Syarat Berilmu
Dalam tulisan lain, Kompas juga mengakui, Irshad belajar Islam sendiri dan mempelajari Al-Quran secara otodidak. Sesungguhnya, bukanlah sebuah masalah orang belajar sendirian. Yang menjadi masalah, ia belajar tentang hal-hal penting dalam agama Islam di, sementara di tengah keterbatasannya dan kejahilan ilmunya itu, ia justru mengkampanyekan di banyak orang untuk mencari pengikut.
Islam melarang belajar tanpa guru, khususnya belajar masalah berkaitan dengan syariah.
Empat Syarat Berilmu
Dalam tulisan lain, Kompas juga mengakui, Irshad belajar Islam sendiri dan mempelajari Al-Quran secara otodidak. Sesungguhnya, bukanlah sebuah masalah orang belajar sendirian. Yang menjadi masalah, ia belajar tentang hal-hal penting dalam agama Islam di, sementara di tengah keterbatasannya dan kejahilan ilmunya itu, ia justru mengkampanyekan di banyak orang untuk mencari pengikut.
Islam melarang belajar tanpa guru, khususnya belajar masalah berkaitan dengan syariah.
Imam Malik Bin Anas berkata: “Tidak boleh mengambil ilmu dari empat orang: 1). Orang yang bodoh walaupun hafalannya banyak (bagaikan orang yang berilmu), 2). Ahlul bid’ah yang menyeru kepada kesesatannya, 3). Orang yang terbiasa berdusta ketika berbicara dengan manusia walaupun dia tidak berdusta ketika menyampaikan ilmunya, dan 4). Orang yang sholeh, mulia dan rajin beribadah jika dia tidak hafal (dan faham) apa yang akan disampaikan.” (Siyar ‘Alamun Nubala’: 8/61)
Nabi Muhammad mengingatkan: “Barangsiapa yang belajar ilmu hikmah (spiritual) tanpa guru, berarti ia telah menunjuk setan menjadi Gurunya.”
Karenanya, Imam Al-Khotib Al-Baghdadi mengatakan, “Seyogyanya bagi para penuntut ilmu untuk belajar kepada ulama yang ma’ruf akan agama dan amanahnya.” (Al-Faqif Wal Mutafaqqif: 2/96). Itulah kehati-hatian Islam dalam memandang ilmu dan hokum-hukum Allah Subhanahu Wata’ala.
Masalahnya, bagaimana mungkin seorang
yang belajar agama dan syariah Islam secara otodidak, tanpa seorang guru
(Kompas bahkan menyebutnya belajar Islam hanya melalui perpustakaan)
tanpa melalui orang-orang alim (ulama), tetapi ia kemudian merasa lebih
tau dari para alim-ulama –bahkan—dari Al-Quran itu sendiri. Pantaskah
orang seperti ini mengajari orang tentang hakekat iman?
Ijtihad dan syarat Mujtahid
Hal yang sering disematkan media dan para wartawan pembela paham
liberal kepada orang seperti Irshad Manji adalah julukan sebagai
“seorang yang telah melakukan ‘Ijtihad”. Ijtihad menurut pengertian kebahasaannya bermakna “badal al wus” wal
mahud” (pengerahan daya kemampuan), dalam suatu aktivitas dari
aktivitas-aktivitas yang sukar dan berat. Ibnu Hazm mengatakan; “Ijtihad dalam syariat ialah pencurahan
kemampuan dalam mendapatkan hukum suatu kasus di mana hukum itu tidak
dapat diperoleh.”
Orang yang melakukan ijtihad disebut mujtahid. Ijtihad diberlakukan dalam berbagai bidang, mencakup akidah, mu’amalah (fiqih), dan falsafat.
Hanya saja yang menjadi masalah penting, tidak semua orang, secara tiba-tiba bisa disebut mujtahid atau telah melakukan ijtihad.
Sekurang-kurangnya menurut pakar fikih ada 8 persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid. (Prof. Dr. Tgk. M. Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan 7 syarat penting) di antaranya: Mengetahui segala Ayat dan Sunnah yang berhubungan dengan hokum (Islam), Mengetahui masalah-masalah yang telah di ijma`kan oleh para ahlinya, mengetahui Nasakh Mansukh, mengetahui dengan sempurna bahasa Arab dan ilmu-ilmunya dengan mendalam (nahwu, sharaf, bayan, ma`anie dan badie), mengetahui Ushul Fiqih, mengetahui Asrarusysyari`ah (Rahasia-rahasia Tasyri`), mengetahui Qawa`idil Fiqhi (qaedah-qaedah fiqih yang kulliyah yang diistinbathkan dari dalil-dalil Kully dan maksud-maksud Syara').
Namun Imam al Ghazali menyatakan mujtahid mempunyai dua syarat: Pertama; mengetahui dan menguasai ilmu syara’ (syariah), mampu melihat yang zhanni di dalam hal-hal yang syara ‘dan mendahulukan yang wajib. Kedua; adil, menjauhi segala maksiat yang mencari sifat dan sikap keadilan (`adalah).
Menurut
Asy Syathibi, seseorang dapat diterima sebagai mujtahid apabila
mempunyai dua sifat: Mengerti dan paham akan tujuan syari`at dengan
sepenuhnya, sempurna dan menyeluruh, Mampu melakukan istimbath
berdasarkan faham dan pengertian terhadap tujuan-tujuan syari`at
tersebut. Dalam Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) seorang aktifis
feminis membanggakannya sosok Irshad Manji sebagai seorang ”lesbian”
yang gigih melakukan “ijtihad”. Dalam artikel berjudul, “Irshad Manji,
Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad” jurnal menulis,”Manji
sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di
Indonesia.”
Pertanyaannya, apakah pantas seorang yang dalam bukunya banyak “menghina”, Nabi dan perintah Allah Subhanahu Wata’a, bahkan di saat yang sama ia masih mempraktikkan perbuatan yang dilarang Allah disebut seorang mujtahid atau orang yang layak melakukan ijtihad?
Akhirul kalam, pesan ini saya sampaikan kepada media,
penulis dan para wartawan yang membela mati-matian –bahkan ikut
mengundang—orang-orang seperti Irshad Manji mengkampanyekan
kekeliruannya. Ingatlah, bahwa isyarat atau ucapan yang kita berikan kepada orang yang akan berbuat maksiat, dihukumi sebagai maksiat pula.
ان الإعانة علي المعصية ولو بكلمة او اشارة معصية
“Sesungguhnya membantu kemaksiatan itu termasuk dihukumi perbuatan maksiat,meskipun hanya dengan satu ucapan atau satu isyarat.” (Bidayatul Hidayah, hal.3)
Irshad Manji bukanlah seorang ulama, pakar fikih, atau orang yang ahli dalam Islam, yang patut kita jadikan rujukan. Sebaliknya, dengan paham demokrasi, Barat menyanjungnya, seolah-olah dia tokoh panutan yang layak mengajari umat Islam tentang cinta, iman dan keyakinan.
Yang menyedihkan, orang-orang yang butuh pengobatan secara serius seperti Irshad justu didatangkan oleh lembaga-lembaga bernama pers dan media massa untuk menceramahi 200 juta penduduk Muslim yang sehat perlilaku dan pikirannya.
Sebuah hadits Nabi mengatakan;
من أَعاَنَ عَلَى مَعْصِيَةٍ وَلَوْ بِشَطْرِ كَلِمَةٍ كاَنَ شَرِيْكاً فِيْهاَ
“Barangsiapa yang menolong kemaksiatan walaupun hanya dengan setengah kalimat, maka ia telah terlibat dalam maksiat tersebut.” Allahu a'alam bish shawab.
*/AF Maulana, penulis masalah keagamaan
Sumber kutipan http://www.hidayatullah.com/read/22559/07/05/2012/%93beriman-butuh-takut%2C-bermaksiat-perlu-malu%94.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar