Irshad Manji: Idola Kaum Liberal!
Sejumlah orang yang akan berdialog dengan kaum liberal saya beri
saran agar jangan pakai dalil ayat-ayat al-Quran. Sebab, banyak kaum
liberal yang sudah tidak percaya lagi pada keotentikan al-Quran,
sehingga tidak ada gunanya dalil al-Quran untuk mereka. Memang ada
diantara mereka yang masih percaya al-Quran sebagai wahyu Allah, tetapi
banyak pula diantara mereka yang memiliki pandadangan dan penafsiran yang berbeda.
Jika
tafsirnya kita kritik, mereka pun tak segan-segan menyatakan, ”Itu kan
penafsiran anda! Penafsiran saya tidak begitu!” Mereka banyak yang sudah
berpandangan bahwa hanya Tuhan saja yang tahu penafsiran yang
sebenarnya. Manusia boleh menafsirkan al-Quran semaunya, dan semuanya
tidak dapat disalahkan. Karena itu, ada yang menyatakan, bahwa perbedaan
antara Islam dan Ahmadiyah, hanyalah soal perbedaan tafsir saja, karena
itu jangan saling menyalahkan, karena semua penafsiran adalah relatif. Yang tahu kebenaran yang mutlak, hanya Allah saja.
Memang, soal
utama antara Islam dan Ahmadiyah, adalah masalah tafsir. Tapi, ada
tafsir yang salah dan ada tafsir yang benar. Semua manusia yang masih
berakal (tidak gila), bisa saja menafsiran al-Quran. Tapi, tidak semua
tafsir itu benar, sebagaimana klaim kaum liberal. Ada tafsir yang salah.
Misalnya, kalau ada yang menafsirkan ayat ”Wa-aqimish shalaata lidzikri”,
bahwa tujuan salat adalah mengingat Allah. Maka, jika sudah ingat
Allah, berarti tujuan sudah tercapai, dan tidak perlu salat lagi. Tafsir
semacam ini tentu saja tafsir yang salah.
Contoh lain, dalam buku Eik Ghalthi ka Izalah
(Memperbaiki Suatu Kesalahan) karya Mirza Ghulam Ahmad (terbitan
Ahmadiyah Cabang Bandung tahun 1993), hal. 5, tertulis pengakuan Ghulam
Ahmad yang mendapat wahyu berbunyi: ”Muhammadur Rasulullah wal-ladziina ma’ahu asyiddaa’u ’alal kuffaari ruhamaa’u baynahum.” Lalu, dia komentari ayat tersebut: ”Dalam wahyu ini Allah swt menyebutkan namaku ”Muhammad” dan ”Rasul”.”
Ayat
tersebut jelas terdapat dalam al-Quran (QS 48:29). Kaum Muslim yakin
seyakin-yakinnya, bahwa ”Muhammadur Rasulullah” di situ menunjuk kepada
Nabi Muhammad saw yang lahir di Mekkah; bukan merujuk kepada Mirza
Ghulam Ahmad yang lahir di India. Jika Ghulam Ahmad membuat tafsir bahwa
dia adalah juga Muhammad sebagaimana ditunjuk dalam ayat tersebut, maka
tafsir Ghulam Ahmad semacam itu jelas tafsir yang salah.
Akan
tetapi, kaum liberal akan menyatakan, bahwa Ghulam Ahmad juga berhak
membuat tafsir sendiri, dan tidak boleh disalahkan atau disesatkan.
Anehnya, kalau umat Islam punya pandangan dan sikap yang berbeda dengan
kaum liberal, maka akan disalah-salahkan, dicap fundamentalis, radikal,
tidak toleran, dan sebagainya. Jadi, kita dilarang menyalahkan yang
salah, tetapi kaum liberal boleh menyalahkan pendapat yang tidak sesuai
dengan mereka.
Sebagaimana
pernah kita bahas dalam beberapa CAP, aksi kaum liberal dalam menyerang
al-Quran dari waktu ke waktu semakin brutal. Berlindung di balik wacana
kebebasan, mereka tidak segan-segan lagi menyerang dan menistakan
al-Quran secara terbuka. Apa yang pernah terjadi di IAIN Surabaya tahun
2006, ketika seorang dosen menginjak-injak lazadz Allah yang ditulisnya
sendiri, tampaknya hanyalah fenomena gunung es belaka. Sejumlah buku,
jurnal, dan artikel terbitan kaum liberal di Indonesia sudah secara
terbuka menyerang al-Quran. Kita masih ingat, bagaimana jurnal Justisia Fakultas Syariah IAIN Semarang secara semena-mena menyerang al-Quran, dengan menyatakan:
”Karenanya,
wajar jika muncul asumsi bahwa pembukuan Qur’an hanya siasat bangsa
Quraisy, melalui Usman, untuk mempertahankan hegemoninya atas masyarakat
Arab [dan Islam]. Hegemoni itu tampak jelas terpusat pada
ranah kekuasaan, agama dan budaya. Dan hanya orang yang mensakralkan
Qur’anlah yang berhasil terperangkap siasat bangsa Quraisy tersebut.”
.
Yang
kita heran, orang-orang ini adalah bagian dari kalangan akademisi yang
seharusnya menjunjung tinggi tradisi intelektual yang sehat. Tapi,
faktanya, mereka sering mengungkapkan pendapat tanpa didukung oleh
data-data yang memadai. Belakangan ini, kaum liberal di Indonesia sedang
gandrung-gandrungnya pada seorang wanita lesbian bernama Irshad Manji.
Kedatangannya di Indonesia pada bulan April 2008 disambut meriah. Dia
dipuji-puji sebagai wanita muslimah yang hebat. Seorang wanita alumnus
UIN Jakarta bernama Nong Darol Mahmada menulis sebuah artikel di Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Kata si Nong: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”
Hari
Kamis (14/8/2008), saya diundang untuk menghadiri satu acara bedah buku
tentang FPI di kantor Majalah Gatra. Tanpa saya tahu, penerbit buku
tentang FPI tersebut (Nun Publisher) adalah juga penerbit buku Irshad
Manji yang edisi Indonesianya diberi judul Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini. Di sampul depan buku ini, Manji ditulis sebagai ”Satu dari Tiga Muslimah Dunia yang Menciptakan Perubahan Positif dalam Islam.” Disebutlah buku ini sebagai sebagai ”International Best Seller, New York Times Bestseller, dan telah diterbitkan di 30 negara.” Pokoknya, membaca promosi di sampulnya, sepertinya, buku ini sangat hebat.
Tapi, sebenarnya, isinya kurang memenuhi standar ilmiah. Banyak celotehan Irshad Manji, ke
sana kemari, hantam sana, hantam sini, tanpa ada rujukan yang bisa
dilacak kebenarannya. Maka, saya heran, bagaimana kaum liberal sampai
membangga-banggakan buku karya Irshad Manji ini? Seperti inikah sosok
idola kaum liberal, sampai dijuluki ”lesbian mujathidah”? Apa karena Manji sangat liberal dan secara terbuka menyatakan diri sebagai lesbi, maka sosok ini dijadikan idola?
Buku
Manji ini menggugat sejumlah ajaran pokok dalam Islam, termasuk
keimanan kepada keotentikan al-Quran dan kema’shuman Nabi Muhammad saw.
Manji secara terbuka menggugat ini. Ia katakan:
”Sebagai seorang pedagang buta huruf, Muhammad bergantung
pada para pencatat untuk mencatat kata-kata yang didengarnya dari
Allah. Kadang-kadang Nabi sendiri mengalami penderitaan yang luar biasa
untuk menguraikan apa yang ia dengar. Itulah bagaimana ”ayat-ayat setan”
– ayat-ayat yang memuja berhala – dilaporkan pernah diterima oleh
Muhammad dan dicatat sebagai ayat otentik untuk al-Quran. Nabi kemudian mencoret
ayat-ayat tersebut, menyalahkan tipu daya setan sebagai penyebab
kesalahan catat tersebut. Namun, kenyataan bahwa para filosof muslim
selama berabad-abad telah mengisahkan cerita ini sungguh telah
memperlihatkan keraguan yang sudah lama ada terhadap kesempurnaan
al-Quran.” (hal. 96-97).
Cerita
yang diungkap oleh Manji itu memang favorit kaum orientalis untuk
menyerang al-Quran dan Nabi Muhammad saw. Cerita itu populer dikenal
sebagai kisah gharanik. Riwayat cerita ini sangat lemah dan palsu. Haekal, dalam buku biografi Nabi Muhammad saw, menyebut
cerita tersebut tidak punya dasar, dan merupakan bikinan satu kelompok
yang melakukan tipu muslihat terhadap Islam. Karen Armstrong, dalam
bukunya, Muhammad: A Biography of the Prophet juga membahas masalah ini dalam satu bab khusus.
Kisah ”ayat-ayat setan” itu kemudian diangkat juga oleh Salma Rushdie menjadi judul novelnya: The Satanic Verses (Ayat-ayat Setan).
Novel yang terbit pertama tahun 1988 ini memang sangat biadab dalam
menghina Nabi Muhammad saw, para sahabat, dan istri-istri beliau.
Menurut Armstrong, cerita dalam novel Salman Rushdi ini mengulang semua
mitos Barat tentang Nabi Muhammad saw sebagai sosok penipu, ambisius,
yang menggunakan wahyu-wahyunya untuk mendapatkan sebanyak-banyak
perempuan yang dia inginkan. Para sahabat nabi juga digambarkan dalam
novel ini sebagai manusia-manusia tidak berguna dan tidak manusiawi. Tentu saja, judul Novel itu sendiri sudah bertendensi melecehkan al-Quran.
Karen Armstrong mencatat: ‘’It repeats all
the old Western myths about the Prophet and makes him out to be an
impostor, with purely political ambitions, a lecher who used his
revelations as a lisence to take as many women as he wanted, and
indicates that his first companions were worthless, inhuman people.”
Armstrong
tidaklah keliru! Dan Umat Islam yang sangat menghormati Nabi Muhammad
saw, tentu saja sangat tersinggung dengan penerbitan Novel Salman
Rushdie yang sangat tidak beradab ini. Novel ini pun – dalam edisi
bahasa Inggrisnya -- sudah dijual di Jakarta. Rushdie diantaranya
menggambarkan istri-istri Nabi Muhammad saw sebagai penghuni rumah pelacuran bernama ”Hijab”. Rushdie juga menyebut Nabi Muhammad – yang dinamainya ”Mahound” -- sebagai “the most pragmatic of prophets.”
Penulis
novel yang menghina Nabi Muhammad saw seperti Salman Rushdie inilah
yang dijadikan rujukan oleh Irshad Manji dalam memunculkan isu tentang
“ayat-ayat setan”. Memang, dalam bukunya ini pun Manji mengungkapkan ,
bahwa Salman Rushdie-lah yang mendorongnya untuk menulis buku ini. Manji
menceritakan hal ini:
“Apa
yang dikatakan Salman Rushdie padaku ketika aku mulai menulis buku ini
teringat lagi saat aku berefleksi terhadap hidupku sejak penerbitan buku
ini. Aku ingat ketika bertanya kepadanya kenapa dia memberikan semangat
kepada seorang muslim muda sepertiku, untuk menulis sesuatu yang bisa
mengundang malapetaka ke dalam kehidupannya, seperti yang telah menimpa
dirinya. Tanpa ragu sedikit pun, dia menjawab, “Karena sebuah buku lebih
penting ketimbang hidup.” (hal. 322).
Dalam
bukunya ini pun Irshad Manji menjadikan pendapat Christoph Luxenberg
sebagai rujukan untuk menyatakan bahwa selama ini umat Islam salah
memahami al-Quran, yang seharusnya dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang
surga, dengan nada sinis ia menyatakan, bahwa ada human error
yang masuk ke dalam al-Quran. Menurut riset yang baru, tulis Manji, yang
diperoleh para martir atas pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan
perawan. “Nah, bagaimana bisa Al-Quran begitu tidak akurat?” tulisnya.
Pendapat Luxenberg bahwa bahasa al-Quran harus dipahami dalam bahasa Aramaik ditulisnya dalam buku “Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”. Pendapat
ini pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang
menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara
tajam dalam bukunya, Orientalis dan Diabolisme Intelektual.
Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan
seminar terbuka tentang karya polemis itu selama satu semester penuh di
departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan
sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk
mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk
pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8
Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad
ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1.900!
Namun, meskipun sudah dijelaskan secara ilmiah, orang-orang yang memang berniat jahat terhadap Islam, tetap tidak mau tahu dan mendengar semua argumentasi ilmiah tersebut. Irshad
Manji, dalam bukunya ini, malah menyandarkan keraguannya terhadap
al-Quran pada pendapat Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Lebanon
yang menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji:
”Jika
al-Quran dipengaruhi budaya Yahudi-Kristen – yang sejalan dengan klaim
bahwa al-Quran meneruskan wahyu-wahyu sebelumnya – maka bahasa Aramaik
mungkin telah diterjemahkan oleh manusia ke dalam bahasa Arab. Atau,
salah diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu
berapa banyak lagi kata yang diterjemahkan secara kurang tepat.
Bagaimana jika semua ayat salah dipahami?” (hal. 96).
Tampaknya,
penerbit buku Irshad Manji dan kaum liberal di Indonesia pun sudah
tidak peduli dengan perasaan umat Islam dan kehormatan Nabi Muhammad
saw. Mereka begitu mudahnya menokohkan wanita lesbian
seperti Irshad Manji, yang dengan entengnya melecehkan Nabi Muhammad saw
dan al-Quran. Mereka mungkin sudah tahu bahwa umat Islam akan marah
jika Nabi Muhammad saw dihina. Mereka akan senang melihat umat Islam
bangkit rasa marahnya. Jika umat Islam marah, mereka akan tertawa sambil
menuding, bahwa umat Islam belum dewasa; umat Islam emosional, dan
sebagainya!
Kasus Irshad Manji ini semakin memahamkan kita siapa sebenarnya kaum liberal dan apa maunya mereka. Kita kasihan sekali pada manusia-manusia seperti ini. Apa mereka tidak khawatir, jika anak-anak mereka nanti ditanya oleh gurunya, siapa wanita idola mereka? Maka anak-anak mereka tidak menjawab lagi, ”Idola kami adalah Khadijah, Aisyah, Kartini, Cut Nya Dien, dan sebagainya” tetapi akan menjawab: ”Idola kami Irsyad Manji, sang muslimah Lesbian teman baik Salman Rushdie sang penghujat Nabi.” Na’udzubillahi min dzalika.
(Depok, 13 Sya’ban 1429 H/15 Agustus 2008).