Minggu, 15 Agustus 2010

KOMPILASI HUKUM ISLAM

KOMPILASI HUKUM ISLAM
oleh Abdul Rochman (As. IV) Al-Azhari KHI

HUKUM
PERKAWINAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Yang dimaksud dengan :

a. Peminangan ialah kegiatan kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita;

b. Wali hakim ialah wali nikah yang ditunjuk oleh Menteri Agama atau pejabat yang ditunjuk olehnya, yang diberi hak dan kewenangan untuk bertindak sebagai wali nikah;

c. Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;

d. Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam;

e. Taklik-talak ialah perjanjian yang diucapkan calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam Akta Nikah berupa Janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu yang mungkin terjadi di masa yang akan datang;

f. Harta kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya
disebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun;

g. Pemeliharaan anak atau hadhonah adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa atau mampu berdiri sendiri;

h. Perwalian adalah kewenangan yang diberikan kepada seseorang untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum sebagai wakil untuk kepentingan dan atas nama anak yang tidak mempunyai kedua orang tua, orang tua yang masih hidup, tidak cakap melakukan perbuatan hukum;

i. Khuluk adalah perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan atau iwadl kepada dan atas persetujuan suaminya;

j. Mut’ah adalah pemberian bekas suami kepada isteri, yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya.

BAB
II

DASAR-DASAR
PERKAWINAN

Pasal
2

Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.

Pasal
3

Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Pasal
4

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Pasal
5

(1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat.

(2) Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1), dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang No.22 Tahun 1946 jo Undangundang No. 32 Tahun 1954.

Pasal
6

(1) Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan Hukum.

Pasal
7

(1) Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akat Nikah, dapat diajukan itsbat nikahnya ke Pengadilan Agama.

(3) Itsbat nikah yang dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :

(a) Adanya perkawinan dalam rangka penyelesaian perceraian;
(b) Hilangnya Akta Nikah;
(c) Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan;
(d) Adanya perkawinan yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang No.1 Tahun 1974 dan;
(e) Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan perkawinan menurut Undang- Undang No.1 Tahun 1974;

(4) Yang berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau isteri, anak-anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan perkawinan itu.

Pasal
8

Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai berupa putusan Pengadilan Agama baik yang berbentuk putusan perceraian,ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.

Pasal
9

(1) Apabila bukti sebagaimana pada pasal 8 tidak ditemukan karena hilang dan sebagainya, dapat dimintakan salinannya kepada Pengadilan Agama.

(2) Dalam hal surat bukti yang dimaksud dala ayat (1) tidak dapat diperoleh, maka dapat diajukan permohonan ke Pengadilan Agama.

Pasal
10

Rujuk hanya dapat dibuktikan dengan kutipan Buku Pendaftaran Rujuk yang dikeluarkan oleh Pegawai Pencatat Nikah.

BAB
III

PEMINANGAN

Pasal
11

Peminangan dapat langsung dilakukan oleh orang yang berkehendak mencari pasangan jodoh, tapi dapat pula dilakukan oleh perentara yang dapat dipercaya.

Pasal
12

(1) Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang`wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahya.

(2) Wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj”iah, haram dan dilarang untuk dipinang.

(3) Dilarang juga meminang seorang wanita yang sedang dipinang pria lain, selama pinangan pria tersebut belum putus atau belum ada penolakan dan pihak wanita.

(4) Putusnya pinangan untuk pria, karena adanya pernyataan tentang putusnya hubungan pinangan atau secara diam-diam. Pria yang meminang telah menjauhi dan meninggalkan wanita yang dipinang.

Pasal
13

(1) Pinangan belum menimbulkan akibat hukum dan para pihak bebas memutuskan hubungan peminangan.

(2) Kebebasan memutuskan hubungan peminangan dilakukan dengan tata cara yang baik sesuai dengan tuntunan agar dan kebiasaan setempat, sehingga tetap terbina kerukunan dan saling menghargai.

BAB
IV

RUKUN DAN SYARAT PERKAWINAN

Bagian
Kesatu

Rukun

Pasal
14

Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul .

Bagian
Kedua

Calon Mempelai

Pasal
15

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan calon mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undang No.1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon isteri sekurangkurangnya berumur 16 tahun

(2) Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapati izin sebagaimana yang diatur dalam pasal 6 ayat (2),(3),(4) dan (5) UU No.1 Tahun 1974.

Pasal
16

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal
17

(1) Sebelum berlangsungnya perkawinan Pegawai Pencatat Nikah menanyakan lebih dahulu persetujuan calon mempelai di hadapan dua saksi nikah.

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan itu tidak dapat dilangsungkan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

Pasal
18

Bagi calon suami dan calon isteri yang akan melangsungkan pernikahan tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam bab VI.

Bagian
Ketiga

Wali Nikah

Pasal
19

Wali nikah dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya

Pasal
20

(1) Yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni muslim, aqil dan baligh.

(2) Wali nikah terdiri dari :
a. Wali nasab;
b. Wali hakim.

Pasal
21

(1) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dan kelompok yang lain sesuai erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka.

(2) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat derajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita.

(3) Apabila dalam satu kelompok sama derajat kekerabatan maka yang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang seayah.

(4) Apabila dalam satu kelompok, derajat kekerabatannya sama yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama dengan kerabat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.

Pasal
22

Apabila wali nikah yang paling berhak, urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.

Pasal
23

(1) Wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya atau gaib atau adlal atau enggan.

(2) Dalam hal wali adlal atau enggan maka wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah setelah ada putusan pengadilan Agama tentang wali tersebut.

Bagian
Keempat

Pasal
24

(1) Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.

(2) Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang Saksi

Pasal
25

Yang dapat ditunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.

Pasal
26

Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad dan nikah serta menandatangani Akta Nikah pada waktu dan ditempat akad nikah dilangsungkan.


Bagian
Kelima

Akad Nikah

Pasal
27

Ijab dan kabul antara wali dan calon mempelai pria harus jelas beruntun dan tidak berselang waktu.

Pasal
28

Akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan. Wali nikah mewakilkan kepada orang lain.

Pasal
29

(1) Yang berhak mengucapkan kabul ialah calon mempelai pria secara pribadi.

(2) Dalam hal-hal tertentu ucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

(3) Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili,maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

BAB
V

MAHAR

Pasal
30

Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.

Pasal
31

Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.

Pasal
32

Mahar diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan sejak itu menjadi hak pribadinya.

Pasal
33

(1) Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai.

(2) Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian. Mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.

Pasal
34

(1) Kewajiban menyerahkan mahar bukan merupakan rukun dalam perkawinan.

(2) Kelalaian menyebut jenis dan jumlah mahar pada waktu akad nikah, tidak menyebabkan batalnya perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.

Pasal
35

(1) Suami yang mentalak isterinya qobla al dukhul wajib membayar setengah mahar yang telah ditentukan dalam akad nikah.

(2) Apabila suami meninggal dunia qobla al dukhul tetapi besarnya mahar belum ditetapkan, maka suami wajib membayar mahar mitsil.

Pasal
36

Apabila mahar hilang sebelum diserahkan, mahar itu dapat diganti dengan barang lain yang sama bentuk dan jenisnya atau dengan barang lain yang sama nilainya atau dengan uang yang senilai dengan harga barang mahar yang hilang.

Pasal
37

Apabila terjadi selisih pendapat mengenai jenis dan nilai mahar yang ditetapkan,penyelesaian diajukan ke Pengadilan Agama.

Pasal
38

(1) Apabila mahar yang diserahkan mengandung cacat atau kurang, tetapi calon mempelai tetap bersedia menerimanya tanpa syarat, penyerahan mahal dianggap lunas.

(2) Apabila isteri menolak untuk menerima mahar karena cacat, suami harus menggantinya dengan mahar lain yang tidak cacat. Selama Penggantinya belum diserahkan, mahar dianggap masih belum dibayar.

BAB
VI

LARANGAN KAWIN

Pasal
39

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :

(1) Karena pertalian nasab :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan atau yang menurunkannya atau keturunannya;
b. dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu;
c. dengan seorang wanita saudara yang melahirkannya

(2) Karena pertalian kerabat semenda :
a. dengan seorang wanita yang melahirkan isterinya atau bekas isterinya;
b. dengan seorang wanita bekas isteri orang yang menurunkannya;
c. dengan seorang wanita keturunan isteri atau bekas isterinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas isterinya itu qobla al dukhul;
d. dengan seorang wanita bekas isteri keturunannya.

(3) Karena pertalian sesusuan :
a. dengan wanita yang menyusui dan seterusnya menurut garis lurus ke atas;
b. dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus ke bawah;
c. dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemanakan sesusuan ke bawah;
d. dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan ke atas;
e. dengan anak yang disusui oleh isterinya dan keturunannya.

Pasal
40

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu:
a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
c. seorang wanita yang tidak beragama islam.

Pasal
41

(1) Seorang pria dilarang memadu isterinya dengan seoarang wanita yang mempunyai hubungan pertalian nasab atau sesusuan dengan isterinya;
a. saudara kandung, seayah atau seibu atau keturunannya;
b. wanita dengan bibinya atau kemenakannya.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) tetap berlaku meskipun isteri-isterinya telah ditalak raj`i, tetapi masih dalam masa iddah.

Pasal
42

Seorang pria dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang wanita apabila pria tersebut sedang mempunyai 4 (empat) orang isteri yang keempat-empatnya masih terikat tali perkawinan atau masih dalam iddah talak raj`i ataupun salah seorang diantara mereka masih terikat tali perkawinan sedang yang lainnya dalam masa iddah talak raj`i.

Pasal
43

(1) Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria :
a. dengan seorang wanita bekas isterinya yang ditalak tiga kali;
b. dengan seorang wanita bekas isterinya yang dili`an.

(2) Larangan tersebut pada ayat (1) huruf a. gugur, kalau bekas isteri tadi telah kawin dengan pria lain, kemudian perkawinan tersebut putus ba`da dukhul dan telah habis masa iddahnya.

Pasal
44

Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinandengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

BAB

VII

PERJANJIAN
PERKAWINAN

Pasal
45

Kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk :
1. Taklik talak dan
2. Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Pasal
46

(1) Isi taklik talak tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam.

(2) Apabila keadaan yang diisyaratkan dalam taklik talak betul-betul terjadi kemudian, tidak dengan sendirinya talak jatuh. Supaya talak sungguh-sungguh jatuh, isteri harus mengajukan persoalannya ke pengadilan Agama.

(3) Perjanjian taklik talak bukan salah satu yang wajib diadakan pada setiap perkawinan, akan tetapi sekali taklik talak sudah diperjanjikan tidak dapat dicabut kembali.

Pasal
47

(1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

(2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan Islam.

(3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.

Pasal
48

(1) Apabila dibuat perjanjian perkawinan mengenai pemisahan harta bersama atau harta syarikat, maka perjanjian tersebut tidak boleh menghilangkan kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.

(2) Apabila dibuat perjanjian perkawinan tidak memenuhi ketentuan tersebut pada ayat (1) dianggap tetap terjadi pemisahan harta bersama atau harta syarikat dengan kewajiban suami menanggung biaya kebutuhan rumah tangga.

Pasal
49

(1) Perjanjian percampuran harta pribadi dapat meliputi semua harta, baik yang dibawa masing-masing ke dalam perkawinan maupun yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat

(1) dapat juga diperjanjikan bahwa percampuran harta pribadi yang dibawa pada saat perkawinan dilangsungkan, sehingga percampuran ini tidak meliputi harta pribadi yang diperoleh selama perkawinan atau sebaliknya.

Pasal
50

(1) Perjanjian perkawinan mengenai harta, mengikat kepada para pihak dan pihak ketiga terhitung mulai tanggal dilangsungkan perkawinan di hadapan Pegawai Pencatat Nikah

(2) Perjanjian perkawinan mengenai harta dapat dicabut atas persetujuan bersama suami isteri dan wajib mendaftarkannya di Kantor Pegawai Pencatat Nikah tempatperkawinan dilangsungkan

(3) sejak pendaftaran tersebut, pencabutan telah mengikat kepada suami isteri tetapi terhadap pihak ketiga pencabutan baru mengikat sejak tanggal pendaftaran itu diumumkan suami isteri dalam suatu surat kabar setempat.

(4) Apaila dalam tempo 6 (enam) bulan pengumuman tidak dilakukan yang bersangkutan, pendaftaran pencabutan dengan sendirinya gugur dan tidak mengikat kepada pihak ketiga.

(5) Pencabutan perjanjian perkawinan mengenai harta tida boleh merugikan perjanjian yang telah diperbuat sebelumnya dengan pihak ketiga.

Pasal
51

Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memberi hak kepada isteri untuk meminta pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama.

Pasal
52

Pada saat dilangsungkan perkawinan dengan isteri kedua, ketiga dan keempat, boleh diperjanjikan mengenai tempat kediaman, waktu giliran dan biaya rumah tangga bagi isteri yang akan dinikahinya itu.

BAB
VIII

KAWIN HAMIL

Pasal
53

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

Pasal
54

(1) Selama seseorang masih dalam keadaan ihram, tidak boleh melangsungkan perkawinan dan juga tidak boleh bertindak sebagai wali nikah.

(2) Apabila terjadi perkawinan dalam keadaan ihram, atau wali nikahnya masih berada dalam ihram perkawinannya tidak sah.

BAB
IX

BERISTERI LEBIH SATU ORANG

Pasal
55

(1) Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri.

(2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anakanaknya.

(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.

Pasal
56

(1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.

(2) Pengajuan permohonan Izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut pada tata cara sebagaimana diatur dalam Bab.VIII Peraturan Pemeritah No.9 Tahun 1975.

(3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pasal
57

(1) Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akanberisteri lebih dari seorang apabila:
a. isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;
b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan. Pasal 58 (1) Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh izin pengadilan Agama, harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yaitu :
a. adanya pesetujuan isteri;
b. adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

(2) Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan isteri atau isteri-isteri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan isteri pada sidang Pengadilan Agama.

(3) Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf a tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri atau isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari isteri atau isteri-isterinya sekurangkurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar isteri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini isteri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.

BAB
X

PENCEGAHAN PERKAWINAN

Pasal
60

(1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

(2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan Perundang-undangan.

Pasal
61

Tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk mencegah perkawinan, kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaafu al dien.

Pasal
62

(1) Yang dapat mencegah perkawinan ialah para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan lurus ke bawah, saudara, wali nikah, wali pengampu dari salah seorang calon mempelai dan pihak-pihak yang bersangkutan.

(2) Ayah kandung yang tidak penah melaksanakan fungsinya sebagai kepala keluarga tidak gugur hak kewaliannya unuk mencegah perkawinan yang akan dilakukan oleh wali nikah yang lain.

Pasal
63

Pencegahan perkawinan dapat dilakukan oleh suami atau isteri yang masih terikat dalam perkawinan dalam perkawinan dengan salah seorang calon isteri atau calon suami yang akan melangsungkan perkawinan.

Pasal
64

Pejabat yang ditunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi.

Pasal
65

(1) Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan Agama dalam daerah Hukum di mana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada Pegawai Pencatat Nikah.

(2) Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud dalam ayat (1) oleh Pegawai Pencatat Nikah.

Pasal
66

Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

Pasal
67

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan Agama oleh yang mencegah atau dengan putusan Pengadilan Agama.

Pasal
68

Pegawai Pencatat Nikah tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari ketentuan pasal 7 ayat (1), pasal 8, pasal 9, pasal 10 atau pasal 12 Undang-undang No.1 Tahun 1974 meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.

Pasal
69

(1) Apabila pencatat Nikah berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undangundang No.1 Tahun 1974 maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan.

(2) Dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

(3) Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama dalam wilayah mana Pegawai Pencatat Nikah yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.

(4) Pengadilan Agama akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apabila akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.

(5) Ketetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

BAB
XI

BATALNYA
PERKAWINAN

Pasal
70

Perkawinan batal apabila :

a. Suami melakukan perkawinan, sedang ia tidak berhak melakukan akad nikah karena sudah mempunyai empat orang isteri sekalipun salah satu dari keempat isterinya dalam iddah talak raj`i;

b. seseorang menikah bekas isterinya yang telah dili`annya;

c. seseorang menikah bekas isterinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak olehnya, kecuali bila bekas isteri tersebut pernah menikah dengan pria lain kemudian bercerai lagi ba`da al dukhul dan pria tersebut dan telah habis masa iddahnya;

d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah; semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut pasal 8 Undang-undang No.1 Tahun 1974, yaitu :
1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.

e. isteri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri atau isteri-isterinya.

Pasal
71

Suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila:

a. seorang suami melakukan poligami tanpa izin Pengadilan Agama;

b. perempuan yang dikawini ternyata kemudian diketahui masih menjadi isteri pria lain yang mafqud.

c. perempuan yang dikawini ternyata masih dalam iddah dan suami lain;

d. perkawinan yang melanggar batas umur perkawinan sebagaimana ditetapkan dalam pasal 7 Undang-undangundang No.1. tahun 1974;

e. perkawinan dilangsungkan tanpa wali atau dilaksanakan oleh wali yang tidak berhak;

f. perkawinan yang dilaksanakan dengan paksaan.

Pasal
72

(1) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan dibawah ancaman yang melanggar hukum.

(2) Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau isteri

(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaanya dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri, dan tidak dapat menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

Pasal
73

Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah :

a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari suami atau isteri;

b. Suami atau isteri;

c. Pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut Undang-undang.

d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana tersebut dalam pasal 67.

Pasal
74

(1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau isteri atau perkawinan dilangsungkan.

(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.

Pasal
75

Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:

a. perkawinan yang batal karena salah satu suami atau isteri murtad;

b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;

c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan ber`itikad baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan kekutan hukum yang tetap.

Pasal
76

Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.

BAB
XII

HAK DAN KEWJIBAN SUAMI ISTERI

BagianKesatu
Umum

Pasal
77

(1) Suami isteri memikul kewjiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat

(2) Suami isteri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain;

(3) Suami isteri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya;

(4) suami isteri wajib memelihara kehormatannya;

(5) jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masingmasing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama

Pasal
78

(1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.

(2) Rumah kediaman yang dimaksud dalam ayat (1), ditentulan oleh suami isteri bersama.

Bagian Kedua
Kedudukan Suami Isteri

Pasal
79

(1) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga.

(2) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.

(3) masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.

BagianKetiga
KewajibanSuami

Pasal
80

(1) Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya, akan tetap mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami isteri bersama.

(2) Suami wajib melidungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya

(3) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa.

(4) sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
a. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
b. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
c. biaya pendididkan bagi anak.

(5) Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari isterinya.

(6) Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

(7) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila isteri nusyuz.

Bagian Keempat
Tempat Kediaman

Pasal
81

(1) Suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi isteri dan anak-anaknya atau bekas isteri yang masih dalam iddah.

(2) Tempat kediaman adalah tempat tinggal yang layak untuk isteri selama dalam ikatan perkawinan, atau dalam iddah talak atau iddah wafat.

(3) Tempat kediaman disediakan untuk melindungi isteri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tenteram. Tempat kediaman juga berfungsi sebagai tempat menyimpan harta kekayaan, sebagai tempat menata dan mengatur alat-alat rumah tangga.

(4) Suami wajib melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya.

BagianKelima
Kewajiban Suami yang Beristeri Lebih Dan Seorang

Pasal
82

(1) Suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing isteri secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan.

(2) Dalam hal para isteri rela dan ihlas, suami dapat menempatkan isterinya dalam satu tempat kediaman.

BagianKeenam
Kewajiban Isteri

Pasal
83

(1) Kewajibn utama bagi seoarang isteri ialah berbakti lahir dan batin kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum islam.

(2) Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.

Pasal
84

(1) Isteri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam pasal 83 ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah

(2) Selama isteri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap isterinya tersebut pada pasal 80 ayat (4) huruf a dan b tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

(3) Kewajiban suami tersebut pada ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah isteri nusyuz

(4) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari isteri harus didasarkan atas bukti yang sah.

BAB
XIII

HARTA KEKAYAAN DALAM PERKAWINAN

Pasal
85

Adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri.

Pasal
86

(1) Pada dasarnya tidak ada percampuran antara harta suami dan harta isteri karena perkawinan.

(2) Harta isteri tetap menjadi hak isteri dan dikuasai penuh olehnya, demikian juga harta suami tetap menjadi hak suami dan dikuasi penuh olehnya.

Pasal
87

(1) Harta bawaan masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan adalah dibawah penguasaan masing-masing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

(2) Suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum atas harta masing-masing berupa hibah, hadiah, sodaqah atau lainnya.

Pasal
88

Apabila terjadi perselisihan antara suami isteri tentang harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.

Pasal
89

Suami bertanggung jawab menjaga harta bersama, harta isteri maupun harta sendiri.

Pasal
90

Isteri turut bertanggung jawab menjaga harta bersama maupun harta suami yang ada padanya.

Pasal
91

(1) Harta bersama sebagaimana tersebut dalam pasal 85 di atas dapat berupa benda berwujud atau tidak berwujud.

(2) Harta bersama yang berwujud dapat meliputi benda tidak bergerak, benda bergerak dan surat-surat berharga.

(3) Harta bersama yang tidak berwujud dapat berupa hak maupun kewajiban.

(4) Harta bersama dapat dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas persetujuan pihak lainnya.

Pasal
92

Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.

Pasal
93

1. Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.

2. Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.

3. Bila harta bersama tidak mencukupi, dibebankan kepada harta suami.

4. Bila harta suami tidak ada atau mencukupi dibebankan kepada harta isteri

Pasal
94

1. Harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang, masing-masing terpisah dan berdiri sendiri.

2. Pemilikan harta bersama dari perkawinan seorang suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang sebagaimana tersebut ayat (1), dihitung pada saat berlangsungnya akad perkawinan yang kedua, ketiga atau keempat.

Pasal
95

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 24 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 dan pasal 136 untuk meletakkan sita jaminan atas harta bersama tanpa adanya permohonan gugatan cerai, apabila salah satu melakukan perbuatan yang merugikan dan membahayakan harta bersama seperti judi, mabuk, boros, dan sebagainya.

2. Selama masa sita dapat dikakukan penjualan atas harta bersama untuk keperluan keluarga dengan izin Pengadilan Agama.

Pasal
96

1. Apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama,.

2. Pembagian harta bersama bagi seorang suami atau isteri yang isteri atau suaminya hutang harus ditangguhkan sampai adanya kepastian matinya yang hakiki atau matinya secara hukum atas dasar putusan Pengadilan Agama.

Pasal
97

Janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.

BAB
XIV

PEMELIHARAAN ANAK

Pasal
98

(1) Batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Orang tuanya mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatanhukum di dalam dan di luar Pengadilan.

(3) Pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat terdekat yang mampu menunaikan kewajiban tersebut apabila kedua orang tuanya tidak mampu.

Pasal
99

Anak yang sah adalah :

a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah;
b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

Pasal
100

Anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Pasal
101

Seorang suami yang mengingkari sahnya anak, sedang isteri tidak menyangkalnya, dapat meneguhkan pengingkarannya dengan li`an.

Pasal
102

(1) Suami yang akan mengingkari seorang anak yang lahir dari isterinya, mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama dalam jangka waktu 180 hari sesudah hari lahirnya atau 360 hari sesudah putusnya perkawinan atau setelah suami itu mengetahui bahwa istrinya melahirkan anak dan berada di tempat yang memungkinkan dia mengajukan perkaranya kepada Pengadilan Agama.

(2) Pengingkaran yang diajukan sesudah lampau waktu tersebut tidak dapat diterima.

Pasal
103

(1) Asal usul seorang anak hannya dapat dibuktiakn dengan akta kelahiran atau alat bukti lainnya.

(2) Bila akta kelahiran alat bukti lainnya tersebut dalam ayat (1) tidak ada, maka Pengadilan Agama dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah mengadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti bukti yang sah.

(3) Atas dasar ketetetapan pengadilan Agama tersebut ayat (2), maka instansi Pencatat Kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan Agama tersebut mengeluarkan akta kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

Pasal
104

(1) Semua biaya penyusuan anak dipertanggungkawabkan kepada ayahnya. Apabila ayahya stelah meninggal dunia, maka biaya penyusuan dibebankan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah kepada ayahnya atau walinya.

(2) Penyusuan dilakukan untuk paling lama dua tahun, dan dapat dilakukan penyapihan dalam masa kurang dua tahun dengan persetujuan ayah dan ibunya.

Pasal
105

Dalam hal terjadinya perceraian:

a. Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;

b. Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;

c. biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Pasal
106

(1) Orang tua berkewajiban merawat dan mengembangkan harta anaknya yang belum dewasa atau di bawah pengampunan, dan tidak diperbolehkan memindahkan atau menggadaikannya kecuali karena keperluan yang mendesak jika kepentingan dan keselamatan anak itu menghendaki atau suatu kenyataan yang tidak dapat dihindarkan lagi.

(2) Orang tua bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaian dari kewajiban tersebut pada ayat (1).

BAB
XV

PERWALIAN

Pasal
107

(1) Perwalian hanya terhadap anak yang belum mencapai umur 21 tahun dan atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

(2) Perwalian meliputi perwalian terhadap diri dan harta kekayaanya.

(3) Bila wali tidak mampu berbuat atau lalai melaksanakan tugas perwaliannya, maka pengadilan Agama dapat menunjuk salah seorang kerabat untuk bertindak sebagai wali atas permohonan kerabat tersebut.

(4) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik, atau badan hukum.

Pasal
108

Orang tua dapat mewasiatkan kepada seseorang atau badan hukum untuk melakukan perwalian atas diri dan kekayaan anak atau anak-anaknya sesudah ia meninggal dunia.

Pasal
109

Pengadilan Agama dapat mencabut hak perwalian seseorang atau badan hukum dan menindahkannya kepada pihak lain atas permohonan kerabatnya bila wali tersebut pemabuk, penjudi, pemboros, gila dan atau melalaikan atau menyalah gunakan hak dan wewenangnya sebagai wali demi kepentingan orang yang berada di bawah perwaliannya.

Pasal
110

(1) Wali berkewajiban mengurus diri dan harta orang yang berada di bawah perwaliannya dengan sebaik-baiknya dan berkewajiban memberikan bimbingan agama, pendidikan dan keterampilan lainnya untuk masa depan orang yang berada di bawah perwaliannya.

(2) Wali dilarang mengikatkan, membebani dan mengasingkan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, kecuali bila perbuatan tersebut menguntungkan bagi orang yang berada di bawah perwaliannya yang tidak dapat dihindarkan.

(3) Wali bertanggung jawab terhadap harta orang yang berada di bawah perwaliannya, dan mengganti kerugian yang timbul sebagai akibat kesalahan atau kelalaiannya.

(4) Dengan tidak mengurangi kententuan yang diatur dalam pasal51 ayat (4) Undang-undang No.1 tahun 1974, pertanggungjawaban wali tersebut ayat (3) harus dibuktikan dengan pembukuan yang ditutup tiap satu tahun satu kali.

Pasal
111

(1) Wali berkewajiban menyerahkan seluruh harta orang yang berada di bawah perwaliannya, bila yang bersangkutan telah mencapai umur 21 tahun atau telah menikah.

(2) Apabila perwalian telah berakhir, maka Pengadilan Agama berwenang mengadili perselisihan antara wali dan orang yang berada di bawah perwaliannya tentang harta yang diserahkan kepadanya.

Pasal
112

Wali dapat mempergunakan harta orang yang berada di bawah perwaliannya, sepanjang diperlukan untuk kepentingannya menurut kepatutan atau bil ma`ruf kalau wali fakir.

BAB
XVI

PUTUSNYA PERKAWINAN

BagianKesatu

Umum

Pasal
113

Perkawinan dapat putus karena :

a. Kematian,
b. Perceraian, dan
c. atas putusan Pengadilan.

Pasal
114

Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.

Pasal
115

Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Pasal
116

Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:

a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;

b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;

c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;

d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;

e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakitdengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri;

f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;

g. Suami melanggar taklik talak;

k. peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.

Pasal
117

Talak adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan, dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130, dan 131.

Pasal
118

Talak Raj`I adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama isteri dalam masa iddah.

Pasal
119

1. Talak Ba`in Shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk tapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam iddah.

2. Talak Ba`in Shughraa sebagaimana tersebut pada ayat (1) adalah:

a. talak yang terjadi qabla al dukhul;
b. talak dengan tebusan atau khuluk;
c. talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan Agama.

Pasal
120

Talak Ba`in Kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas isteri, menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba`da al dukhul dan hadis masa iddahnya.

Pasal
121

Talak sunny adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan terhadap isteri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut.

Pasal
122

Talak bid`I adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.

Pasal
123

Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan

Pasal
125

Li`an menyebabkan putusnya perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya.

Pasal
126

Li`an terjadi karena suami menuduh isteri berbuat zinah dan atau mengingkari anak dalam kandungan atau yang sudah lahir dari isterinya, sedangkan isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.

Pasal
127

Tata cara li`an diatur sebagai berikut:

a. Suami bersumpah empat kali dengan kata tuduhan zina dan atau pengingkaran anak tersebut diikuti sumpah kelima dengan kata-kata “laknat Allah atas dirinya apabila tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dusta”

b. Isteri menolak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut dengan sumpah empat kali dengan kata “tuduhan dan atau pengingkaran tersebut tidak benar”, diikuti sumpah kelima dengan kata-kata murka Allah atas dirinya : tuduhan dan atau pengingkaran tersebut benar”;

c. tata cara pada huruf a dan huruf b tersebut merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan;

d. apabila tata cara huruf a tidak diikuti dengan tata cara huruf b, maka dianggap tidak terjadi li`an.

Pasal
128

Li`an hanya sah apabila dilakukann di hadapan sidang Pengadilan Agama.



Bagian Kedua

Tata Cara Perceraian

Pasal
129

Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada isterinya mengajukan permohonan baik lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal isteri disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.

Pasal
130

Pengadilan Agama dapat mengabulkan atau menolak permohonan tersebut, dan terhadap keputusan tersebut dapat diminta upaya hukum banding dan kasasi

Pasal
131

1. Pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari permohonan dimaksud pasal 129 dan dalam waktu selambat-lambatnya tiga puluh hari memanggil pemohon dan isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan maksud menjatuhkan talak.

2. Setelah Pengadilan Agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata cukup alasan untuk menjatuhkan talak serta yang bersangkutan tidak mungkin lagi hidup rukun dalam rumah tangga, pengadilan Agama menjatuhkan keputusannya tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak.

3. Setelah keputusannya mempunyai kekuatan hukum tetap suami mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama, dihadiri oleh isteri atau kuasanya.

4. Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam tempo 6 (enam) bulah terhitung sejak putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinan yant tetap utuh.

5. Setelah sidang penyaksian ikrar talak Pengadilan Agama membuat penetapan tentang terjadinya Talak rangkap empat yang merupakan bukti perceraian bagi bekas suami dan isteri. Helai pertama beserta surat ikrar talak dikirimkan kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami untuk diadakan pencatatan, helai kedua dan ketiga masing-masing diberikan kepada suami isteri dan helai keempat disimpan oleh Pengadilan Agama

Pasal
132

1. Gugatan perceraian diajukan oleh isteri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali isteri meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.

2. Dalam hal tergugat bertempat kediaman diluar negeri, Ketua Pengadilan Agama memberitahukan gugatan tersebut kepada tergugat melalui perwakilan Republik Indonesia setempat.

Pasal
133

1. Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf b, dapat diajukan setelah lampau 2 (dua) tahun terhitung sejak tergugat meninggalkan gugatan meninggalkan rumah.

2. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman besama.

Pasal
134

Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam pasal 116 huruf f, dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan Agama mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami isteri tersebut.

Pasal
135

Gugatan perceraian karena alasan suami mendapat hukuman penjara 5 ( lima ) tahun atau hukuman yang lebih berat sebagai dimaksud dalam pasal 116 huruf c, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pasal
136

1. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Penghadilan Agama dapat mengizinkan suami isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah.

2. Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan Agama dapat :

a. menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami;
b. menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami isteri atau barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri

Pasal
137

Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan pengadilan Agama mengenai gugatan perceraian itu.

Pasal
138

1. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tergugat tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan Agama dan mengumumkannya melalui satu atau bebrapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama.

2. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media tersebut ayat (1) dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua

3. Tenggang diwaktu antara panggilan terakhir sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan.

4. Dalam hal sudah dilakukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat, kecuali apabila gugatan itu tanpa hak atau tidak beralasan.

Pasal
140

Apabila tergugat berada dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 132 ayat (2), panggilan disampaikan melalui perwakilan Republik Indonesia setempat

Pasal
141

1. Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya berkas atau surat gugatan perceraian

2. Dalam menetapkan waktu sidang gugatan perceraian perlu diperhatian tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka.

3. Apabila tergugat berada dalam keadaan seperti tersebut dalam pasal 116 huruf b, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkanya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan Agama.

Pasal
142

1. Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya.

2. Dalam hal suami atau isteri mewakilkan, untuk kepentingan pemeriksaan Hakim dapat memerintahkan yang bersangkutan untuk hadir sendiri.

Pasal
143

1. Dalam pemeriksaan gugatan perceraian Hakim berusaha mendamaikan kedua belah pihak.

2. Selama perkara belum diputuskan usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.

Pasal
144

Apabila terjadi pedamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian.

Pasal
145

Apabila tidak dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup.

Pasal
146

(1) Putusan mengenai gugatan perceraian dilakukan dalam sidang terbuka.

(2) Suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempuntai kekuatan hukum yang tetap

Pasal
147

(1) Setelah perkara perceraian itu diputuskan, maka panitera Pengadilan Agama menyampaikan salinan surat putusan tersebut kepada suami isteri atau kuasanya dengan menarik Kutipan Akta Nikah dari masing-masing yang bersangkutan.

(2) Panitera Pengadilan Agama berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal isteri untuk diadakan pencatatan.

(3) Panitera Pengadilan Agama mengirimkan surat keterangan kepada masing-masing suami isteri atau kuasanya bahwa putusan tersebut ayat (1) telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan merupakan bukti perceraian bagi suami dan bekas istri.

(4) Panitera Pengadilan Agama membuat catatan dalam ruang yang tersedia pada Kutipan Akta Nikah yang bersangkutan bahwa mereka telah bercerai. Catatan tersebut berisi tempat terjadinya perceraian, tanggal perceraian, nomor dan tanggal surat putusan serta tanda tangan panitera.

(5) Apabila Pegawai Pencatat Nikah dengan Pegawai Pencatat Nikah tempat pernikahan mereka dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam ayat(2) dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat perkawinan dilangsungkan dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar Negeri Salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat Nikah Jakarta.

(6) Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut dalam ayat (1) menjadi tanggungjawab Panitera yang bersangkutan, apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya.

Pasal
148

1. Seorang isteri yang mengajukan gugatan perceraian dengan jalan khuluk, menyampaikan permohonannya kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggalnya disertai alasan atau alasan-alasannya.

2. Pengadilan Agama selambat-lambatnya satu bulan memanggil isteri dan suaminya untuk didengar keterangannya masing-masing.

3. Dalam persidangan tersebut Pengadilan Agama memberikan penjelasan tentang akibat khuluk, dan memberikan nasehat-nasehatnya.

4. Setelah kedua belah pihak sepakat tentang besarnya iwadl atau tebusan, maka Pengadilan Agama memberikan penetapan tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talaknya didepan sidang Pengadilan Agama. Terhadap penetapan itu tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi.

5. Penyelesaian selanjutnya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam pasal 131 ayat (5)

6. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan tentang besarnya tebusan atau iwadl Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan sebagai perkara biasa.

BAB
XVII

AKIBAT
PUTUSNYA PERKAWINAN

Bagian
Kesatu

Akibat
Talak

Pasal
149

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
a. memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul;
b. memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah, kecuali bekas isteri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyur dan dalam keadaan tidak hamil;
c. melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya, dan separoh apabila qobla al dukhul;
d. memberikan biaya hadhanan untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21 tahun

Pasal
150

Bekas suami berhak melakukan ruju` kepada bekas istrinya yang masih dalam iddah.

Pasal
151

Bekas isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain.

Pasal
152

Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz.

Bagian
Kedua

Waktu
Tunggu

Pasal
153

1. Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu atau iddah, kecuali qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.

2. Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut :

a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari:
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

3. Tidak ada waktu tunggu bagi yang putus perkawinan karena perceraian sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya qobla al dukhul.

4. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya, Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak kematian suami.

5. Waktu tunggu bagi isteri yang pernah haid sedang pada waktu menjalani iddah tidak haid karena menyusui, maka iddahnya tiga kali waktu haid.

6. Dalam hal keadaan pada ayat (5) bukan karena menyusui, maka iddahnya selama satu tahun, akan tetapi bila dalam waktu satu tahun tersebut ia haid kembali, maka iddahnya menjadi tiga kali waktu suci.

Pasal
154

Apabila isteri bertalak raj`I kemudian dalam waktu iddah sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2) huruf b, ayat (5) dan ayat (6) pasal 153, di tinggal mati oleh suaminya, maka iddahnya berubah menjadi empat bulan sepuluh hari terhitung saat matinya bekas suaminya.

Pasal
155

Waktu iddah bagi janda yang putus perkawinannya karena khuluk, fasakh dan li`an berlaku iddah talak.

Bagian
Ketiga

Akibat
Perceraian

Pasal
156

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian ialah :

a. anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali bila ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh :

1. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu;
2. ayah;
3. wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah;
4. saudara perempuan dari anak yang bersangkutan;
5. wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.

b. anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya;
c. apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadhanah telah dicukupi, maka atas permintaann kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula;
d. semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya,sekurangkurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat mengurus diri sendiri (21 tahun)
e. bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah dan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a),(b), dan (d);
f. pengadilan dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak turut padanya.

Pasal
157

Harta bersama dibagi menurut ketentuan sebagaimana tersebut dalam pasal 96 dan pasal 97.

Bagian
Keempat

Mut`ah

Pasal
158

Mut`ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat :

a. belum ditetapkan mahar bagi isteriba`da al dukhul;
b. perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal
159

Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158

Pasal
160

Besarnya mut`ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

Bagian
Kelima

Akibat Khuluk

Pasal
161

Perceraian dengan jalan khuluk mengurangi jumlah talak dan tak dapat dirujuk

Bagian
Keenam

Akibat Li`an

Pasal
162

Bilamana li`an terjadi maka perkawinan itu putus untuk selamanya dan anak yang dikandung dinasabkan kepada ibunya, sedang suaminya terbebas dari kewajiban memberi nafkah.

BAB
XVIII

RUJUK

Bagian
Kesatu

Umum

Pasal
163

(1) Seorang suami dapat merujuk isterunya yang dalam masaiddah.
(2) Rujuk dapat dilakukan dalam hal-hal :

a. putusnya perkawinan karena talak, kecuali talak yang telah jatuh tiga kali talak yang dijatuhkan qobla al dukhul;
b. putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan dengan alasan atau alasan-alasan selain zina dan khuluk.

Pasal
164

Seorang wanita dalam iddah talak raj`I berhak mengajukan keberatan atas kehendak rujuk dari bekas suaminya di hadapan Pegawai Pencatat Nikah disaksikan dua orang saksi

Pasal
165

Rujuk yang dilakukan tanpa sepengetahuan bekas isteri, dapat dinyatakan tidak sah dengan putusan Pengadilan Agama.
Pasal
166

Rujuk harus dapat dibuktikan dengan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan bila bukti tersebut hilang atau rusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi, dapat dimintakan duplikatnya kepada instansi yang mengeluarkannya semula.

Bagian
Kedua

Tata
Cara Rujuk

Pasal
167

(1) Suami yang hendak merujuk isterinya datang bersama-sama isterinya ke Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahi tempat tinggal suami isteri dengan membawa penetapan tentang terjadinya talak dan surat keterangan lain yang diperlukan

(2) Rujuk dilakukan dengan persetujuan isteri di hadapan Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

(3) Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah memeriksa dan menyelidiki apakah suami yang akan merujuk itu memenuhi syarat-syarat merujuk menurut hukum munakahat, apakah rujuk yang akan dilakukan masih dalam iddah talak raj`i, apakah perempuan yang akan dirujuk itu adalah isterinya.

(4) Setelah itu suami mengucapkan rujuknya dan masing-masing yang bersangkutan beserta saksi-saksi menandatangani Buku Pendaftaran Rujuk.

(5) Setelah rujuk itu dilaksanakan, Pegawai Pencatat Nikah atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah menasehati suami isteri tentang hukum-hukum dan kewajiban mereka yang berhubungan dengan rujuk.

Pasal
168

(1) Dalam hal rujuk dilakukan di hadapan Pembantu Pegawai Pencatat Nikah daftar rujuk dibuat rangkap 2 (dua), diisi dan ditandatangani oleh masing-masing yang bersangkutan besreta saksi-saksi, sehelai dikirim kepada Pegawai Pencatat Nikah yang mewilayahinya, disertai surat-surat keterangan yang diperlukan untuk dicatat dalam buku Pendaftaran Rujuk dan yang lain disimpan.

(2) Pengiriman lembar pertama dari daftar rujuk oleh Pembantu Pegawai Pencatat Nikah dilakukan selambat-lambatnya 15 (lima belas) hari sesudah rujuk dilakukan.

(3) Apabila lembar pertama dari daftar rujuk itu hilang, maka Pembantu Pegawai Pencatat Nikah membuatkan salinan dari daftar lembar kedua,dengan berita acara tentang sebab-sebab hilangnya.

Pasal
169

(1) Pegawai Pencatat Nikah membuat surat keterangan tentang terjadinya rujuk dan mengirimkannya kepada Pengadilan Agama ditempat berlangsungnya talak yang bersangkutan, dan kepada suami dan isteri masing-masing diberikan Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk menurut contoh yang ditetapkan oleh Menteri Agama.

(2) Suami isteri atau kuasanya dengan membawa Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk tersebut datang ke Pengadilan Agama di tempat berlangsungnya talak dahulu untuk mengurus dan mengambil Kutipan akta Nikah masing-masing yang bersangkutan setelah diberi catatan oleh Pengadilan Agama dalam ruang yang telah tersedia pada Kutipan Akta Nikah tersebut, bahwa yang bersangkutan benar telah rujuk.

(3) Catatan yang dimaksud ayat (dua) berisi tempat terjadinya rujuk, tanggal rujuk diikrarkan, nomor dan tanggal Kutipan Buku Pendaftaran Rujuk dan tanda tangan Panitera.

BAB
XIX

MASA
BERKABUNG

Pasal
170

(1) Isteri yang ditinggalkan mati oleh suami, wajib melaksanakan masa berkabung selama masa iddah sebagai tanda turut berduka cita dan sekaligus menjaga timbulnya fitnah.

(2) Suami yang tinggal mati oleh isterinya, melakukan masa berkabung menurut kepatutan.

BUKU
II

HUKUM
KEWARISAN

BAB
I

KETENTUAN
UMUM

Pasal
171

Yang dimaksud dengan:

a. Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.

b. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.

c. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.

d. Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.

e. Harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

f. Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.

g. Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.

h. Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.

i. Baitul Mal adalah Balai Harta Keagamaan.

Rabu, 11 Agustus 2010

DEKLARASI UNIVERSAL HAK-HAK ASASI MANUSIA

Diterima dan diumumkan oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 melalui resolusi 217 A (III)


Mukadimah

Menimbang, bahwa pengakuan atas martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dicabut dari semua anggota keluarga manusia adalah dasar kemerdekaan, keadilan dan perdamaian di dunia, Menimbang, bahwa mengabaikan dan memandang rendah hak-hak manusia telah mengakibatkan perbuatan-perbuatan bengis yang menimbulkan rasa kemarahan hati nurani umat manusia, dan terbentuknya suatu dunia tempat manusia akan mengecap nikmat kebebasan berbicara dan beragama serta kebebasan dari rasa takut dan kekurangan telah dinyatakan sebagai cita-cita yang tertinggi dari rakyat biasa, Menimbang, bahwa hak-hak manusia perlu dilindungi dengan peraturan hukum, supaya orang tidak akan terpaksa memilih jalan pemberontakan sebagai usaha terakhir guna menentang kelaliman dan penjajahan, Menimbang, bahwa pembangunan hubungan persahabatan di antara negara-negara perlu ditingkatkan, Menimbang, bahwa bangsa-bangsa dari Perserikatan Bangsa-Bangsa di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menegaskan kembali kepercayaan mereka pada hak-hak dasar dari manusia, akan martabat dan nilai seseorang manusia dan akan hak-hak yang sama dari laki-laki maupun perempuan, dan telah memutuskan akan mendorong kemajuan sosial dan tingkat hidup yang lebih baik dalam kemerdekaan yang lebih luas, Menimbang, bahwa Negara-negara Anggota telah berjanji untuk mencapai kemajuan dalam penghargaan dan penghormatan umum terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebesan yang asasi, dalam kerja sama dengan

Perserikatan Bangsa-Bangsa, Menimbang, bahwa pemahaman yang sama mengenai hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut sangat penting untuk pelaksanaan yang sungguh-sungguh dari janji tersebut, maka dengan ini, Majelis Umum, 1Memproklamasikan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum untuk keberhasilan bagi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap orang dan setiap badan di dalam masyarakat, dengan senantiasa mengingat Deklarasi ini, akan berusaha dengan cara mengajarkan dan memberikan pendidikan guna menggalakkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan tersebut, dan dengan jalan tindakan-tindakan yang progresif yang bersifat nasional maupun internasional, menjamin pengakuan dan penghormatannnya yang universal dan efektif, baik oleh bangsa-bangsa dari Negara-negara Anggota sendiri maupun oleh bangsa-bangsa dari wilayah-wilayah yang ada di bawah kekuasaan hukum mereka.

Pasal 1

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.

Pasal 2

Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum di dalam Deklarasi ini dengan tidak ada pengecualian apa pun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran ataupun kedudukan lain. Selanjutnya, tidak akan diadakan pembedaan atas dasar kedudukan politik, hukum atau kedudukan internasional dari negara atau daerah dari mana seseorang berasal, baik dari negara yang merdeka, yang berbentuk wilyah-wilayah perwalian, jajahan atau yang berada di bawah batasan kedaulatan yang lain.

Pasal 3

Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai induvidu.

Pasal 4

Tidak seorang pun boleh diperbudak atau diperhambakan; perhambaan dan perdagangan budak dalam bentuk apa pun mesti dilarang.

Pasal 5

Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dikukum secara tidak manusiawi atau dihina.

Pasal 6

Setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di mana saja ia berada.

Pasal 7

Semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan Deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini.

Pasal 8

Setiap orang berhak atas pemulihan yang efektif dari pengadilan nasional yang kompeten untuk tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak dasar yang diberikan kepadanya oleh undang-undang dasar atau hukum.

Pasal 9

Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang dengan sewenang-wenang.

Pasal 10

Setiap orang, dalam persamaan yang penuh, berhak atas peradilan yang adil dan terbuka oleh pengadilan yang bebas dan tidak memihak, dalam menetapkan hak dan kewajiban-kewajibannya serta dalam setiap tuntutan pidana yang dijatuhkan kepadanya.

Pasal 11

(1) Setiap orang yang dituntut karena disangka melakukan suatu tindak pidana dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya menurut hukum dalam suatu pengadilan yang terbuka, di mana dia memperoleh semua jaminan yang perlukan untuk pembelaannya.

(2) Tidak seorang pun boleh dipersalahkan melakukan tindak pidana karena perbuatan atau kelalaian yang tidak merupakan suatu tindak pidana menurut undang-undang nasional atau internasional, ketika perbuatan tersebut dilakukan. Juga tidak diperkenankan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada hukum yang seharusnya dikenakan ketika pelanggaran pidana itu dilakukan.

Pasal 12

Tidak seorang pun boleh diganggu urusan pribadinya, keluarganya, rumah tangganya atau hubungan surat menyuratnya dengan sewenang-wenang; juga tidak diperkenankan melakukan pelanggaran atas kehormatan dan nama baiknya. Setiap orang berhak mendapat perlindungan hukum terhadap gangguan atau pelanggaran seperti ini.

Pasal 13

(1) Setiap orang berhak atas kebebasan bergerak dan berdiam di dalam batas-batas setiap negara.

(2) Setiap orang berhak meninggalkan suatu negeri, termasuk negerinya sendiri, dan berhak kembali ke negerinya.

Pasal 14

(1) Setiap orang berhak mencari dan mendapatkan suaka di negeri lain untuk melindungi diri dari pengejaran.

(2) Hak ini tidak berlaku untuk kasus pengejaran yang benar-benar timbul karena kejahatan-kejahatan yang tidak berhubungan dengan politik, atau karena perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan tujuan dan dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 15

(1) Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.

(2) Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak hanya untuk mengganti kewarganegaraannya.

Pasal 16

(1) Laki-laki dan Perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga. Mereka mempunyai hak yang sama dalam soal perkawinan, di dalam masa perkawinan dan di saat perceraian.

(2) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan berdasarkan pilihan bebas dan persetujuan penuh oleh kedua mempelai.

(3) Keluarga adalah kesatuan yang alamiah dan fundamental dari masyarakat dan berhak mendapatkan perlindungan dari masyarakat dan Negara.

Pasal 17

(1) Setiap orang berhak memiliki harta, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain.

(2) Tidak seorang pun boleh dirampas harta miliknya dengan semena-mena.

Pasal 18

Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani dan agama; dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dengan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaann dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan mentaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri.

Pasal 19

Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.

Pasal 20

(1) Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat tanpa kekerasan.

(2) Tidak seorang pun boleh dipaksa untuk memasuki suatu perkumpulan.

Pasal 21

(1) Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negaranya, secara langsung atau melalui wakil-wakil yang dipilih dengan bebas.

(2) Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negeranya.

(3) Kehendak rakyat harus menjadi dasar kekuasaan pemerintah; kehendak ini harus dinyatakan dalam pemilihan umum yang dilaksanakan secara berkala dan murni, dengan hak pilih yang bersifat umum dan sederajat, dengan pemungutan suara secara rahasia ataupun dengan prosedur lain yang menjamin kebebasan memberikan suara.

Pasal 22

Setiap orang, sebagai anggota masyarakat, berhak atas jaminan sosial dan berhak akan terlaksananya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sangat diperlukan untuk martabat dan pertumbuhan bebas pribadinya, melalui usaha-usaha nasional maupun kerjasama internasional, dan sesuai dengan pengaturan serta sumber daya setiap negara.

Pasal 23

(1) Setiap orang berhak atas pekerjaan, berhak dengan bebas memilih pekerjaan, berhak atas syarat-syarat perburuhan yang adil dan menguntungkan serta berhak atas perlindungan dari pengangguran.

(2) Setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak atas pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama.

(3) Setiap orang yang bekerja berhak atas pengupahan yang adil dan menguntungkan, yang memberikan jaminan kehidupan yang bermartabat baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya, dan jika perlu ditambah dengan perlindungan sosial lainnya.

(4) Setiap orang berhak mendirikan dan memasuki serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.

Pasal 24

Setiap orang berhak atas istirahat dan liburan, termasuk pembatasan-pembatasan jam kerja yang layak dan hari liburan berkala, dengan tetap menerima upah.

Pasal 25

(1) Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya.

(2) Ibu dan anak-anak berhak mendapat perawatan dan bantuan istimewa. Semua anak-anak, baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus mendapat perlindungan sosial yang sama.

Pasal 26

(1) Setiap orang berhak memperoleh pendidikan. Pendidikan harus dengan cuma-cuma, setidak-tidaknya untuk tingkatan sekolah rendah dan pendidikan dasar. Pendidikan rendah harus diwajibkan. Pendidikan teknik dan kejuruan secara umum harus terbuka bagi semua orang, dan pendidikan tinggi harus dapat dimasuki dengan cara yang sama oleh semua orang, berdasarkan kepantasan.

(2) Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.

(3) Orang tua mempunyai hak utama dalam memilih jenis pendidikan yang akan diberikan kepada anak-anak mereka.

Pasal 27

(1) Setiap orang berhak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat dengan bebas, untuk menikmati kesenian, dan untuk turut mengecap kemajuan dan manfaat ilmu pengetahuan.

(2) Setiap orang berhak untuk memperoleh perlindungan atas keuntungan-keuntungan moril maupun material yang diperoleh sebagai hasil karya ilmiah, kesusasteraan atau kesenian yang diciptakannya.

Pasal 28

Setiap orang berhak atas suatu tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub di dalam Deklarasi ini dapat dilaksanakan sepenuhnya.

Pasal 29

(1) Setiap orang mempunyai kewajiban terhadap masyarakat tempat satu-satunya di mana dia dapat mengembangkan kepribadiannya dengan bebas dan penuh.

(2) Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasan-kebebasannya, setiap orang harus tunduk hanya pada pembatasan-pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang yang tujuannya semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan yang tepat terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi syarat-syarat yang adil dalam hal kesusilaan, ketertiban dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.

(3) Hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini dengan jalan bagaimana pun sekali-kali tidak boleh dilaksanakan bertentangan dengan tujuan dan prinsip-prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Pasal 30

Tidak sesuatu pun di dalam Deklarasi ini boleh ditafsirkan memberikan sesuatu Negara, kelompok ataupun seseorang, hak untuk terlibat di dalam kegiatan apa pun, atau melakukan perbuatan yang bertujuan merusak hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang mana pun yang termaktub di dalam Deklarasi ini.