Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid
Bagi Nasr Hamid, realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa. Oleh sebab itu, al-Quran juga merupakan teks bahasa (nash lughawi). Keterkaitan realitas, budaya, dan bahasa, menjadikan al-Quran sebagai teks historis sekaligus teks manusiawi. Sekalipun al-Quran bersumber dari Ilahi, namun hakikatnya al-Quran termanusiawikan karena berada di dalam ruang dan waktu tertentu. Kemanusiawiannya, bahkan sudah dimulai saat Rasulullah saw menyampaikan wahyu itu ke para sahabat. Nasr Hamid mengatakan: “Teks sejak awal diturunkan -ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi-, ia berubah dari sebuah teks Ilahi (nash ilahi) menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi (nash insani), karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal manusia”. (Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nashr, 1992, edisi I).
Pendapat Nasr Hamid problematis. Kapan al-Quran menjadi produk budaya dan kapan ia menjadi produsen budaya? Jika al-Quran menjadi produk budaya ketika wahyu selesai, maka dalam rentang waktu wahyu pertama turun hingga wahyu selesai, al-Quran berada dalam keadaan pasif karena ia produk budaya Arab Jahiliyah. Namun, ini pendapat salah, karena ketika diturunkan secara gradual, al-Quran ditentang dan menentang budaya Arab Jahiliyah saat itu. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya, karena al-Quran bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Quran justru membawa budaya baru dengan mengubah budaya yang ada. Ia produsen budaya.
Jika dikatakan bahwa al-Quran menjadi produk budaya sekaligus produsen budaya sejak awal wahyu diturunkan, maka hal itu membingungkan karena menggabungkan sebab (produsen) dan akibat (produk) pada suatu situasi tertentu.
Selain itu, Nasr Hamid mengabaikan kompleksitas yang terjadi di dalam kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan adalah istilah abstrak yang tidak seharusnya menjadi pembentuk. Manusia pun bisa membentuk kebudayaan. Rasulullah saw tidak dibentuk oleh budaya Arab Jahiliyah. Justru beliau saw yang membentuk budaya. Jadi, al-Quran bukanlah produk budaya Arab Jahiliyah. Namun justru kebudayaan Arab pada zaman Rasulullah saw adalah produk dari al-Quran.
Al-Quran juga bukan teks bahasa Arab biasa, sebagaimana teks-teks sastra Arab lainnya. Menurut Prof. Naquib al-Attas, bahasa Arab al-Quran adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah di-Islam-kan maknanya. Al-Quran mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab. Kata-kata penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah), dan persaudaraan (ikhwah), misalnya, sudah ada sebelum Islam.
Tapi, kata-kata itu diislamkan dan diberi makna baru, yang berbeda dengan makna zaman jahiliyah. Kata ‘karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ‘memiliki banyak anak, harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’, diubah al-Quran dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ‘ikhwah’, yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Diubah maknanya oleh al-Quran, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah (lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization - Kuala Lumpur: ISTAC, 1998).
Jika al-Quran produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam al-Quran dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn Mas’ud tidak tahu makna fathara. Pun, Abu Bakr dan Umar soal makna abb. Selain itu, wujud al-ahruf al-muqata’ah di dalam al-Quran tidak sesuai dengan perkembangan sastra Arab saat itu.
Jika al-Quran teks bahasa biasa, maka logikanya, Rasulullah saw ahli di bidang tulisan dan bacaan, yang karena keahliaannya itu bisa membawa perubahan sangat mendasar pada masyarakat Arab waktu itu. Padahal, Rasulullah saw itu ummi. Jadi, sekalipun al-Quran disampaikan oleh Rasulullah saw kepada ummatnya pada abad ke-7 Masehi, namun ini tak serta merta mengindikasikan bahwa al-Quran terbentuk dalam situasi dan budaya yang ada pada abad ke-7 Masehi. Al-Quran melampaui historisitasnya sendiri karena al-Quran dan ajarannya itu adalah trans-historis. Kebenarannya adalah sepanjang zaman.
Al-Quran bukan teks manusiawi, sebagaimana klaim Nasr Hamid, karena ia bukan kata-kata Muhammad. Allah berfirman yang artinya: “Seandainya dia (Muhammad) mengadakan sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan kanannya, kemudia benar-benar Kami potong urat tali jantungnya” (QS al-Haqqah 44-46). “Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (QS al-Najm 3-4).
Sebenarnya teori al-Quran Nasr Hamid tidaklah baru sama sekali. Para orientalis sudah lama berusaha menolak otentisitas al-Quran sebagai “The Word of God” (verbum dei). Jika dulu mereka menyatakan bahwa al-Quran karangan Muhammad, maka beberapa orientalis kontemporer, seperti Montgomery Watt dan W. C. Smith berpendapat al-Quran adalah kalam Tuhan dan sekaligus kata-kata Muhammad (lihat, Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, Oxford: Oxford University Press, 1953 dan W. C. Smith, On Understanding Islam, The Hague: Mouton Publishers, 1981).
Ringkasnya, kajian Nasr Hamid terhadap al-Quran adalah untuk kepentingan metodologi studi sastra dan studi kritis (al-dirasat al-adabiyyah wa al-naqdiyyah), dan bukan untuk sebaliknya, mengkaji metodologi tersebut untuk kepentingan al-Quran. Sebagai manusia yang meyakini kebenaran metode Ferdinand de Saussure dalam analisis teks, teori Nasr Hamid tentang al-Quran produk dari budaya hermeneutika Barat. Ia menuduh Ahlu Sunnah sebagai sumber kemunduran dan Imam Syafii sebagai ideolog Arab -- sebuah tuduhan yang sulit dibuktikan secara ilmiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar